Laman

Senin, 30 Desember 2013

Filologi dan Lampung

Menjadi mahasiswa sastra Indonesia ada banyak pengetahuan dan ilmu yang saya peroleh, tentu tidak semuanya bisa saya serap dengan baik, sayangnya. Ya, kita yang pernah kuliah memang akhirnya disadarkan bahwa pendidikan di perguruan tinggi itu lebih menuntut mahasiswa untuk belajar mandiri. Bila hanya mengandalkan pelajaran yang disampaikan dosen, tamatlah riwayat, yang ketika lulus hanya sekadar menyandang gelar sarjana tanpa tahu harus melaukan apa karena memang tak matang ilmunya. Orang-orang seperti itu malang betul nasibnya. Satu ilmu yang saya ketahui di antara sekian banyak itu adalah filologi. Singkatnya, ilmu ini berkaitan dengan naskah-naskah kuno. 

Di FIB Undip jurusan sastra Indoesia, pada semester V mahasiswa diberi kesempatan untuk memilih 3 peminatan yaitu Sastra Indonesia, Linguistik, dan Filologi. Sasindo tentu tak jauh-jauh dari penelitian mengenai karya-karya fiksi seperti puisi dan novel. Linguistik lebih menekankan pada tata bahasa. Sementara filologi seperti yang saya paparkan sebelumnya mengajak peminatnya untuk berkonsentrasi membedah naskah-naskah kuno baik yang ada di nusantara maupun di Leiden. Naskah nusantara umumnya beraksara melayu-jawa-arab, sedangkan di Leiden tentu tak berbahasa Indonesia namun membahas nusantara.

Di Undip, konsentrasi filologi lebih cenderung pada naskah jawa. Ketika semester V, kebimbangan saya hanya jatuh pada Sasindo dan Filologi. Itu karena sebetulnya secara konsep keduanya sama-sama membahas objek fiksi-nonfiksi tidak seperti linguistik yang dalam bayangan saya pasti rumit dan akan menyita banyak waktu dengan hapalan teori-teori kebahasaan. Passion saya di sastra, baiklah seiring waktu saya menjatuhkan pilihan pada sastra dan melepaskan filologi karena sadar kemampuan bahasa dan terutama aksara Jawa saya sangat buruk. Padahal beberapa pihak telah sempat memberi masukan bahwa paham aksara Jawa bukan hal yang diperlukan secara mutlak.

Saat skripsi, mahasiswa Filologi boleh membahas naskah kuno lain, misal Sastra Melayu
Tionghoa. Saya memang banyak beralasan. Oya, seandainya memang ada (tolong dimaafkan kesoktahuan saya) kelas filologi di Lampung, sudah barang tentu ada lanjutan pelajaran bahasa dan sastra daerah serta aksara Lampung yang selama ini hanya dipelajari sampai jenjang SMP saja.

Waktu berlalu dan sekarang saya sudah jadi seorang Sarjana Humaniora (S. Hum). Dengan seluruh kerja keras dan ketekunan sekuat saya, masih juga saya merasa kenapa dulu saat kuliah saya masih kurang memaksimalkan waktu yang ada untuk belajar lebih banyak. Saya merasa masih sangat bodoh. Setelah kembali ke rumah, ilmu yang saya pelajari kelihatannya masih belum diminati.

Sampai suatu hari saya baca koran harian, salah satu berita di halaman utamanya menyebut-nyebut FILOLOGI di bagian judul. Mata saya langsung tak sabar ingin membaca isinya. Berita itu menginformasikan bahwa akan diadakan semacam proyek penelitian filologi utnuk mengungkap sejarah Provinsi Lampung yang mengalami missing link dengan sejarah nasional. WOW. Pada artikel lanjutan di edisi selanjutnya, mereka berencana untuk mengmpulkan naskah-naskah beraksara Lampung yang kemungkinan ada di pesantren-pesantren. Karena menurut ahli, Lampung adalah Jawa Timurnya Sumatera. Selain di pesantren, mereka telah mengincar naskah yang (ternyata) ada di Leiden juga.
Sungguhkah?

Sayapun berpikir, bisakah saya ikut ambil bagian dalam proyek itu? Kalau bisa, bagaimana caranya? Bukan mengenai fee, melainkan bagaimana saya bisa menunjukkan kepada tanah kelahiran bahwa saya sangat ingin sumbangsih pengetahuan dan jadi bagian dalam pembangunan. Tapi saya sadar juga bahwa ilmu yang saya miliki sepertinya kurang pas. 

Tulisan ini apa ya? Kekecewaan? Terserahlah. Saya masih lebih kecewa ketika setelah mengetahui informasi itu kemudian bertanya pada teman yang berkuliah di Lampung jurusan Sasindo Daerah 'di sana ada peminatan filologi gak?' dan dijawab 'filologi apaan ya?' Dan lagi, menurut koran itu, yang berinisiatif melakukan penelitian pun bukan Universitas Lampung melainkan IAIN Bandar Lampung. wow wow wow.

Selasa, 19 November 2013

Aroma Nepotisme Orang-orang Dalam

Lulus dan menjadi sarjana memang menjadi klimaks bagi para mahasiswa yang sudah sampai di batas akhir masa studinya. Tapi kalau mau jeli, ketuntasan itu justru menjadi awal perjuangan selanjutnya. Jika belum mengalami sendiri, maka tak perlu buru-buru percaya bahwa menjadi sarjana bukan hal sederhana. Cukuplah dengan serius menjalani kewajiban sebagai mahasiswa dengan tak mengabaikan pentingnya berorganisasi. Nanti, setelah gelar itu betul-betul telah disandang, percaya atau tidak pada kenyataan tersebut tetap sebuah pilihan yang tak bisa dipaksakan.

Hampir tiga bulan menjadi Sarjana Humaniora ternyata membosankan juga. Bayangan indah mendapatkan pekerjaan impian pasca wisuda masih menjadi sekadar impian. Bukan tanpa usaha tentu saja. Padahal jika agak mundur ke belakang, rasanya tawaran-tawaran menggiurkan di masa-masa akhir studi bisa dibilang cukup. Lantas kenapa kenyataannya justru sepahit ini ya. Sekian banyak cv dan surat lamaran pekerjaan telah sampai ke kotak surat elektronik berbagai HRD perusahaan yang dianggap layak. Nyatanya, beberapa panggilan interview tak cukup memuaskan. Siasanya, lebih mengecewakan. Memaksa diri untuk bersabar dan terus saja berusaha. Memupuk keyakinan, optimisme kesuksesan pada pekerjaan impian.

Bertahan dua bulan di kota rantau akhirnya berujung juga. Bujukan baik secara langsung atau diam-diam dari orangtua tak bisa lagi dielakkan. Sudah dua minggu ini saya kembali ke kapung halaman. Hal serupa sudah dilakukan. Memasukkan lagi cv dan surat-surat lamaran pekerjaan itu ke beberapa perusahaan yang lagi-lagi saya anggap paling mendekati keinginan pribadi. Masih nihil. Sejenak saya merenungkan apa yang salah? Atau apa yang kurang? Adakah yang bisa membantu saya memperbaiki kekurangan? Sebab berada di rumah saat masih berstatus mahasiswa itu tak sama dengan saat sudah berstatus sarjana. Memang, orangtua tak secara langsung menunjukkan perbedaan sikap. Tapi sebagai anak—dengan tetap yakin bahwa orangtua tak mungkin bersikap tak menyenangkan secara terang-terangan—tentulah kecanggungan itu pasti ada.

Empat tahun saya tinggalkan, katakanlah kecamatan tempat saya tinggal saja, sudah mengalami perkembangan yang signifikan. Banyak pabrik-pabrik bermunculan. Dari perusahaan minyak makan sampai besi bekas sekarang berdiri angkuh di sepanjang jalan lintas sumatera. Satu yang menarik hati saya adalah perusahaan susu dan kopi instan. ADA pula sebuah perusahaan agribisnis. Selain karena keduanya sudah punya nama, kedua berada di lokasi tepi pantai, bersentuhan langsung dengan pantai. Saya ingin bekerja di tepi pantai tanpa harus jadi nelayan. Tapi sekali lagi, bukan hal mudah untuk bisa bergabung di perusahaan itu. Bahkan saya ragu, apakah label kampus dan almamater saya itu akan berfungsi jika aroma nepotisme begitu terasa di perusahaan-perusahaan yang saya inginkan? Haruskah saya hanyut juga dalam arus demikian. Saya makin geram dan ingin membuat perusahaan sendiri jadinya.

Memang, untuk bisa melenggang mendirikan perusahaan di suatu kawasan, seringkali ada persyaratan yang mengharuskan perusahaan tersebut memperkerjakan warga sekitar. Jika calon tenaga kerja tersebut memiliki standar kelayakan (pendidikan dan soft skill) tentu bukan perkara. Celakanya, kawasan pedesaan didominasi oleh warga yang tingkat pendidikannya di bawah standar. Demikianlah akhirnya perusahaan tetap berjalan. Seiring waktu, warga yang telah lama direkrut menjadi pekerja itu ada yang punya posisi elit. Umumnya, mereka dipanggil dengan nama “orang dalam”. Pihak yang seringkali mengacaukan pengumuman adanya lowongan pekerjaan di perusahaan tempatnya bekerja.


