Laman

Senin, 27 Januari 2014

Menulis (untuk) Memenangkan Sejarah

Lampung Tumbai edisi keempat di Koran Lampost akhirnya terbit. Sudah saya baca sekalian saya gunting bagian itu dengan maksud untuk dibuat klipping. Tapi agak berbeda, kali ini untuk pertama kalinya seorang kawan di fb yang tak lain wartawan dari koran yang bersangkutan, untuk pertama kalinya menandai saya diartikel yang sama tapi versi digital. Jadi, saat menerima notification, saya sempat membaca beberapa komentar di sana. Satu yang menarik perhatian saya begini bunyinya:

"Tulisan ini sangat subyektif. Fakta-faktanya masih banyak yang harus dikoreksi. Orientalis seperti ini banyak bermunculan pada abad-abad ke-19. Tujuannya sengaja mengaburkan sejarah dan pecah belah. Bagi saya tulisan ini tidak layak dijadikan acuan sejarah. Paling tidak hanya untuk data pembanding."

Pada intinya, saya sepakat dengan kritik tersebut. Bahwa benar, di edisi berjudul "Lingkaran Setan di Lampung" kali ini (saya tidak yakin dia telah membaca tiga artikel edisi sebelumnya), taste yang muncul cenderung lebih subjektif dibandingkan tiga edisi terdahulu. Dan bahwa tulisan atau artikel-artikel tersebut memang sebaiknya dijadikan bahan pembanding saja. Tapi persoalannya, kembali pada curhatan saya sebelum ini. Masih terlalu minim sumber rujukan tentang Lampung yang bisa ditemui. Maka ketika ada seseorang yang mengaku penyuka sejarah dan berada dekat dengan manuskrip-manuskrip, apa salahnya coba openmind terhadap pendapatnya.

Selain itu, di tempat lain saya pernah menuliskan: "Menulis untuk diam-diam memenangkan, sejarah." Kenapa saya berkata demikian, sebab memang sejak dulu, catatan sejarah adalah produk dari "pemenang sejarah" dan di balik tulisan-tulisan objektif, mustahil tak terkandung subjektivitas. Hanya saja kadarnya mungkin dikonsep sedemikian rupa agar yang menonjol adalah sisi objektifnya. Dengan menulis, setidaknya seseorang akan bisa memenangkan sejarah hidupnya sendiri. Ingat, "scripta manen verba voilant".

Jadi, apapun tujuan politis di belakang penerbitan artikel pekanan mengenai Lampung tempo dulu itu, saya tetap mengapresiasi usaha pihak-pihak terkait untuk menyodorkan kepada para pencari catatan sejarah untuk bisa memeroleh bahan-bahan pembanding. Sekali lagi, tak ada hal yang benar-benar objektif apalagi mutlak benar. Pembaca yang baik akan selalu berusaha menelusuri celah-celah yang memungkinkan dari suatu argumen. Dan artikel pekanan ini akan bermanfaat untuk menyusuri lebih jauh jejak sejarah Tano Lado yang sejauh ini jelas masih miskin data. Perkara si penulis "dibayar" atau punya niatan buruk terhadap sejarah Lampung, itu kembali lagi pada tiap-tiap orang adakah tindakan lanjutan, mungkin dengan membaca langsung buku-buku rujukannya. Apalagi baru-baru ini sebuah situs web mengabarkan bahwa Belanda telah mengembalikan (atas usaha seorang akademisi UI) sekitar 12.000 naskah Indonesia.


Minggu, 05 Januari 2014

Lampung Tumbai*


Beberapa waktu lalu ketika saya menjenguk nenek yang sedang dirawat di RS Urip Sumoharjo. Sebagai pengait, rumah sakit ini menggunakan nama-nama pahlawan Indonesia sebagai nama kamar di kelas VIP. Ketika itu saya berada di kamar Martha Christina Tiahahu. Entahlah, nenek (adik nenek saya) satu ini bisa dibilang sering (mungkin malah hobi) keluar-masuk rumah sakit karena menurutnya lebih enak dirawat ketimbang sakit di rumah. Di sana kami ngobrol-ngobrol. Salah satu topiknya adalah membahas mengenai Radin Inten, pahlawan nasional Lampung yang namanya baru, baru-baru ini dijadikan nama bandara (awalnya bernama Bandara Branti). Miris ya, padahal kota-kota lain telah menggunakan nama pahlawan jauh lebih lama. Nenek saya bertanya, mungkin juga sekadar basa-basi mengetes pengetahuan saya sebagai yang katanya sarjana Humaniora dari Fakultas Ilmu Budaya,
Berarti, sebagai pahlawan, Radin Inten masuk ya dalam sejarah Indonesia?
Ke-soktahuan-saya pun terusik.  Saya bilang padanya, selama mempelajari sejarah (nasional Indonesia), sejak SD hingga kuliah, saya tidak pernah mendengar nama Lampung dihebohkan. Untungnya, ini agak berkaitan dengan kutipan yang muncul beberapa waktu setelahnya berikut ini,
Walapun tulisan dan dokumentasi mengenai seluruh wilayah nusantara--bahkan sampai pulau dan dusun yang  terkecil--tersedia, dari dahulu kala dan bahkan sampai sekarang perhatian sebagian besar peneliti, penulis dan pengamat budaya mancanegara lebih banyak dicurahkan pada masyarakat dan kebudayaan di Pulau Jawa dan Bali (Lampung Post, 5 Januari 2014)
Waktu itu sebetulnya saya merasa tak yakin, hanya sebatas menduga bahwa memang Lampung tak menarik minat banyak orang untuk mempelajarinya.

Sebagaimana saya yang dulu justru memilih sastra Indonesia dan bukannya sastra daerah. Baru kemudian di masa-masa akhir kuliah sempat galau kenapa saya malah tak peduli. Tapi apa daya, pilihan sudah ditentukan dan saya hanya bisa menonton, saya tidak menyesal karena sastra Indonesia memang juga passion saya. Hanya saja sedikit sedih kenapa sepertinya saya telah menutup sendiri jalan lain untuk menuju tempat lain. 

Hari ini Lampost sedikit menghibur saya. Bahwa menurut Frieda Amran, antropolog UI yang bermukim di Belanda dan didaulat menjadi pengisi rubrik pekanan tersebut, ada sekitar 1534 tulisan mengenai Lampung dalam bentuk buku, majalah, dan naskah di Perpustakaan KITLV (Koninklijk Intituut Taal-, Land -en Volkenkunde) Leiden, Belanda. Buku tertua mengenai Lampung di sana ditulis oleh Johan Diederik Krusenman tahun 1817.Ternyata benar bahwa Leiden juga menyimpan naskah Tano
Lado. Rasanya seperti dayung bersambut. Saya berharap, resah yang selama ini saya rasakan memang bukan satu-satunya. Semoga memang ada banyak masyarakat Lampung atau yang peduli pada Lampung mengalami hal serupa, keresahan yang mengawali sebuah kejadian. Saya masih berharap bisa jadi bagian dalam -apa ya menyebut hal ini- urusan ini. Terima kasih Lampung Post. Semoga "hal ini" bisa difollowup secara matang dan hasilnya bisa bermanfaat untuk khalayak.

*Tumbai=tempo dulu