Laman

Selasa, 22 Mei 2012

Memaknai Kemudian Mendefinisi-i

Ada yang coba saya ingat-ingat saat berpikir 'kenapa sih kelas penulisan kreatif dengan Triyanto Triwikromo selalu menyenangkan?' Ternyata, saat sekitar semester 3 yang lalu (sekarang saya semester 6) saya sudah membayangkan betapa akan menyenangkannya mengikuti perkuliahan dengan dosen pengampu seorang sastrawan sekaligus redaktur surat kabar terkemuka di Semarang (Suara Merdeka).

Ekspektasi saya tidak salah. selama hampir satu semester mengikuti kelas tiap minggunya, selalu ada hal-hal baru dan menyenangkan yang saya dapatkan. Meskipun materi yang disampaikan sangat sederhana, tetapi Pak Triyanto memiliki teknik pengajaran yang menurut saya selalu berusaha agar para mahasiswanya berpikir keras, mengeksplore imajinasi dan benar-benar berpikir secara kreatif. Banyak hal-hal tak terduga yang kerap muncul di setiap perkuliahan kami, misalnya hari ini.

Selasa pekan ini (22/5/2012) materi kami adalah tentang puisi. Saya memang datang terlambat sekitar 10 menit, tetapi masih sangat bisa mengikuti perkuliahan secara penuh. Salah satu hal yang menurut saya menjadi poin plus dalam kelas Pak Triyanto adalah 'santai' dan longgar. Mahasiswa yang terlambat tidak akan dikomentari, ia akan terus melanjutkan tuturannya saat mahasiswa yang terlambat tiba-tiba masuk kelas. selain itu beliau juga tidak pernah 'menyalahkan' setiap pendapat.

Materi kami pekan ini tentang puisi. Pak Triyanto meminta kami mendefinisikan puisi dengan cara kami masing-masing. Namun, sayaratnya definisi tersebut tidak boleh merujuk pada makna harfiah, misalnya puisi adalah untaian kata yang disusun berdasarkan rima, asonansi, aliterasi, dst...

Dan inilah hasil pendefinisian kami. Kebetulan saya mendapat giliran pertama. Menurut saya, definisi puisi (sajak) adalah malam yang kesepian, hujan yang kedinginan dan gelap yang teramat sungsang. Sesekali senyum dalam ketiadaan tapi selalu hidup dalam kematian.