Senin, 28 Oktober 2013

Kisah Hikmah: Bakti Istri kepada Suami

Suatu hari di zaman Rasulullah saw, seorang suami pamit pada istrinya untuk berjihad. Suami itu berpesan agar istrinya tidak keluar rumah sebelum ia kembali. Setelah kepergian suami itu, keesokan harinya datanglah seseorang yang merupakan utusan dari Ayah perempuan yang ditinggal berjihad oleh suaminya tersebut.
"Saya diutus oleh Ayahmu untuk mengabarkan bahwa beliau sedang sakit keras. Beliau meminta saya untuk menjemputmu." ucap si utusan.
"Maaf, suami saya sedang berjihad. Saya tidak boleh keluar rumah sampai ia kembali."
Utusan itu akhirnya pulang.
Hari berikutnya utusan itu kembali. Kali ini dengan kabar bahwa sakit Ayahnya semakin parah. Ia sangat ingin dikunjungi oleh putrinya. Namun, perempuan itu tetap menolak dengan baik, dengan alasan yang sama seperti sebelumnya.
Hari ketiga, utusan itu mengabarkan bahwa Ayah si perempuan sedang menghadapi sakaratul maut. Meskipun sebentar, kehadiran perempuan itu akan sangat bermakna. Tetapi si perempuan tak berubah pikiran.
Sampai akhirnya hari keempat utusan itu memberitahu bahwa Ayahnya telah meninggal. Jika memang mau, perempuan itu ditunggu kehadirannya di pemakaman. Tapi hal itu tak pernah terjadi. Atas rasa kesalnya, utusan itu mengadu kepada Rasulullah SAW. Menurutnya, perempuan itu sudah keterlaluan karena tak mau menjenguk Ayahnya yang sakit parah bahkan ketika meninggal pun tidak hadir ke pemakamannya.
Rasulullah SAW menjawab:
"Ayah dari si perempuan itu diampuni seluruh kesalahan dan dosanya oleh Allah SWT karena memiliki anak perempuan yang berbakti kepada suaminya."
Sumber: catatan pribadi kajian islami

Rabu, 16 Oktober 2013

Seni untuk?

Dengan itulah, menurut Plekhanov, Pushkin merumuskan sikapnya yang menegaskan “seni [adalah] untuk seni.” Seni bukan untuk tujuan apapun selain sebagai nyanyi.
Bukan, bukan buat gairah dunia,
Bukan untuk kerakusan ataupun perjuangan,
Tapi untuk inspirasi, untuk doa
dan merdunya nyanyi, penyair datang 
Saya bukan penganut "Seni untuk seni" ataupun "seni untuk rakyat". Entah tindakan saya untuk tetap bersifat netral dari kedua kubu masa lalu itu tepat atau tidak, intinya di sini saya hanya ingin sedikit memberikan catatan bahwa sikap tegas Pushkin tersebut justru tidak tegas. Mungkin dia tidak sadar, atau ada konteks tersembunyi yang belum saya ketahui dari kontrasnya ketegasan itu. 
Bahwa seni bukan untuk tujuan apapun --> tapi untuk inspirasi, untuk doa, dan merdunya nyanyi...

Sastra dan Sebuah Kewajiban

Sejak memasuki semester akhir di bangku kuliah dan akhirnya sekarang lulus, rasanya terlalu lama saya tak mengkaji apalagi menuliskan hal-hal terkait sastra. Sore ini saya mampir ke web Caping Goenawan Mohammad. Di sana saya serasa bernostalgia, seolah saya disadarkan dengan sebuah pertanyaan: "Sudahkah kamu lakukan kewajiban sebagai Sarjana Humaniora?"

Saya menyadari bahwa saya belum mengerahkan potensi yang saya punya untuk negeri ini. Baiklah, intinya dalam salah satu catatan itu saya mendengar kembali istilah "Realisme Sosialis" dan L'art pour l'art. Istilah yang pertama adalah masa lalu, kenangan buat saya. Sebelum akhirnya memutuskan untuk mengkaji novel milik Nuril Basri berjudul Halo, Aku dalam Novel dengan kajian Psikologi Sastra (abnormal), sebetulnya saya mengawali konsep dengan sebuah novel milik Seno Gumira Ajidarma berjudul Negeri Senja.

Sebelum membaca HADN, lebih dulu saya membaca NS. Sebagai anak SMA, saya akhirnya memaklumi ketakpahaman saya pada novel SGA tersebut. Pemikiran saya belum sampai ke arah sana. Sebab ketika awal duduk di bangku kuliah, barulah dosen saya memberitakan bahwa Negeri Senja bukanlah novel romantis, melainkan politik. Lebih tepatnya ada realisme sosialis di sana. Istilah realisme sosialis saya dapatkan dari hasil pencarian ke berbagai sumber saat saya mencetuskan ide untuk meneliti novel SGA tersebut sebagai skripsi. Sama sekali NS tak bisa sekadar dibaca dari sampul atau endorsment. Secara garis besar, novel ini adalah perumpamaan dari sebuah negara (yang pernah) bertirani.

Sayangnya usaha saya tersebut terhenti. Terbatasnya sumber rujukan dan (terutama) kegigihan saya untuk mendapatkannya, menyebabkan rencana tersebut hanya menjadi sekadar niat baik. Saya beralih pada novel psikologi yang juga sudah saya baca di awal-awal kuliah. Tak masalah, toh sepertinya pun jika saya tetap mengkaji novel SGA saya akan kepayahan.

Minggu, 29 September 2013

Rangkaian Dies Natalis Undip ke-56 "BERKARYA DENGAN EMPATI"


3 impressive things in Undip Dies Natalis 56th tonight. Emha Ainun Najib "Kiai Kanjeng", tradition snack, and that cute lil girl who actived copycat the performer :) with Umi – View on Path.
Cak Nun suatu hari membayangkan Universitas Pangeran Diponegoro menjadi universitas international. Menjadi laboratorium ilmu pengetahuan dan budaya Indonesia dan dunia. Tak sekadar orang-orang asing kuliah di Undip melainkan betul-betul "orang-orang barat" belajar pada orang timur.

Islam adalah rahmatan lilalamin. Artinya, ketika ada seorang muslim, maka apapun yang ada di sekitarnya (manusia) akan terlindungi dalam 3 hal: nyawa, martabat dan hartanya.
Orang barat perlu penjelasan panjang lebar untuk memahami sebuah fakta. Misalnya fakta “rice” yang dalam bahasa Jawa bisa bermakna pari, gabah, beras, dan nasi. 

Menurut Cak Nun, sejarahwan modern tidak mengakui simbah-simbahnya (nenek moyangnya) sebab mereka tidak mengakui babad. Sejarah Indonesia adalah berdasarkan pengakuan sejarah barat. Apa yang tidak tercatat di Leiden maka tidak dianggap sebagai sejarah Indonesia. Maka semoga suatu saat Undip/Indonesia bisa menjadi pusat penyadaran budaya.

Diponegoro dan Gajahmada adalah dua sosok sejarah yang berjuang bukan hanya atas nama Jawa melainkan nusantara. Mereka sebetulnya bisa saja menjadi raja, tetapi mereka tidak mempermasalahkan. Gajahmada merupakan Muslim yang taat. Ia merelakan anaknya, Hayamwuruk menjadi raja (meskipun tidak ada yang tahu bahwa Hawe adalah anaknya).

Lagu jawa gelarno kloso. Eh pagere ambruk eh mergo tak tubruk. Itu adalah gambaran Indonesia yang bukannya menyelesaikan sebuah masalah justru membuat masalah berbiak. Masyarakat berharap dari kampus muncul solusi-solusi. Mahasiswa seharusnya BERKARYA DENGAN EMPATI TERHADAP PERMASALAHAN NEGARA.

