Laman

Minggu, 28 Maret 2010

Pemakan Sirih

sebelumnya Akku ucapkan maaf sangat kepada pengarangnya.
ini Akku lakukan untuk memenuhi tugas pengkajian cerkan.

Sebelumnya :

“Ku kira kau tak perlu lagi menolongku,” kata Sukro “di sini banyak buah-buahan dan tanaman yang bisa ku makan setiap hari. Aku akan tinggal di kuburan tua ini. Kabarkan pada istri dan anakku, mereka tak perlu mencariku”
***
“Pak Lurah, Pak Lurah!” dari teras ia berteriak memanggil tuannya sambil tergopoh-gopoh membawa tubuhnya yang besar tinggi namun agak botak di bagian kepala.
“Buk Lurah, saya mau bertemu Pak Lurah, ada urusan penting, bisa Bu?” lelaki pelaku pembantaian terhadap Sukro, yang juga memprovokasi warga, datang menemui pemimpin desa Sirih Ijo, pagi-pagi sekali.
Dengan air muka tak senang Bu Lurah yang sedang menyapu teras langsung masuk ke dalam rumah sambil meletakkan sapu dan menggelung ulang rambutnya yang panjang namun tipis.  Cukup lama Darmo, lelaki itu menunggu dengan perasaan gusar. Ketika melihat yang di tunggu keluar, tergopoh-gopoh Darmo mendekat.
“Gawat Pak Lurah. Gawat!” napas Darmo tak beraturan.
Namun Pak Lurah yang baru bangun tidur itu tak merespon apa-apa. Ia hanya melengos sambil menarik kursi untuk diduduki.
“Gawat apanya, Darmo?” tanya Pak Lurah malas, telunjuk kirinya menyusuri lubang hidung.
“Gawat Pak, Gawat! Sangat gawat!” sekarang Darmo ikut duduk di samping Pak lurah, ia mulai mengatur napasnya. Setelah agak tenang, ia kembali melanjutkan.
“Tadi malam, Pak. Saya didatangi arwah Sukro!”
Seperti baru mendengar lelucon, Pak Lurah terkekeh geli.
Ha… ha… ha…
Melihat reaksi tersebut Darmo jadi kesal, jika tidak ingat sisa uang upah pembantaian terhadap Sukro, sudah pasti dilipat-lipat tubuh Pak Lurah yang kurus itu.
“Kenapa Pak Lurah malah tertawa?”
“Kau itu memang gak becus Darmo! Di suruh mateni pengunyah Sirih seperti Sukro saja gak bisa! Percuma saya bayar kamu, dan jangan harap sisa pembayaran itu bisa kamu ambil!” Pak Lurah melirihkan suaranya agar tak terdengar oleh siapapun, termasuk istrinya.
Kemudian Pak Lurah bercerita sedikit tentang kejadian beberapa hari lalu, ketika orang-orang meninggalkan Sukro di dekat pemakaman tua. Mereka semua, termasuk Darmo mengira bahwa Sukro telah benar-benar meninggal. Padahal Sukro masih punya urat-urat nyawa yang melekat pada kunyahan sirihnya. Mendengar hal itu, Darmo semakin gamang. Sekarang Ia tak peduli lagi dengan sisa upahnya.
“Sekarang saya sudah cuci tangan. Lagipula warga hanya tahu bahwa kau yang mengatakan bahwa Sukro telah mencuri sapi si Hasan. Aku tidak mau terlibat, urusi sendiri!”
Pak Lurah langsung bangkit dan meninggalkan Darmo yang ketakutan. Belum sempat melewati pintu masuk, istrinya tiba-tiba keluar membawa nampan teh, nyaris mereka bertabrakan.
“Tapi Pak, saya sudah terlanjur bilang pada Sukro bahwa Pak Lurah adalah dalang di balik semua ini. Saya sudah tidak peduli dengan sisa upah, yang penting saya sudah menyampaikan berita buruk ini. Sekarang terserah Pak lurah, saya akan berangkat ke kota pagi ini, dan perlu Pak Lurah tahu, Sukro akan datang menemui Pak Lurah malam ini”
