Laman

Selasa, 19 November 2013

Aroma Nepotisme Orang-orang Dalam

Lulus dan menjadi sarjana memang menjadi klimaks bagi para mahasiswa yang sudah sampai di batas akhir masa studinya. Tapi kalau mau jeli, ketuntasan itu justru menjadi awal perjuangan selanjutnya. Jika belum mengalami sendiri, maka tak perlu buru-buru percaya bahwa menjadi sarjana bukan hal sederhana. Cukuplah dengan serius menjalani kewajiban sebagai mahasiswa dengan tak mengabaikan pentingnya berorganisasi. Nanti, setelah gelar itu betul-betul telah disandang, percaya atau tidak pada kenyataan tersebut tetap sebuah pilihan yang tak bisa dipaksakan.

Hampir tiga bulan menjadi Sarjana Humaniora ternyata membosankan juga. Bayangan indah mendapatkan pekerjaan impian pasca wisuda masih menjadi sekadar impian. Bukan tanpa usaha tentu saja. Padahal jika agak mundur ke belakang, rasanya tawaran-tawaran menggiurkan di masa-masa akhir studi bisa dibilang cukup. Lantas kenapa kenyataannya justru sepahit ini ya. Sekian banyak cv dan surat lamaran pekerjaan telah sampai ke kotak surat elektronik berbagai HRD perusahaan yang dianggap layak. Nyatanya, beberapa panggilan interview tak cukup memuaskan. Siasanya, lebih mengecewakan. Memaksa diri untuk bersabar dan terus saja berusaha. Memupuk keyakinan, optimisme kesuksesan pada pekerjaan impian.

Bertahan dua bulan di kota rantau akhirnya berujung juga. Bujukan baik secara langsung atau diam-diam dari orangtua tak bisa lagi dielakkan. Sudah dua minggu ini saya kembali ke kapung halaman. Hal serupa sudah dilakukan. Memasukkan lagi cv dan surat-surat lamaran pekerjaan itu ke beberapa perusahaan yang lagi-lagi saya anggap paling mendekati keinginan pribadi. Masih nihil. Sejenak saya merenungkan apa yang salah? Atau apa yang kurang? Adakah yang bisa membantu saya memperbaiki kekurangan? Sebab berada di rumah saat masih berstatus mahasiswa itu tak sama dengan saat sudah berstatus sarjana. Memang, orangtua tak secara langsung menunjukkan perbedaan sikap. Tapi sebagai anak—dengan tetap yakin bahwa orangtua tak mungkin bersikap tak menyenangkan secara terang-terangan—tentulah kecanggungan itu pasti ada.

Empat tahun saya tinggalkan, katakanlah kecamatan tempat saya tinggal saja, sudah mengalami perkembangan yang signifikan. Banyak pabrik-pabrik bermunculan. Dari perusahaan minyak makan sampai besi bekas sekarang berdiri angkuh di sepanjang jalan lintas sumatera. Satu yang menarik hati saya adalah perusahaan susu dan kopi instan. ADA pula sebuah perusahaan agribisnis. Selain karena keduanya sudah punya nama, kedua berada di lokasi tepi pantai, bersentuhan langsung dengan pantai. Saya ingin bekerja di tepi pantai tanpa harus jadi nelayan. Tapi sekali lagi, bukan hal mudah untuk bisa bergabung di perusahaan itu. Bahkan saya ragu, apakah label kampus dan almamater saya itu akan berfungsi jika aroma nepotisme begitu terasa di perusahaan-perusahaan yang saya inginkan? Haruskah saya hanyut juga dalam arus demikian. Saya makin geram dan ingin membuat perusahaan sendiri jadinya.

Memang, untuk bisa melenggang mendirikan perusahaan di suatu kawasan, seringkali ada persyaratan yang mengharuskan perusahaan tersebut memperkerjakan warga sekitar. Jika calon tenaga kerja tersebut memiliki standar kelayakan (pendidikan dan soft skill) tentu bukan perkara. Celakanya, kawasan pedesaan didominasi oleh warga yang tingkat pendidikannya di bawah standar. Demikianlah akhirnya perusahaan tetap berjalan. Seiring waktu, warga yang telah lama direkrut menjadi pekerja itu ada yang punya posisi elit. Umumnya, mereka dipanggil dengan nama “orang dalam”. Pihak yang seringkali mengacaukan pengumuman adanya lowongan pekerjaan di perusahaan tempatnya bekerja.