Selasa, 17 September 2013

Memaknai Pendakian (Puncak Lawu 3265 mdpl)



Mendaki gunung ialah bentuk lain dari memaknai hidup. Jika biasanya di daratan kita dihadapkan pada beragam masalah yang begitu memberatkan “pundak” namun kita tidak bisa langsung “melihat” seperti apa wujud beban itu, maka dalam pendakian, kita bisa langsung melihat wujud beban yang tak hanya memberatkan bahkan membuat perih kedua bahu, termasuk juga kedua kaki yang berjalan lebih jauh dari biasanya.
Tidak sedikit orang yang berkata “siap” untuk melewati jalur pendakian. Juga tidak sedikit mereka yang telah berada di jalur pendakian kemudian merasa nyaris putus asa karena tak kunjung sampai ke puncaknya. Ini sama persis dengan sikap sebagian orang (termasuk saya) saat menghadapi permasalahan hidup. Ada yang terus berjuang hingga selesai, pun yang menjalaninya dengan sisa-sisa kesabaran yang ada. Ada yang mau tak mau harus menitipkan beban pada orang lain, ada pula yang dengan senang hati membawakan beban orang lain.
Bagi mereka yang sering mengeluh atas permasalahan hidup, memang ada baiknya melakukan pendakian. Tak harus ke Mahameru atau Lawu, cukup ke Ungaran. Tapi lakukan pendakian dengan niat untuk semakin menguatkan fisik dan mental. Bahwa hidup memang adalah sebuah pendakian untuk menuju Tuhan. Dalam pendakian, jalur tidaklah terus menerus naik, ada jalur-jalur datar yang kami menyebutnya “bonus”. Saya maknai, mereka yang senang berlama-lama di jalur datar ini ialah mereka yang salah paham atas kehidupan. Mereka harus sadar bahwa jalur sesungguhnya memanglah mendaki, jalur yang lebih banyak harus mereka lalui.
Untuk mencapai puncak Lawu via Cemoro Kandang, estimasi waktu standarnya sekitar 12 jam. Ini sudah termasuk jeda istirahat. Tapi untuk turun, hanya dibutuhkan waktu sekitar 4 jam via Cemoro Sewu. Uniknya dua jalur ini yaitu Cemoro Kandang masih berada di Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah sedangan Cemoro Sewu merupakan kawasan wisata di Kabupaten Magetan Jawa Timur. Jarak dua kawasan perbatasan ini tak sampai 1km berjalan kaki. Perbedaan estimasi jalur naik dan turun ini dipengaruhi oleh tingkat keekstreman. Meskipun lebih cepat 3 kali lipat, tapi jalur turun Cemoro Sewu lebih ‘gila’ dibanding jalur pendakian.

Jumat, 16 Agustus 2013

Kata Selingkung

Belakangan, selain kosakata alay, bermunculan pula kosakata yang tampaknya baru, yang dipakai oleh masyarakat umum khususnya pengguna sosial media. Yang lumayan kerap muncul ialah penyederhanaan salah satu proses dalam morfologi yaitu repetisi. Repetisi merupakan bentuk kata ulang misalnya kupu-kupu, tali-temali, pepohonan, dll. Bentuk yang terakhir inilah yang secara serampangan banyak digunakan oleh masyarakat. Pepohonan berasal dari kata pohon-pohonan. Contoh lain bentuk ini adalah rerumputan, jejadian, dll. Namun betulkah bentuk-bentuk seperti ‘gegara’, ‘rerupa’, lelama’? Dee bahkan pernah mengkultwitkan perihal ini di akun twitternya. Ia pun heran.

Dalam workshop editor di Bentang Pustaka yang saya ikuti Mei 2013 lalu di Yogyakarta, saya mengenal adanya “kamus selingkung”. Awalnya yang saya dengar adalah kamus “selingkuh”, sebab itulah kali pertama saya mendengarnya. Kamus selingkung ialah sejenis “buku putih” di suatu penerbitan yang digunakan selain KBBI. Kamus ini berfungsi sebagai “kitab suci” acuan yang sifatnya mengikat hanya ke dalam intern penerbitan. Misalnya penggunaan kata “gegara”, dalam KBBI tidak ada kata ini. Berbeda dengan penggunaan kata "sekadar" yang memang bentuk baku dari kesalahkaprahan "sekedar". Atau kata "selebriti" yang belakangan telah mulai digantikan dengan yang baku yaitu "selebritas".

Salah satu penerbit menggunakan istilah pengin (ada yang menggunakan kata ‘pingin’) meskipun yang ada dalam KBBI adalah ‘ingin’, berdasarkan suatu alasan. Diantaranya karena adanya lebih dari satu versi, maka untuk “menyudahi” kegalauan penerbit pun menetapkan satu kata yang mereka pilih untuk digunakan secara konsisten. Pun bila di kemudian hari diharuskan adanya revisi tentu penyesuaian akan senantiasa dilakukan.

Hal tersebut memang tidak sepenuhnya baik. Bahkan bisa jadi melangkahi KBBI. Namun, (menurut saya) penggunaan yang terlanjur marak oleh masyarakat menjadi tuntutan pembaharuan terhadap buku-buku yang baru diterbitkan di suatu era tertentu. Hanya saja, beberapa masyarakat awam yang membaca buku-buku terbitan mereka seringkali menjadi salah kaprah dan menganggap kata tersebutlah yang paling benar. Padahal tidak demikian. Sebab tiap penerbitan memiliki kamus selingkung masing-masing. Asas penggunaan suatu kata dalam kamus selingkung adalah konsistensi.Jadi, sebagai pembaca sebaiknya kita lebih bijak dalam memilih kosakata-kosakata yang memang sudah umum tetapi belum dibakukan dalam KBBI.

Minggu, 21 Juli 2013

La Tahzan, sebab Tuhan Tak Ingin Kita Bersedih

Kesedihan umumnya disebabkan oleh ketakmampuan mengatasi suatu permasalahan. Padahal, permasalahan atau ujian dalam hidup manusia adalah hal lumrah. Sebab hidup adalah proses. Dalam proses, kita melewati fase-fase tertentu. Jika kita gagal melewati sebuah fase atau gagal menyelesaikan suatu permasalahan, maka kita akan menjadi manusia yang stagnan. Hanya berkutat pada masalah yang itu-itu saja. Sedangkan proses menuntut kita untuk senantiasa lanjut ke fase berikutnya.

Sakit hati adalah salah satu bentuk ujian yang harus kita selesaikan pada suatu fase. Ada orang yang bukannya menyelesaikan masalah melainkan justru hanya melakukan pelarian.
Banyak hal bisa dilakukan untuk melarikan diri dari masalah. Cara positif misalnya dengan membaca quran, mendekatkan diri pada Tuhan. Atau dengan cara negatif misalnya minum alkohol. Hal semacam itu bisa memberikan ketenangan pada seseorang. Sehingga masalah tidak diselesaikan tetapi hanya dianggap selesai.

Ada kalanya menyelesaikan suatu permasalahan dengan hanya menganggapnya selesai adalah cara terakhir yang mampu dilakukan seseorang. Apalagi jika itu adalah masalah yang terlalu pelik. Ini semacam pengingkaran agar beban sejenak berkurang.

Sayangnya, menganggap selesai suatu permasalahan tanpa  benar-benar menyelesaikannya adalah sama dengan hanya mengendapkan hal tersebut. Tidak heran bila di kemudian hari, endapan masalah tersebut justru menjadi masalah yang makin serius. Sebab hanya menganggapnya selesai tanpa mengikhlaskannya adalah kesia-siaan.
Terhadap suatu permasalahan, kita harus menyadari masalah tersebut, merasakan dengan penuh kesadaran. Meluapkannya. Jika marah katakan marah. Lepaskan emosi itu. Baru kemudian berusaha melupakan. Hal ini sama dengan ketika kita berusaha untuk merasakan denyutan di seluruh tubuh.

Denyut pada tubuh adalah bukti kasih sayang Allah. Sesungguhnya denyutan ada di seluruh bagian tubuh kita dari kepala sampai kaki. Tapi kita jarang mampu menyadarinya.
Cobalah rasakan denyut nadi di genggaman tangan, langsung terasakah? Jika belum, pejamkan mata dan rasakan. Tidak mampu meraskan denyut di tangan adalah indikator bahwa kita belum bisa merasakan dan menyadari emosi diri. Merasakan apakah kita sudah betul-betul mengikhlasakan sesuatu atau hanya mengendapkannya.
Dalam QS 7: 42-43, Allah SWT berfirman: 
"Dan orang-orang yang beriman serta mengerjakan kebajikan, Kami tidak akan membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya. Mereka itulah penghuni surga; mereka kekal di dalamnya. Dan kami mencabut dendam dari dalam dada mereka, di bawahnya mengalir sungai-sungai."

Dari ayat tersebut kita bisa berhikmah bahwa cara menghapus rasa dendam atau sakit hati atau mengikhlaskan suatu masalah adalah dengan berbuat baik, kebajikan. Kalau kita masih sedih ketika mengingat sesuatu (permasalahan di masa lalu yang kita anggap sudah selesai) berarti kita belum ikhlas. Berarti Allah belum mencabut masalah itu dari hati kita.

Pentingnya mengikhlaskan suatu permasalahan sakit hati adalah agar kita tidak larut dalam kesedihan. Kita tidak boleh bersedih. Dalam quran dikatakan "la tahzan" (jangan bersedih). Sebab orang bersedih pertanda jauh dari rahmat Allah. Kesedihan pun bisa membuka peluang bagi setan untuk menjerumuskan kita.

Banyak hal menjadi serba salah ketika kita bersedih. Menyebabkan kita tidak bisa beraktivitas dengan baik. Salah satu contohnya adalah perilaku galau yang belakang seolah menjadi gaya hidup, menjadi bagian yang tak bisa terlewatkan. Padahal jelas bahwa menggalau ialah memanjakan kesedihan diri sendiri.

Disusun dan dikembangkan berdasarkan dari Spiritual Coaching bersama Ustazah Meidian, 21 Juli 2013 di Masjid Kampus Undip Tembalang.