Istri Pak Lurah tak mampu berkata-kata mendengar ucapan Darmo. Gemetar tangannya mempertahankan nampan. Pak Lurah pun berubah gamang. Tak ada gunanya menahan Darmo. Ia tahu siapa Sukro, laki-laki yang tak lain adalah kakak iparnya, suami dari kakak perempuan istrinya, bukanlah orang sembarangan. Berita bahwa Sukro menyimpan cadangan nyawa pada daun sirih memang telah menyebar di masyarakat. Dan Sukro tak akan pernah terima perlakuan atas dirinya beberapa waktu lalu.
***
Malam itu Pak Lurah hanya berkutat dengan perasaan takutnya. Ia sendiri di rumah megahnya. Istri beserta anaknya yang cacat ‘lah pamit pergi entah kemana. Mungkin istrinya sudah tahu apa yang akan terjadi, dan inilah puncak kekesalannya pada suaminya sendiri, suami dan juga pemimpin yang serakah.
Pelan suara pintu di ketuk. Pak Lurah bergeming. Suara ketukan agak kencang, semakin kencang, seolah sekarang menggedor-gedor jantungnya. Akhirnya pintu terbuka, sudah bisa di tebak siapa yang datang. Kini Ia meringkuk di sudut kamar, tak bisa bergerak tubuhnya, kaku. Langkah kaki mulai terdengar mendekati kamarnya. Seperti bola kasti memantul berulang kali di dekat jantung, keringat dingin tak bisa lagi terbendung. Suara langkah ‘lah lenyap, dan perlahan pintu kamarnya terbuka.
“Ampun kang Sukro, ampun. Memang, memang Aku yang menyuruh Darmo untuk memprovokasi warga supaya membunuhmu atas tuduhan pencurian terhadap sapi si Hasan. Tapi aku sangat menyesal kang, Aku minta maaf”
Sejenak suasana hening. Tak ada sepatahpun kata-kata keluar dari pemilik suara langkah kaki tadi. Pak Lurah semakin gemetar. Membayangkan Sukro sedang berdiri dengan mata nanar, siap mencekik lehernya.
“Pak, Pak Lurah…”
Pak Lurah mengenali suara itu, sangat kenal, apalagi suara ketukkan di lantai yang terus mengiringi kata-kata orang itu. Pelan-pelan kepalanya terangkat, mendongak dan mendapati tukang pijat buta yang sering menjadi tukang pijatnya.
Pfufh, ada napas lega yang meluncur dari lubang hidungnya.
“Ada apa kau kesini, pemijat buta!”
“Anu Pak Lurah, saya mau minta daun sirih di belakang rumah bapak”
Tak habis pikir dengan kata-kata yang baru didengarnya, Pak Lurah tak berkedip, napasnya masih memburu.
“Untuk apa?”
“Tadi saya menemukan harimau di tengah hutan,ia terluka parah. Saya kehabisan daun sirih di hutan, karena beberapa waktu lalu sudah saya gunakan untuk merawat seseorang yang terluka parah hampir mati. Dan berkat daun sirih itu, ia hidup lagi. Dan yang membuat saya keteteran sekarang, Dia terus-terusan minta daun sirih, parahnya daun sirih itu bukan untuk mengobati luka-lukanya, selain untuk di kunyah-kunyah, dia juga memakan daun itu, sebagai pengganti nasi Pak Lurah. Saya bingung karena semua daun sirih yang merembet di gubuk saya ludes! Lalu dia memberitahu saya, katanya Pak Lurah punya banyak batang daun sirih, maka itu saya kesini Pak Lurah. Saya malah baru tahu kalau Pak Lurah punya kebun sirih, padahal saya sering datang kemari untuk memijat Pak Lurah” lelaki buta itu tersenyum polos sambil mengusap gagang tongkatnya.
Pak Lurah bisa menebak siapa seseorang yang dimaksudkan si pemijat buta, pasti Sukro.
“Sekarang di mana orang itu?” tanya Pak Lurah ragu.
“Nunggu di depan, Pak Lurah, di teras”
Selesai.
Analisis tokoh:


1.    Sukro
a.    Psikologis, seseorang yang  karakternya tak bisa di tebak. Terkadang menjadi sosok yang ditakuti,
Ia tahu siapa Sukro, laki-laki yang tak lain adalah kakak iparnya, suami dari kakak perempuan istrinya, bukanlah orang sembarangan. Berita bahwa Sukro menyimpan cadangan nyawa pada daun sirih memang telah menyebar di masyarakat. Dan Sukro tak akan pernah terima perlakuan atas dirinya beberapa waktu lalu.

terkadang jadi penakut bahkan tiba-tiba menjadi sosok yang aneh dan konyol.
… Dan yang membuat saya keteteran sekarang, Dia terus-terusan minta daun sirih, parahnya daun sirih itu bukan untuk mengobati luka-lukanya, selain untuk di kunyah-kunyah, dia juga memakan daun itu, sebagai pengganti nasi Pak Lurah. Saya bingung karena semua daun sirih yang merembet di gubuk saya ludes! Lalu dia memberitahu saya, katanya Pak Lurah punya banyak batang daun sirih, maka itu saya kesini Pak Lurah”

b.    Fisiologis, seorang laki-laki yang penampilan fisiknya menyerupai perempuan pengunyah sirih namun dalam bentuk laki-laki.
..Mulut Sukro senantiasa memerah. Bibir, gigi, dan lidah lelaki setengah baya itu mengundang perhatian orang lantaran memerah…

c.    Sosiologis, seseorang yang jarang bersosialisasi dengan masyarakat
“Ayo tampakkan kesaktianmu, Sukro! Mana bukti kalau kamu kebal…” kalimat ini memberi kesan bahwa Sukro adalah seseorang yang di kenal kehebatannya namun hanya sebatas gosip atau berita dari orang-perorang.

Sukro juga merupakan sosok yang mudah akrab dengan orang lain, terlihat dari ketika ia di tolong oleh lelaki buta sampai-sampai merepotkan karena menghabiskan daun sirih di gubuk lelaki buta.
… Dia terus-terusan minta daun sirih, parahnya daun sirih itu bukan untuk mengobati luka-lukanya, selain untuk di kunyah-kunyah, dia juga memakan daun itu, sebagai pengganti nasi Pak Lurah.

2.    Pak Lurah
a.    Psikologis, seseorang yang licik, ini terlihat dari teknik pelukisan dramatik melalui tingkah laku tokoh : dari kejauhan Pak Lurah memandangi pembantaian Sukro. Membuang muka, geram. Tak mau terlibat. Buru-buru meninggalkan kuburan tua dan daerah bukit cadas yang di gempur …

“Sekarang saya sudah cuci tangan. Lagipula warga hanya tahu bahwa kau yang mengatakan bahwa Sukro telah mencuri sapi si Hasan. Aku tidak mau terlibat, urusi sendiri!”

Memiliki karakter kasar dan sombong
“Kau itu memang gak becus Darmo! Di suruh mateni pengunyah Sirih seperti Sukro saja gak bisa! Percuma saya bayar kamu, dan jangan harap sisa pembayaran itu bisa kamu ambil!” Pak Lurah melirihkan suaranya agar tak terdengar oleh siapapun, termasuk istrinya.

