Laman

Senin, 14 Desember 2015

Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti.

--Banda Neira--
Keterpilihan, Keberuntungan, Kesabaran, dan Keindahan. Begitulah saya memaknai Banda Neira. Apa sebab? Musik Indie telah dikenal sebagai suatu aliran alternatif. Tentu, peminatnya tak mungkin sebanyak penikmat aliran musik mainstream. Saya juga tidak mengatakan bahwa penikmat musik indie tak suka (sama sekali) pada musik di luar indie, tapi mungkin hanya sedang jenuh.
Begitulah cara saya menemukan Banda Neira (seperti juga Payung Teduh dan Frau sebelumnya). Pada kondisi sedang tak tahu harus melakukan apa, seorang kawan baik, Mbak Dian, mengajak saya datang ke sebuah festival di SMA AL-AZHAR Jakarta. Katanya, ada Banda Neira di sana. Maaf?
Maafkan saya. Jangankan mendengar nama sebagai DUO, saya bahkan tidak tahu bahwa Banda Neira, menurut cerita Mbak Dian, adalah sebuah tempat yang sangat indah, di mana dulu Bung Hatta pernah diasingkan. Entahlah, tapi, dari semua lagu yang diciptakan oleh Banda Neira, izinkan saya untuk sok tahu bahwa Banda Neira sangat mungkin merupakan tempat yang indah sekali. Pada bagian inilah saya merasa menjadi orang yang terpilih untuk berkesempatan hadir ke festival itu, dan mengeja satu persatu lagu yang dibawakan oleh Banda Neira.
Sebagai orang yang terpilih, saya merasa mendapatkan sebuah keberuntungan. Sebab, meskipun baru pertama kali mendengarkan musik mereka, secara live, saya bisa langsung jatuh cinta, cinta sekali. Banda Neira sangat bisa menghadirkan musik dengan lirik yang soft, meskipun sarkastis. Misalnya saat dia bilang: Sepi itu indah, percayalah. Membisu itu anugerah (”Hujan di Mimpi”). Dan pada lagu "Senja di Jakarta". Di mana mereka bisa dengan anggun memaklumi Jakarta dengan segala hiruk-pikuknya.
Bukan hal mudah, dan memang jarang sekali orang mau bersabar menunggu munculnya kata pertama dari sebuah lagu, bila preludenya terlalu panjang. Hei, kita tahu kan bagaimana Frau dan Payung Teduh memaksa pendengar untuk mengambiil posisi hening, dan melupakan dahulu segala hal sebelum mulai mendengarkan musik mereka.

Begitupun dengan Banda Neira. Pada lagu “Sampai Jadi Debu”, bila kita kurang bersabar, pasti akan mengira ini hanyalah lagu instrument seperti sema yang diciptakan oleh Depapepe. Bagaimana tidak, selama hampir 2 menit pertama, lagu hanya berisi instrument piano, disusul kemudian gumaman, dan baru di 1 menit (dari total 6 menit) kemudian suara lirik dimunculkan. 
Dan di sanalah seni serta keindahan lagu-lagu yang lahir sebagai musik alternatif, termasuk Banda Neira ini. Saya tak tahan untuk tak menuliskan ini setelah beberapa menit yang lalu mendengarkan lagu-lagu dari album kedua mereka. Di antaranya “Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang berganti”, “Sampai jadi Debu”, “Sebagai Kawan”, dan “Pelukis Langit.”