Rabu, 05 Juni 2013

Indonesiaku Atlantisku


Mengenai adanya dugaan bahwa Indonesia adalah benua yang hilang yaitu Antartika, sepertinya saya setuju. Semua hal yang saya butuhkan atau yang akan saya butuhkan, ada di sini. Sejak dilahirkan dan bertahan hidup di negeri ini selama 21 tahun lebih saya memang merasa beruntung menjadi Warga Negara Indonesia. Sebelum dan setelah saya tahu mengenai adanya negara-negara lain di seluruh dunia, meskipun ada keinginan untuk mengunjungi beberapa negara lain, saya tetap mencintai tanah air ini begitu dalam. Tidak ada alasan yang bisa menjelaskan secara pasti kenapa saya begitu mencintai Indonesia. Yang jelas, dalam tubuh saya terkandung begitu banyak unsur tanah dan air Indonesia.

Indonesia adalah negeri yang sangat bahkan terlalu potensial untuk semua hal. Baik dari segi SDM, SDA, dan hal lain yang suatu saat nanti dibutuhkan oleh dunia. Saya setuju dengan ucapan Mr. Fahmi yang mengatakan bahwa meskipun bangsa Indonesia pernah dijajah oleh beberapa bangsa dunia sejak masa lampau hingga sekarang (hanya berbeda teknik penjajahan), Indonesia tetaplah negeri yang survive. Di negeri yang secara serampangan dianggap memiliki tanah subur—karena beberapa tanaman bisa tumbuh tanpa perlu ditanam cukup dengan melempar biji buahnya saja—ini selalu lahir dan tumbuh bibit-bibit baru baik SDM maupun SDA. Indonesia tidak pernah kehabisan orang-orang kreatif yang bisa mengolah apapun menajdi hal bermakna bagi hidup mereka masing-masing.

Menjadi negeri yang adidaya seperti Amerika, Cina atau Jepang mungkin bukan hal diambisiuskan bangsa ini. Tapi saya percaya bahwa Indonesia mumpuni untuk sekadar menjadi negara super power. Ini hanya masalah ada tidaknya kemauan dan tekad yang kuat (ambisiusitas). Menurut pendapat saya, Indonesia tidak begitu ambisius untuk hal tersebut. Tapi yang terpenting bagi bangsa negeri ini adalah selalu bisa mengikuti setiap trend dunia. Indonesia tak perlu menjadi yang nomor satu di dunia tapi dunia akan selalu mengingat negeri ini. Itulah poin penting yang saya peroleh dari pengamatan.  

Sebagai negara kepulauan, Indonesia adalah negara besar yang berani untuk mempertahankan puluhan provinsi untuk tetap menjadi bagian dari NKRI. Tidak seperti negara lain di dunia yang membentuknya menjadi negara bagian (united state). Dikarenakan kemajemukan tersebut, Indonesia memiliki keanekaragaman dalam banyak hal: agama, budaya, tradisi, bahasa dll. Jelas bahwa Indonesia adalah negeri yang kaya. Bisa jadi karena kekayaan itulah Indonesia lalai untuk merawat apa yang merupakan miliknya. Wajar jika beberapa “harta” yang dimiliki telah dengan mudah diakui sebagai hak milik oleh bangsa lain. Tapi tetap saja, meskipun demikian Indonesia tidak begitu khawatir kehilangan. Adanya tanah subur yang senantiasa menumbuhkan berbagai keperluan hidup membuat bangsa Indonesia tetap tenang, stay woles dan malas. Apalagi sudah banyak bangsa Indonesia yang cenderung melupakan budaya lokal-nasional dan tertarik pada budaya bangsa lain. Mereka lebih suka ikut-ikutan budaya lain. Misalnya budaya barat dan yang sekarang sedang booming adalah budaya Kpop.


Namun demikian, di postingan sebelumnya saya sudah pernah sampaikan bahwa budaya homoseksual yang dianggap berasal dari budaya barat sebetulnya adalah pendapat yang salah. menurut Kang Putu isu lesbian—yang belakangan kerap menjadi topik di buku-buku sastra—ikut mewarnai buku ini. meskipun kang putu menambahkan bahwa isu lesbian sebenarnya telah ada di indonesia sejak dulu. menurutnya, para warok di jawa timur umumnya memiliki simpanan pria tampan sebagai semacam “sarat” profesi. jadi, menurut kang putu lagi, kita tidak perlu mengucapkan kulonuwon pada budaya barat mengenai isu tersebut. Sebagai bukti tambahan bahwa Indonesia sudah lebih dulu memiliki ‘sesuatu’ yang mungkin dianggap baru bahkan dianggap sebgai budaya dari negara lain. Saya sampaikan pula di sini pendapat Mr. Fahmi mengenai budaya rapper yang dianggap kepunyaan American Black. Rapper asli Indonesia adalah dalang. Mereka bicara secara spontan dengan iringan instrumen musik sebagaimana para rapper. Apa yang dilakukan para rapper sebetulnya hanyalah membaca dengan diiringi beat music

Senin, 13 Mei 2013

Arusutama (Mainstream)



Selama ini yang terlintas di kepala saat mendengar istilah melawan arus adalah sesuatu yang jauh lebih keren (ekstrem) dari sekadar ikut arus (ikut mainstream). Tapi pernahkah terpikir filisofi arus?
Air mengalir dari tempat tinggi ke tempat rendah, begitulah takdirnya. Saat seseorang melawan arus, sudahkah tergambar arah mana yang akan ia tuju? Kembali kah ke masa lalu? Atau sekadar berbelok? Sebab jika ia masih menjadi air, tak akan mungkin mengalir ke atas. Sedangkan laut akan selamanya menjadi muara, di bagian terendah.

Jadi, saya simpulkan bahwa istilah melawan arus yang selama ini saya pahami adalah kesalahkaprahan. Lalu, tidakperlukah kita menjadi pelawan arus? Jika pertanyaan ini mengacu pada maksud ‘tidak perlukah kita menjadi pribadi yang unik?’ maka jawabannya:  melawan arus berarti melawan kodrat. Jika ingin menjadi pribadi yang berbeda dari yang lain, cukup lakukan dengan cara memilih jalur yang tidak umum. Tetapi tetap meyakini bahwa air akan senantiasa termuarakan pada laut.

Senin, 06 Mei 2013

Mengukur Kedalaman Pram, Sebuah Resensi


MENGUKUR KEDALAMAN PRAM
Judul buku : Pram dari Dalam (2013)
Penulis     : Soesilo Toer
Penerbit : Gigih Pustaka Mandiri
Harga : Rp 65. 000 ; 286 hlm.

Melalui Pram dari Dalam, meskipun berkali-kali menyatakan bahwa dirinya merupakan orang yang paling berhasil untuk gagal, Soesilo Toer justru telah benar-benar berhasil menceritakan ‘dari dalam’ tentang sosok kakak tertuanya, Pramoedya Ananta Toer. Dengan gaya bahasa yang kasar dan dhleyo, ia memegang totalitas itu tanpa harus tercoreng wajahnya dengan ungkapan tak tahu diri. Dalam hal ini, Soes berhasil menjadi narator dengan kolaborasi isudut pandang orang pertama dan orang ketiga serba tahu, seandainya buku ini dianggap sebagai karya sastra. Dengan membaca Pram dari Dalam, akan diperoleh begitu banyak informasi tidak hanya mengenai Pram, tetapi juga hal-hal yang berkaitan dengan pengarang yang karyanya telah diterjemahkan ke dalam,puluhan bahasa dunia tersebut, yang bisa jadi tidak akan pernah diungkapkan orang selain Soesilo Toer.

Beberapa hal yang disampaikan Soesilo Toer adalah mengenai sejarah orangtua Pram bersaudara yang masih ternyata merupakan keturunan ningrat—ayahnya telah menghapus nama depannya yang semula Mastoer menjadi hanya Toer saja karena alasan nasionalisme. Ada pula cerita mengenai Pram yang—menurut Soes—lebih gagal dibandingkan dirinya dalam mebina rumah tangga. Dalam buku ini juga Soes memaparkan bahwa betapa pun Pram bersikap keras terhadap adik-adiknya, ia tetaplah kakak tertua yang harus dihormati. Pram berpesan sesulit apa pun hidup, berusahalah untuk tidak meminta kepada orang lain. Soes bisa menceritakan potongan-potongan kisah hidup Pram karena ia pernah tinggal bersama kakaknya itu ketika di usia sekolah. Sehingga ia pun bisa menginformasikan bahwa seseorang yang paling berjasa dalam hidup Pram adalah Jan van Resink. Ia merupakan seorang Belanda yang ahli bahasa Jawa. Resinklah yang dikabarkan telah menyelundupkan naskah milik Pram yang saat itu sedang ditahan di Penjara Bukitduri Jatinegara. Naskah tersebut diselundupkan pada sebuah lomba—yang sebenarnya pun telah ditutup—yang diadakan H.B Jasin. Menurut Soes itu merupakan tonggak sejarah dunia kepengarangan Pram.
  
Historia vitae vagistra, demikianlah Soes menyebutkan bahwa sejarah akan selalu membuat manusia menjadi lebih bijak. Barangkali tindakan Soes mempublikasikan “aib” keluarga Toer dianggap kecerobohan. Namun, pandanglah dari perspektif lain, bahwa Pram adalah bagian dari sejarah. Sebagaimana visi hidup Pram bahwa menulis adalah tugas nasional, maka Soes justru telah memperbesar kuantitas informasi mengenai sejarah Pram, bagian dari sejarah Indonesia. Kalau pun saat ini belum diterima secara utuh, kelak, Pram dengan segala kisah hidupnya akan benar-benar menjadi bagian dari sejarah Indonesia seutuhnya, terutama sejarah dunia kepengarangan. Sebab sejarah selalu berkembang.