Kemudian mahasiswa lain mendefinisikan puisi (sajak) adalah:
  • dewi nafisa prabawati: sajak adalah teknologi. Pak Triyanto mencoba memaknai definisi ini dengan menggambarkan bahwa sajak adalah kesatuan mesin yang di dalamnya ada skrup dll.
  • achmad dwi afriyadi: sajak adalah perselingkuhan. Ini dimaknai bahwa sajak lahir karena adanya perasaan was-was, karena pelaku perselingkuhan biasanya kerap dihinggapi perasaan was-was dan semacamnya.
  • imam muchdi: sajak adalah aturan. Meskipun Pak Triyanto memaknai definisi ini mengacu pada aturan seperti jumlah larik, rima akhir, asonansi, aliterasi dsb, menurut saya kata 'aturan' yang dicetuskan imam lebih mengacu pada suatu aturan yang lahir dari masing-masing penyair terhadap sajaknya. Jadi, ketika ia menulis sajak dengan berbagai diksi, tipografi, metafora dan kombinasi lainnya, itu semua mengacu pada aturan si penyair yang menuliskan sajaknya. Terlepas dari pemaknaan yang dilakukan orang lain, yang penting puisi tersebut dibangun oleh aturan-aturan (ego) penulisnya
  • galih wisnu pribadi: sajak adalah media curahan hati
  • sri debby marpaung: sajak adalah jeroan, gado-gado dan air beriak. Menurut Pak Triyanto definisi ini memandang sajak sebagai sesuatu yang tidak beraturan. Ada lompatan-lompatan yang terjadi di dalamnya.
  • moch. taher agus prasetyo: sajak adalah orang kulit hitam (negro) di pulau Albino.
  • zen marten nurullah: sajak adalah futsal. Berapa orang yang mati karena futsal? tanya Pak Triyanto menanggapi definisi ini. Akhirnya ia menyimpulkan bahwa definisi ini mengarah pada suatu anggapan bahwa puisi adalah kematian.
  • diana novita sari: sajak adalah ruangan dan warna
  • tri sena surya anggara: sajak adalah lamunan kamar mandi yang membantu proses keluarnya tai. Definisi ini mengarah pada bahwa sajak adalah kesia-siaan. Tapi menurut saya, definisi ini mengarah pada suatu pemaknaan bahwa sajak adalah kebutuhan yang tidak bisa diabaikan.
  • anggun prestiani: sajak adalah nada-nada jiwa. Pak Triyanto coba menganalogikan bahwa melaui definisi ini ia membayangkan di dalam jiwa manusia ada semacam piano yang membunyikan nada-nada.
  • riko yulianto: sajak adalah 4 ekor hewan berbeda yang berduel
Setelah pendefinisan sajak tersebut, sesi diskusi pun berlangsung meskipun singkat. Satu pertanyaan yang saya lontarkan adalah bagaimana bapak menanggapi pembedahan puisi yang sepertinya adalah suatu keisa-siaan karena sebagaimanapun puisi dimaknai oleh sekian orang maka sekian makna akan diperoleh? Menanggapi ini dengan uraian yang cukup lebar, tetapi pada akhirnya Pak Triyanto menyampaikan bahwa dalam kesia-siaan pun ada penemuan yang didapatkan yang mengarah pada suatu eksistensialisme.

Selanjutnya, potongan sebuah puisi yang disampaikan Debby cukup membuat kami berpikir mengenai maknanya, sebab menurut Debby, ia mendapat beberapa hujatan dari bebebrapa pihak yang menilai puisinya sudah melewati batas kewajaran. Berikut ini potongan sajaknya:

dan tuhan tak urung tersenyum
melihat kami nyaris berkelamin

Untuk mencoba menyimpulkan beberapa pemaknaan yang kami buat, Pak Triyanto menutup kuliah hari ini dengan sebuah idiom yahudi yang berbunyi: "saat manusia berpikir, Tuhan tertawa"

Jumat, 18 Mei 2012

Rumah



Malam hampir menua
Wajahnya yang penuh kerutan kian pucat menelan angin yang mampir ke jendela
Di sebuah lubang, di balik sebatang kerinduan yang sungsang di halaman belakang
Di getirnya kesepian di ketiadaan
Aku tinggal jendela
Setiap malam kutelan diam-diam pesanmu yang sesenggukan menahan angin
Setiap diam kutikam jarak yang menjauhkanmu dari kenyataan
Semu. Semua yang kau kirimkan adalah kepura-puraan yang memaksa
Pakaianmu, makananmu, pekerjaanmu, pikiranmu...
Semu. Omong kosong
Tinggal aku jendela
Di pintu, pernah pesanmu meringkuk sendiri dilayati angin yang kedinginan
angin yang kepayahan
Pesanmu tak bisa sampai lewat pintu depan. Pintu yang sudah mati kehilangan kunci
Lalu kupungut. Kupungut lalu kumasukkan lewat jendela. Aku jendela
Tapi pesanmu tak bisa terbaca
Jendela tinggal aku
Tinggal aku yang sesekali sempoyongan menahan angin.
Aku tinggal. Tanpa pintu tanpa ruang tengah
Di jendela, pesanmu tak pernah sampai. Tak ada suara di ruang tengah
Pesanmu seharusnya sudah sampai di sana, dan kau baca:
Tak ada lagi rumah. Tak usah pulang.

Semarang, 18 Mei 2012