Dan juga pengecut
“Ampun Sukro, ampun. Memang, memang Aku yang menyuruh Darmo untuk memprovokasi warga supaya membunuhmu atas tuduhan pencurian terhadap sapi si Hasan. Tapi aku sangat menyesal Sukro, Aku minta maaf”

b.    Fisiologis, seseorang yang berperawakan kurus tinggi
 Melihat reaksi tersebut Darmo jadi kesal, jika tidak ingat sisa uang upah pembantaian terhadap Sukro, sudah pasti dilipat-lipat tubuh Pak Lurah yang kurus itu.

c.    Sosiologis, tidak respek terhadap warganya. …Tak mau terlibat. Buru-buru meninggalkan kuburan tua dan daerah bukit cadas yang di gempur …

3.    Lelaki  Buta
a.    Psikologis, seseorang yang baik hati dan cukup hati-hati. Hal ini terlihat dari teknik pelukisan melalui pikiran dan perasaan tokoh ketika menolong Sukro yang tak berdaya.
ia memijat sekujur tubuh Sukro, bergemeletak tulang-tulang yang patah diluruskannya.

Tokoh ini juga memiliki sikap lugu dan polos
Saya bingung karena semua daun sirih yang merembet di gubuk saya ludes! Lalu dia memberitahu saya, katanya Pak Lurah punya banyak batang daun sirih, maka itu saya kesini Pak Lurah”

b.    Fisiologis, matanya buta, membawa-bawa tongkat kemanapun pergi
… ia mengetuk-ngetukkan tongkatnya, mencari jalan yang akan dilaluinya..

c.    Sosiologis, seseorang yang sangat peduli dan berbuat tanpa pamrih kepada siapapun bahkan seorang yang di tuduh pencuri seperti Sukro.
Tapi ia cemas bila pencuri ternak itu dimusuhi orang-orang kampong

4.    Darmo
a.    Psikologis, seorang tokoh yang rela melakukan apapun demi uang
..Percuma saya bayar kamu, dan jangan harap sisa pembayaran itu bisa kamu ambil!” Pak Lurah melirihkan suaranya agar tak terdengar oleh siapapun, termasuk istrinya.

Darmo juga pengecut seperti Pak Lurah
Sekarang terserah Pak lurah, saya akan berangkat ke kota pagi ini, dan perlu Pak Lurah tahu, Sukro akan datang menemui Pak Lurah malam ini”

b.    Fisiologis,
“Pak Lurah, Pak Lurah!” dari teras ia berteriak memanggil tuannya sambil tergopoh-gopoh membawa tubuhnya yang besar tinggi namun agak botak di bagian kepala.

c.    Sosiologis, seseorang yang sebenarnya manut dan berdedikasi terhadap tuannya
“Tapi Pak, saya sudah terlanjur bilang pada Sukro bahwa Pak Lurah adalah dalang di balik semua ini. Saya sudah tidak peduli dengan sisa upah, yang penting saya sudah menyampaikan berita buruk ini.

5.    Istri Pak Lurah
a.    Psikologis, tidak tahan dengan suatu kebusukan seperti yang dilakukan suaminya
Istri beserta anaknya yang cacat ‘lah pamit pergi entah kemana. Mungkin istrinya sudah tahu apa yang akan terjadi, dan inilah puncak kekesalannya pada suaminya sendiri, suami dan juga pemimpin yang serakah.

b.    Fisiologis,
Dengan air muka tak senang Bu Lurah yang sedang menyapu teras langsung masuk ke dalam rumah sambil meletakkan sapu dan menggelung ulang rambutnya yang panjang namun tipis.

c.    Sosiologis,
Tokoh ini  menghargai tamu walaupun tidak suka terhadapnya,
Dengan air muka tak senang Bu Lurah yang sedang menyapu teras langsung masuk ke dalam rumah … Belum sempat melewati pintu masuk, istrinya tiba-tiba keluar membawa nampan teh, nyaris mereka bertabrakan.

2 komentar:

  1. udah ahli nih analisis sastranya.. wah,wah.. bener2 seorang sastrawan.. amien..

    BalasHapus
  2. hhe..
    ahh. proses belajar masih panjang kawan..
    terimaksih ya ...
    terus belajar!

    BalasHapus