Pram telah tiada, dan buku ini menjadi serupa album kenangan yang bisa dijadikan sumber inspirasi. Sebab Soes tak sekadar memaparkan Pram dari kedalaman yang begitu dalam, tetapi juga membagikan pengalamannya—sumber ilmu pengetahuan—yang begitu bernilai. Bahwa di balik sosoknya yang sederhana bahkan cenderung ndleyo, ia telah menginspirasi. Ini memperkuat pula kata-kata Nuril Basri yang diutulis dalam blog pribadinya bahwa untuk menghargai oang lain tidak sekadar dilihat dari tampilan luar, tetapi  juga dari dalamnya. Sebab bisa jadi orang yang dari luar tampak tidak berharga, justru memiliki kehebatan yang tidak kita miliki—yang merasa lebih bernilai dari orang tersebut. Dan di balik keterlalusederhanaannya tersebut, Soesilo Toer merupakan doktor lulusan Institut Plekhanov Rusia. Saat ini ia menjalani hari tuanya dengan didampingi istrinya. Bersama rekan-rekan lain mengelola Perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa (Pataba) Blora.

Satu-satunya kekurangan yang justru semakin menambah kelebihan buku ini adalah kerap Soes tidak fokus membicarakan sebuah pokok bahasan dalam satu bab. Bercampurnya berbagai informasi dalam sebuah bab membuat pembaca menjadi kewalahan untuk menampung informasi-informasi berharga yang diabadikan dalam buku ini.

Rabu, 01 Mei 2013

Ketika Topeng menjadi Tuntutan


Judul novel : Topeng (2002)
Penulis : Wing Kardjo
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia; 158 hlm.

Pen, seorang laki-laki berusia 49 tahun. Selain menjadi dosen di Jepang ia juga penyair. Sampai di usia yang terlampau lanjut ia tetap melajang. Sebagai seorang dosen, kegilaan yang dilakukan Pen adalah bercinta dengan mahasiswinya yang bernama Ayuko. Bercinta dalam arti terdalam yaitu tidak sekadar menjalin kisah cinta tetapi juga berhubungan intim—tanpa pernikahan. Tentu saja hubungan mereka dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Sebab bukan hanya perkara usia yang mereka langkahi, melainkan juga adat istiadat.

Dalam kisah ini sebentulnya yang menjadi sumber permasalahan adalah Ayuko. Perempuan berusia 20 tahun itu diduga mengidap electra complex yaitu kebalikan dari oedipus complex. Sebagai perempuan—sengaja tidak disebut gadis karena tidak bisa dibuktikan apakah Ayuko masih perawan atau tidak sebelum berhubungan dengan Pen—berusia belia, Ayuko tampak begitu biasa menjalin kisah cinta dengan laki-laki yang lebih tua dari ayahnya sendiri. Bahkan, beberapa kali Pen menjelaskan hal tersebut, Ayuko justru meyakinkan bahwa baginya tidak ada masalah. Ia mencintai dosennya itu tanpa alasan, parce que. Meskipun pada akhirnya hubungan mereka harus berakhir begitu saja setelah Ayuko diduga terkena virus HIV Aids. Sebelum memutuskan untuk berpisah, Ayuko telah lebih dulu menyampaikan maksudnya itu secara implisit, lewat sebuah puisi. Puisi tersebut dimaknai oleh Pen sebagai suatu permintaan maaf. Mungkin memang Ayuko adalah gadis “nakal”. Namun, Pen pun tidak lebih baik darinya. Mereka seimbang sebagai pemakai “topeng”.

Merasa keputusan Ayuko tersebut berbanding terbalik dengan sikapnya selama ini, Pen berusaha untuk bisa bertemu hanya untuk menjelaskan duduk perkara. Sayangnya, Ayuko tetap tidak mau menjelaskan apa pun. Di sanalah kesadaran Pen muncul. Ia merasa menjadi manusia tidak tahu diri karena telah menjalin hubungan gelap dengan perempuan belia. Ia khawatir kebiasaannya mengunjungi shoapland menjadikannya sebagai penular virus terhadap Ayuko. Sejak saat itu, ia bertekad untuk memasang kembali topengnya. Menjalani peran sebagai dosen yang notabenenya bijaksana dan beritikad baik.

Penyair Ronggowarsito dikenal dengan ramalannya mengenai “zaman edan”. Sementara Akira Kurosawa melalui Soesilo Toer pernah menyatakan bahwa di dunia gila, hanya si gila yang waras. Lalu kapankah zaman tersebut mulai terjadi? Sekiranya ramalan Ronggowarsito telah benar-benar terjadi pada kurun tahun 2000, bisa jadi Pen (mungkin benar-benar memang Wing Kardjo sendiri) telah mengambil peran sebagai si gila yang hidup di zaman edan. Ia ingin tetap tampak waras dengan membawa-bawa topeng supaya rahasia mengenai kegilaannya tetap tertutupi.

Topeng merupakan salah satu karya tahun 2000-an yang terbilang vulgar. Sejak awal kisah, pembaca sudah langsung disuguhi peristiwa berbau ranjang. Selanjutnya peristiwa demi peristiwa dijalin dengan aroma seksualitas. Selain itu, kekurangan novel ini adalah kelatahan narator yang cenderung ikut campur dalam penceritaan. Sehingga hal tersebut menyebabkan pembaca menjadi curiga bahwa narator adalah penulisnya sendiri yaitu Wing Kardjo. Meskipun bagian semacam itu hanya beberapa kali, tetap saja menjadi hal fatal yang secara implisit menunjukkan kepada pembaca bahwa  novel ini adalah sebuah catatan harian yang diprosakan.

Meskipun demikian, novel ini tetap mengandung nilai-nilai positif. Melalui novel ini disampaikan informasi mengenai beberapa budaya masyarakat Jepang. Di antaranya adalah mengenai kebiasaan mereka untuk disiplin waktu. Jika masyarakat Indonesia cenderung mengulur waktu dalam mengerjakan suatu hal sehingga terburu-buru di penghujung, maka tidak dengan masyarakat Jepang. Lembur akan mereka lakukan saat dibutuhkan, tetapi segera istirahat setelah menyelesaikannya secara maksimal. Satu lagi hal yang sekiranya mengejutkan adalah mengenai budaya masyarakat Jepang yang tidak ingin berutang budi dan senang memberikan hadiah dengan bungkusan-bungkusan yang indah. Hal tersebut juga yang menjadi motivasi bagi Ayuko untuk menghadiahkan tubuhnya yang terbungkus kimono.

Kamis, 25 April 2013

Mendung Berkabut

Tuhan terlampau biasa untuk sekadar memahami.
Di pundakmu, ada risau-risau yang pasi.
Ke mana hendak kau bawa pergi bercak-bercak rindu yang tak merupa?
Tuhan terlanjur biasa dalam memberi.
Kadang, kau terlalu khusyuk untuk meyakini jalan yang tertimpa langit.
Kabut. Di matamu terberai kabut yang bahkan tak sempat mengantarkan mendung.
Hujan. Di pekaranganmu menderas ianya yang tak tahu ke mana harus pulang.
Tuhan berkabut.
Sementara kau sendirian menelan mendung, sampai habis.

Semarang, 24 April 2013

Rabu, 17 April 2013

Diskusi dan Bedah Buku 'Pram dari Dalam'



Bersama Soesilo Toer di Diskusi dan Bedah Buku ‘Pram dari Dalam’. FBS Unnes, April 2013.

Sumringah. Itulah satu kata yang agaknya menggambarkan perasaan saya sepanjang berada di FBS Unnes. Saya sudah sempat melewatkan beberapa kesempatan sampai akhirnya bisa bertatap muka dengan “adik kesayangan” Pramoedya Ananta Toer ini. Well, saya sebutkan saja poin-poin penting dari acara ini ya.

1. Pak Soes memperkenalkan keluarganya. Ia membawa istri dan anak semata wayangnya, Benee Santoso. Menurutnya, seorang Bapak memang harus kalah dari anak dalam beberapa hal. Sebab ia merasa bangga karena anaknya memiliki tinggi 180an, 20 cm lebih darinya.

2. Dulunya Pak Soes cadel. Mengilangkan cadel dengan cincin emas yang telah dububuhi kotoran manusia atas saran guru bahasa Inggris di tamsis Jakarta.

3. Pak Soes protes sebab di backdrop namanya ditulis tidak dengan "oe" tetapi "u". Ia tidak mau demikian sebab ia lahir sebelum orba. Mengacu pada prolog yg disampaikan saya jadi penasaran, benarkah, rasa jengkel karena dimusuhi oleh orba masih mengakar atau bahkan diturunkan sampai generasi sekarang? Dan kalau benar masih, kenapa? Tidakkah melihat bahwa masyarakat nonorba sepertinya biasa saja. Saya sebagai anak bangsa yg lahir pasca orba cenderung bersikap netral. Sebab sejauh ini referensi saya mengenai perseteruan PKI-orba masih seadanya. Tapi beliau menjelaskan: "Saya tidak pernah merasa benci dan memusuhi bangsa Indonesia. Saya hanya kecewa kenapa kami dimusuhi tanpa pernah tahu kesalahan kami." Sambil tersenyum ia menyampaikan rasa bangganya bisa berdiri di depan para audien.

4. Untuk menghasilkan suatu karya maka perkayalah fakta dan pengalaman diri. Berkaitan dengan karya-karya Pram yang cenderung "arus balik", menurutnya, Roman sejarah merupakan shock teraphy bagi masyarakat. Tergantung bagaimana mereka menyikapinya. Apakah akan tetap percaya pada sejarah yang ada atau berontak.

5. Dari awal Soes menyebut-nyebut istilah "pemulung" secara implisit dan eksplisit untuk menyebut profesinya. Padahal, di bbalik tampilannya yang terlalu sederhana itu beliau merupakan doktor lulusan Rusia. Beliau juga pendiri Perpustakaan Ananta Toer Anak Semua Bangsa (PATABA) di rumah warisan keluarga Toer di Blora.

6. Saat diminta menggambarkan seorang PAT dalam satu kata, Soes menyebut kata "antikritik". Sebab PAT adalah orang yang tidak mau dikritik meskipun suka mengkritik orang lain.

7. Saya bertemu dengan 2 alumni Hawe, seperti biasa Duo Budi Maryono dan Kang Putu. Beliau pelaku kongsi penerbitan Gigih Pustaka Mandiri yang dalam hal ini adalah penerbit buku PDD (padahal keduanya pun penulis, dan dosen :D) Dan belakangan saya baru tahu bahwa sketsa PAT di buku PDD adalah karya Toni Malakian, juga mantan pengelola Hawe. Wow

Minggu, 07 April 2013

Sinopsis Film Silver Linings Playbook


Silver Linings Playbook (2013) merupakan film psikologi. Film ini menceritakan tentang perjuangan seorang mantan pasien terapi kejiwaan. Pat, setelah dinyatakan boleh kembali ke rumah, ia begitu bersemangat untuk bisa kembali pada (mantan) istrinya Nikke. Padahal, Nikke lah yang menjadi sebab Pat harus dirawat di Baltimore.

Dalam misi “balikan” itu, Pat tidak sengaja bertemu Tiffany, perempuan yang juga pernah menjalani terapi karena depresi setelah suaminya tewas dalam kebakaran. Tiffany berhubungan seks dengan 11 rekan kerjanya di kantor sehingga ia dipecat.

Tiffany yang memunyai akses untuk menemui Nikke berjanji akan membantu Pat menyampaikan surat kepada Nikke. Syaratnya Pat harus mau menjadi partner Tiffany dalam kompetisi walts dance (tewasnya suami membuat Tiffany kehilangan partner). Awalnya Pat menolak karena rasa cintanya pada Nikke. Namun, permasalahan keluarga membuat Pat akhirnya mau. Selain itu, Tiffany dan keluarga Pat telah membuat kesepakatan berbohong kepada Pat bahwa dalam kompetisi itu Nikke akan datang.

Jumat, 15 Maret 2013

Pembaharuan Kosa Kata


Saya tidak bermimpi menjadi pegawai negeri. Tetapi jika kesempatan membawa saya pada kemungkinan, saya ingin mengajukan sebuah program kerja yaitu publikasi pembaharuan kosa kata secara umum melalui media massa dan media elektronik.

Selama ini, penyebaran informasi hanya terbatas pada kalangan tertentu. Padahal, tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat yang “buta bahasa” tidaklah sedikit. Sehingga, pembaharuan yang sudah ada tidak menyebar secara maksimal dan efektif. Akibatnya, kesalahkaprahan terus terjadi.

Memang, cara ini tetap mengandung unsur negatif, sebab masyarakat akan semakin jauh dari Balai Bahasa—selaku pihak berwenang—dan tidak bersentuhan langsung dalam akses kebahasaan. Tapi saya pikir cara ini akan lebih baik terutama dalam rangka memperbaiki kualitas masyarakat dalam berbahasa Indonesia.

Sabtu, 23 Februari 2013

Rasionalitas yang Hilang



Resepsi Cerpen “Dengan Dua Cent Jadi Kaya” Karya Thio Tjin Boen


Membaca karya sastra Melayu Tionghoa (SMT) berarti membaca sejarah. Sebagai barang klasik, tidak bisa dipungkiri bahwa SMT pernah hidup di masa lampau dan masih bisa ditemukan sampai saat ini. Tentu hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari kerja keras seorang peneliti Perancis, Claudine Salmon.

Claudine Salmon mungkin punya tujuan tersendiri atas kerja kerasnya mengumpulkan SMT yang tersebar di nusantara. Namun, terlepas dari hal itu ia telah berjasa dalam menunjukkan eksistensi SMT kepada masyarakat sastra—diterima atau tidak. Sampai saat ini kumpulan SMT masih terus diperbaharui. Penerbit Gramedia telah berhasil menerbitkan sekian jilid yang masing-masing ketebalannya bisa mencapai 500 halaman.

Hal apa sebenarnya yang menjadikan SMT tetap dipertahankan? Bisa jadi karena kebudayaan Tionghoa kaya akan nilai-nilai luhur dari ajaran konfusiusnya. Misalnya saja dalam sebuah cerpen berjudul “Dengan Dua Cent Jadi Kaya” (DDCJK) karya Thio Tjin Boen.

Secara singkat cerpen DDCJK menceritakan tentang bagaimana sikap seorang Tionghoa terhadap kekuatan para leluhur mereka (dewa) yang disebut Toapekong. Rasionalitas tidak lagi menjadi tolak ukur ketika suatu keyakinan atas perintah dewa telah hinggap dalam diri mereka. Hal tersebut bisa dilihat dari sikap tokoh utamanya, Nyonya Hong Lan.

Dikisahkan bahwa Nyonya Hong Lan sengaja datang dari Kudus ke Semarang untuk mendapatkan semacam wangsit mengenai jodoh putri sulungnya. Di sebuah klenteng, sesaat setelah ia menyampaikan maksud tersebut di depan patung Sin Beng, ternyata patung tersebut dapat bicara. “Hujin punya anak, jodonya ada di Semarang”.

Meskipun awalnya ia kaget dan takut, akhirnya ia meyakinkan diri bahwa niat awalnya adalah mencarikan jodoh atas putrinya dengan bertanya kepada Sin Beng. Jadi, apapun yang dikatakan oleh dewa yang diyakininya tersebut, ia harus percaya dan patuh. Sesegera mungkin ia mencari cara untuk bisa bertemu dengan seorang pemuda miskin yang tinggal di sebuah kampung di Semarang. Berkat bantuan koleganya, Nyonya Hong Lan berhasil bertemu dengan pemuda sekaligus keluarganya yang ternyata penjual barang antik (bekas).

Sebagai orang kalangan bawah, tentu keluarga pemuda yang bernama Sie Tiong itu merasa khawatir barangkali Nyonya Hong Lan salah orang. Tetapi perempuan itu meyakinkan bahwa apa yang ia dengar dari patung Sin Beng adalah benar. Ia sudah tak peduli pada kenyataan bila harus berbesanan dengan orang miskin sekalipun. Setelah beberapa proses dilakukan, pesta pernikahan pun digelar.

Keluarga Hong Lan akhirnya berbesanan dengan keluarga Ong Boen Tek. Pasca pernikahan itu, Sie Tong tinggal di Kudus sementara Ong Boen Tek dan istirnya kembali ke Semarang. Suatu ketika Ong Boen Tek sedang duduk santai di rumahnya, seorang tetangga pun datang bertamu.
Tamu inilah yang akhirnya membuka rahasia yang sebelumnya sempat membuat ia dan istrinya ragu mengenai pernikahan putranya dengan putri keluarga Hong Lan. Tamu ini mengaku bahwa ialah yang bersembunyi di balik patung menyamar menjadi Dewa Sin Beng dengan mengatakan bahwa jodoh dari putri Nyonya Hong Lan adalah seorang pemuda miskin di Semarang.

Meskipun kisah in terksesan mengada-ada, intinya pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca adalah perihal kepatuhan pada leluhur (dewa). Di dalam cerpen ini sebenarnya tidak hanya menceritakan satu hal. Namun, semuanya berkaitan dengan kepercayaan masyarakat Tionghoa pada Toapekong. Salah satu cerita lainnya adalah kisah perampok yang batal merampok karena ketika masuk ke dalam rumah seorang warga, ia dihadang oleh sosok raksasa. Orang-orang percaya bahwa itu adalah dewa Toapekong. Setelah kejadian itu, pemilik rumah disegani warga karena dianggap sakti.

Membaca kisah yang ditulis oleh  Thio Tjin Boen ini memunculkan suatu anggapan bahwa ada keterkaitan antara falsafah Jawa dan Tionghoa mengenai kepercayaan pada leluhur. Siapa mempengaruhi siapa, dalam hal ini menjadi rancu. Secara subjektif tentu orang Jawa akan berkeras bahwa budaya Jawa adalah tuan rumah di Indonesia, sedangkan orang Tionghoa hanya warga pendatang yang kehilangan identitas budaya.

Namun, siapa yang berani menjamin bahwa justru orang-orang Tionghoa inilah yang justru membawa sisa-sisa peradaban mereka ke nusantara dan lambat laun menyebar lantaran hidup berdampingan dengan warga pribumi. Yang jelas, dua suku ini sama-sama masih percaya pada kekuatan gaib sebagaimana masyarakat primitif lainnya di dunia ini.

Sedikit beranjak dari pembahasan cerpen DDCJK, marak anggapan bahwa SMT telah berkontribusi dalam perusakan kosa kata bahasa Indonesia lantaran menggunakan bahasa gado-gado. Benarkah? Sebaiknya pernyataan ini dikaji lebih lanjut secara objektif. Benar bahwa—dalam DDCJK misalnya—penulis cerpen SMT memang tampak sembarangan dalam pemilihan kosakata. Seperti dalam petikan berikut ini:
Dari apa yang telah saya tuturken dalem serie kesatu, sebetulnya ada satu perkara langkah, tapi toch dengen sasungguhnya sudah terjadi pada diri saya sendiri, terlebi lagi perkara begitu, memang bisa terjadi pada diri sesuwatu orang yang kurang perdata dalem penghidupannya (DDCJK, hlm. 224).

Kata bercetak miring dalam kutipan tersebut memang tidak tepat, bila ukurannya adalah masa sekarang. Bayangkan, cerpen ini pertama kali terbit tahun 1920 di Weltevrden. Sedangkan Sumpah Pemuda baru diikrarkan tahun 1928. Bukankah hal ini berrati bahwa justru para penulis SMT telah lebih maju dengan menulis cerpen padahal kosakata bahasa Indonesia masih terbatas?

Kurang bijak rasanya bila anggapan tersebut masih dipertahankan. Pemikiran objektif tentu akan lebih bermanfaat ketimbang subjektivitas yang tidak menghasilkan apa-apa selain kecurigaan. Salah satu cara mengambil manfaat dari karya sastra Melayu Tionghoa adalah mengkaji nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.***

Jumat, 08 Februari 2013

Wajah Sebuah Akhir (2)


Pernahkah kamu mengingat kapan pertama kali kita bertemu? Atau tepatnya dipertemukan? Pernah kutanyakan hal ini padamu, dan kau hanya menjawab sekenanya.

“Penting?”

Memang, bukan hal yang penting buatmu. Tapi bagiku, merunut sejarah hubungan ini akan membantuku untuk setidaknya mencoba sedikit memahami kenapa sampai saat ini aku tak juga berhenti mengingatmu.

Malam ini, seperti biasa aku termangu di jendela kamar sambil terus memandangi bangunan berlantai tiga di sana. Empat hari yang lalu kau berpamitan lewat sms. Dan sampai detik ini, sms itu urung kubalas. Memang ada masanya kita kehilangan kemampuan untuk menjelaskan maksud dan tindakan kita. Apalagi jika tindakan itu kita lakukan dengan sadar dan menyalahi kesepakatan. Celakanya, di manapun, diam selalu bermakna ganda. Setiap orang sah menerjemahkannya sesuai suasana hati dan jangkauan pikiran.* Bagiku, pamit yang kau ucapkan secara langsung di kafe seminggu sebelumnya sudah cukup. Tapi kenapa, kau selalu mendadak inferior? Tentu saja inferioritas yang justru merendahkan orang lain.
***

Menjadi seorang introvert mungkin bukan pilihan. Sebab tak mungkin pula semua orang di dunia ini harus ekstrovert. Tapi satu hal yang seharusnya kau pahami, bagaimana mungkin seorang laki-laki mampu menjaga kekasihnya, jika terhadap dirinya sendiri pun ia tak mampu mengatasi kritik dari orang lain.

“Masih bolehkah aku menunggumu?”

Bersama gerimis yang sejak sore urung berhenti, kau tampak menunggu sebuah jawaban. Hal yang seharusnya sudah kau tahu kemustahilannya. Beberapa pertanyaan berulang kau tanyakan, dan selalu tak kujawab.

“Maaf ya kalau aku menanyakan hal itu lagi. Aku janji ini yang terakhir.”

Lantas kau menyelipkan sebatang kretek ke bibirmu yang kini terkatup. Sebentar saja asap tipis mengepul menyelubungi wajahmu yang telah berubah raut.

Aku masih bergeming. Pelan-pelan dinginnya udara malam itu menyeruak ke wajahmu kemudian menyambar lemon tea di gelasku. Tentu kau sangat tahu ketaksukaanku melihat asap rokok ikut campur dalam pembicaraan kita.

“Minggu depan aku pulang. Sengaja sore ini aku rela kehujanan menunggu kamu datang. Ya, sekadar pengin ngobrol panjang sebelum berpisah.”

“Urusanmu di sini udah kelar semua?” coba kuseriusi pernyataanmu.

“Kuanggap kelar.”

Otot wajahku mengendur. Jawaban semacam itulah yang kerap membuatku malas melanjutkan perbincangan. Gelas ditangan hanya kugenggam. Meski kutahu sudah tak adalagi kehangatan di sana. Sepertimu.

Kubiarkan hening menjadi satu-satunya pendengar gusar hati kita masing-masing. Sesekali kuselami wajahmu yang kadang masih juga mampu menelurkan rindu diam-diam. Kulihat kau menunduk mencari sesuatu dari tas slempangmu. Sebuah buku.

“Buatmu. Sebagaimana janjiku.”
Dahiku berkerut.

“Kapan kamu janji?”

“Waktu itu. Tapi ya terserah kalau kamu lupa.”

Kuusahakan sebuah senyum tulus, disusul ucapan terima kasih. Aku tak ingat kapan kau menjanjikan buku itu. Tapi memang kau pernah menjanjikan sesuatu, yang lain. Tenanglah, tak akan kuutarakan hal itu. Karena mungkin saja kau sudah lupa. Sebab kau kerap mengingat apa-apa yang sudah kulupakan dan melupakan apa yang seharusnya kau ingat.

Kuanggap buku itu sebuah kenang-kenangan. Walaupun sebenarnya aku ingat bahwa kau pernah mengatakan tak ingin meninggalkan satu kenanganpun pada orang lain yang bisa mengingatkannya pada dirimu. Seorang teman pernah mengatakan bahwa jika waktunya tiba, kau ingin menghilang dari semua orang, kecuali orangtuamu.

“Kamu mau kenang-kenangan apa dariku?” tanyaku saat asap telah berhenti mengepul dari mulutmu. Kau juga sudah tampak lebih rileks.

“Antologi puisimu.”

Kuhela napas tanda pasrah. Sebenarnya pertanyaanku barusan hanya basa-basi. Sebab memberikan sesuatu padamu sepertinya suatu kesia-siaan.

“Tapi bukannya kamu gak begitu tertarik dengan benda pemberian ya? Kupikir kamu lebih suka mendapatkan sesuatu atas usahamu sendiri, mencuri buku misalnya.”

Sebentuk senyum merekah di wajahmu.

“Satu-satunya dosa yang bermanfaat adalah mencuri ilmu...” katamu. Dan sebelum selesai kalimatmu, kulanjutkan sendiri karena sudah terlalu hapal,

“... jadi mencuri buku bisa dibenarkan.”

Ha ha. Seketika tawamu pecah, meski tak sepecah petir di atas sana.

Hujan mulai menderas. Sesekali tempias membuat kita harus mengusap lengan dan wajah. Tapi kita tetap bertahan di luar.

“Permisi Kak, di dalam masih ada kursi yang bisa dipakai.”
Seorang pelayan yang mungkin heran melihat kita betah berada di luar akhirnya menghampiri. Tapi kita menolaknya. Jadilah kita sesekali tontonan pengunjung yang semuanya telah berada di dalam. Dan kita tak peduli.
***

Musim penghujan telah berakhir beberapa hari yang lalu, kurasa. Malam ini, saat pikiranku berlarian dalam insomnia, sesuatu muncul di kepala. Aku ingat sesuatu, yang menjadikan kita akhirnya terjebak dalam hubungan tak berbentuk.***

*Dikutip dari cerpen “Mual” dalam kumcer Semar Yes karya Budi Maryono

Jumat, 01 Februari 2013

Baling-baling Puisi



Setiap orang tentu pernah terluka. Bagi yang pernah merasakan luka setidaknya bisa mendeskripsikan bagaimana rasanya. Bahkan Sutradji Choulsum Bachri (SCB) pernah membuat sebuah puisi berjudul “Luka”. Entah luka seperti apa yang ia rasakan, yang jelas dalam puisi tersebut hanya berisi sebuah larik yaitu ha ha.

Sekilas memang tampak kontradiksi dalam puisi tersebut. Sebab sudah menjadi hal umum bahwa ha ha merupakan dua suku kata yang dijadikan sebagai ekspresi tawa—bahagia. Lalu salahkah bila ekspresi tawa tersebut berada dalam sebuah puisi berjudul “Luka”? belum tentu.

Dalam apresiasi puisi ada suatu penafsiran yang dikenal dengan istilah interpretasi. Jika sebuah puisi diibaratkan sebuah pesawat, maka ia memiliki baling-baling yang ketika berputar akan menghasilkan putaran. Ketika putaran itu dislowmotion akan tampak betapa banyak “jarum-jarum” putaran yang menuju ke arahnya masing-masing—bayangkan putaran itu berhenti bergerak namun tetap dalam formasi berputar. Arah itulah yang dinamakan interpretasi.

Mengapresiasi puisi tidak bisa disamakan dengan mengapresiasi narasi atau cerpen. Sebab pada puisi ada baling-baling makna yang tidak bisa dideteksi dengan sekali baca—dikarenakan terbatasnya jumlah diksi. Berbeda dengan narasi yang tampil dengan ratusan bahkan ribuan kata.

Diksi pada puisi biasanya akan mempersempit kata yang menyebabkan meluasnya makna. Adanya diksi menjadikan puisi menjelma “kotak hitam” yang jika tidak dibuka maka pembaca tidak akan tahu persis apa isi di dalamnya. Dalam hal ini, interpretasi dijadikan sebagai alat pembukanya.

Maka banyaknya jumlah serta jauhnya arah interpretasi terhadap puisi akan tergantung pada latar belakang dan perspektif pembacanya masing-masing.
Lantas apakah makna yang sebenarnya ingin dinyatakan SCB melalui “Luka”? bisa jadi karena terlalu dalam ‘luka’ yang dirasakan “aku puisi”, atau terlalu sering ‘terluka’, menjadikan luka tidak lagi sebagai suatu rasa sakit. Perihnya luka dalam telah membentuk semacam imun. Akhirnya, dekonstruksi rasa memunculkan pentertawaan atas luka yang ada.

Ketika puisi telah sampai kepada pembaca, ia menjadi otonom sebagaimana dikatakan oleh Abrams. Jadi, tidaklah bijak jika menghakimi seorang penulis atas puisi yang diciptakan.  Apalagi sampai memaknai puisi hanya dari satu sudut pandang, tanpa mempertimbangkan interpretasi dari perspektif orang lain. Apresiator atau kritikus semestinya sudah memahami bahwa puisi hanyalah representasi penulis atas apa yang ia lihat dan rasakan atas diri dan sekelilingnya. ***

Senin, 28 Januari 2013

"Koruptor" Menggugat

... tidak tepat jika kita dijadikan lambang koruptor. Ini pelecehan yang tak bisa terus-menerus kita biarkan. Harkat dan martabat kita sebagai makhluk Tuhan jelas lebih tinggi daripada koruptor.

Korupsi, tindak pidana yang satu ini memang tampak kian lekat dengan citra para pejabat negara khususnya Indonesia. Tentu bukan hal baru. Setidaknya aroma busuk ini terendus kuat pasca lengsernya rezim yang dikenal sebagai pemberedel media massa bertahun-tahun silam.

Lalu ingatkah sejak kapan para pelaku korupsi tersebut mulai mendapat julukan khusus yaitu  tikus? Bahkan, mantan penyanyi jalanan, Iwan Fals pernah membuat lagu “Tikus-tikus Kantor” bagi para pencuri berdasi itu. Pernahkah terpikir, di sisi lain para ‘tikus’ mengajukan protes atas kesewenang-wenangan penggunaan nama mereka untuk menjuluki tindakan kotor para koruptor?


Budi Maryono telah memikirkan hal itu. Di dalam kumpulan cerpen (kumcer) Semar Yes, Budi membuat anekdot melalui salah satu cerpen bertajuk “Lambang”. Diceritakan olehnya bagaimana para hewan pengerat--tikus, curut—mengadakan suatu pertemuan untuk menyusun rencana menuntut pembersihan nama baik bangsa mereka. Persis seperti ketika manusia mengadakan rapat untuk membahas suatu masalah bangsa. Namun tentu saja dari sudut pandang para tikus.

Meskipun tema cukup serius, namun kesederhanaan diksi dan dialog menjadikan “Lambang” begitu ringan untuk dibaca. Selain “Lambang” yang memaparkan sudut pandang tikus, Semar Yes juga menyuguhkan “Satria” yang menjadi pembuka istimewa dengan lagi-lagi memandang suatu hal dari sudut pandang berbeda mengenai seorang veteran.

Dilanjutkan dengan cerita tentang bagaimana seorang Bapak diprotes oleh seluruh anggota keluarganya lantaran menutup semua akses informasi hanya karena muak melihat komentar tentang berbagai hal di negaranya. Dalam cerpen “Mual”, Bapak tersebut secara sepihak menjual TV serta berhenti berlangganan koran dan majalah.

Semar Yes sebenarnya adalah judul dari cerpen penutup dalam kumcer yang berisi sepuluh cerpen yang hampir keseluruhannya mengajak pembaca menyimak suatu peristiwa dari sudut pandang berbeda. Dengan demikian, pembaca akan mampu untuk lebih bijaksana dan tidak terbawa arus pemikiran yang sebetulnya belum mutlak benar. Sebagaimana perilaku tokoh Semar dalam cerpen “Semar Yes”.  Tokoh yang selama ini dianggap sebagai penuntun itu justru dibuat tersenyum saat menyaksikan keadaan kacau-balau karena seorang dalang kebingungan mencari di mana keberadaanya.***

Rabu, 09 Januari 2013

Kenapa Yahudi

Musim gugur telah berakhir. Seorang pria berpakaian lusuh akhirnya memberanikan diri untuk keluar dari persembunyiannya selama beberapa tahun. Wajahnya telah ditumbuhi jenggot lebat. Itu menjadikan identitasnya makin tampak selain hidung yang begitu tirus.
Mungkin ialah satu-satunya manusia yang masih bertahan di kota itu. Di antara puing-puing bangunan yang hancur, ia terseok membawa-bawa perut yang teramat nyeri karena kelaparan.

Barangkali masih ada sesuatu yang bisa mengganjal perut, pria itu masuk ke sebuah rumah melalui lubang dinding. Di dalamnya ia menyisir lemari, tong penyimpan makanan sampai kaleng-kaleng yang telah berkarat. Rupanya, Tuhan masih berkasihan padanya. Di antara kaleng-kaleng kosong akhirnya ia menemukan sebuah yang masih tertutup rapat.
Bergegas ia membawa "harta karun" itu ke ruangan lain, loteng rumah. Susan payah ia berusaha membuka kaleng yang bisa jadi makanan di dalamnya sudah kadaluarsa. Prang! Kaleng itu meggelinding dan terhenti tepat di dekat kaki seseorang. Polisi!

Pria itu mematung. Bertahun-tahun ia sembunyi, haruskah tertangkap dengan cara seperti ini?
"Kamu tinggal di sini?"
"Kamu sedang sembunyi?"
"Kamu seorang yahudi?"
"Apa yang kamu lakukan dalam hidupmu?"
"Aku seorang pianis"
Jawaban sederhana itulah yang menyelamatkan nyawanya. Polisi itu kemudian memintanya untuk memainkan melodi dari piano yang ada di rumah. Setelah mengetahui bahwa si  pria memang benar seorang pianis, ia justru menolongnya. Setiap hari ia berkunjung untuk sekadar mengetahui keadaan dan memberi makanan. Hingga waktu bergulir, pianis itu telah kembali pada kehidupan normal dan kembali bekerja di radio.

Berlatar pemerintahan Hitler, "The Pianist" merupakan film berdurasi dua setengah jam tentang penyiksaan yang dialami bangsa Yahudi. Banyak kejadian-kejadian sadis yang ditampilkan untuk menunjukkan betapa tak manusiawinya Hitler terhadap bangsa yang disebut-sebut paling cerdas di dunia itu. Bagi yang cukup awam mengenai tragedi pembantaian tersebut tapi ingin mengetahui lebih jauh, film ini bisa menjadi alternatif.

Peristiwa-peristiwa penuh kekejaman di antaranya adalah seorang kakek lumpuh yang dilempar begitu saja bersama kursi rodanya karena tak mau berdiri. Ia tewas setelah terjun dari lantai 2 sebuah rusun. Selain adegan penembakan yang selalu dilakukan secara jelas ke arah kepala, badan dan kaki, penonton juga bisa melihat bagaimana orang-orang dilindas mobil setelah sebelumnya dipaksa berlari kemudian ditembaki.

Pianis tersebut bertahan. Seluruh keluarga dan warga selingkungannya telah dilenyapkan baik dengan cara dibunuh maupun diasingkan entah ke mana. Ia menjadi saksi hidup atas kejamnya pembantaian terhadap bangsanya. Pembantaian yang hingga kini masih merupakan misteri. Sebuah buku berjudul Kisah Diktator-Diktator Psikopat menuliskan bahwa salah satu sebab dugaan adalah karena gagalnya seorang dokter Yahudi mengobati ibunya. Bahkan Erich Fromn berpendapat bahwa Hitler mengidap necrophilia yaitu mencintai mayat dan hal-hal yang berbau kematian.