Laman

Jumat, 23 Desember 2011

semarang kota dagang, bukan kota pelajar

2.48 wib
sejam yang lalu saya dibangunkan lagi. setelah melakukan beberapa hal penting, saya memutuskan untuk menunaikan kewajiban saya sebagai mahasiswa. adalah hal biasa, jika dalam seminggu saya hanya punya waktu khusus untuk mengerjakan tugas hanya di akhir pekan, itupun kalau tidak ada agenda colongan (angcol: baca--> ancol). sebab hidup hanya sebaatas mengerjakan tugas kuliah sama dengan memulai kematian pelan-pelan. ini tidak berlebihan. mengapa? karena seusai kuliah saya sadar, bukan tugas-tugas semacam itu yang akan saya hadapi, melainkan bagaimana menjalin relasi dengan orang lain kemudian saling bersosialisasi melanjutkan kehidupan. yaa, itu sudah menjadi pilihan. jadi tidak masalah jika konsekuensinya saya harus sering kebut-kebutan di akhir pekan kejar-kejaran dengan deadline, antara tugas kuliah dan organisasi.


http://nasikucing.com/showthread.php?tid=4829
saya kuliah di semarang. sebuah kota yang pada awalnya saya pikir sama dengan kota Yogyakarta. maklum, sepanjang hidup saya habiskan di Lampung, sebuah propinsi di kawasan sumatra. saya tidak pernah tahu seperti apa semarang. yang saya tahu, semarang adalah kota besar di jawa tengah yang isinya adalah para mahasiswa yang belajar, KEREN, itu dugaan awal.


nyatanya, 2 tahun lebih saya menimba ilmu di kota ini, akhirnya saya sadar. semarang bukanlah kota pelajar seperti yang saya bayangkan. semarang adalah kota dagang. jadi wajar jika suasana semarang tak sekondusif yogya. bagi yang beberapa kali memasuki semarang-yogya, pasti bisa merasakan perbedaan iklim ini. ada yang bilang di yogya adalah gudang buku, segalanya ada di sana. 


namun demikian, tidak berarti kita tak bisa belajar di semarang. justru itu menjadi peluang besar bagi kita yang mampu membaca situasi. dosen sastra melayu tiong hoa saya, yang telah menyeleaikan studi s2nya di yogya  bilang: jadi, jika sedikit saja kita serius, kita akan menjadi yang paling menonjol di sini. maksudnya, kalau kita bisa mengambil peluang untuk serius belajar di kota dagang semacam ini, kita akan mudah dikenali, karena kita berbeda dari kebanyakan yang ada. 


bagi yang ingin melanjutkan kuliah di semarang, silahkan berpikir ulang. semarang-yogya hanya berjarak 3 jam, tapi suasana dua kota sejarah ini cukup signifikan perbedaannya. yogya memang sebuah kota yang akan langsung mampu menarik hati pengunjungnya, tidak seperti semarang yang sepertinya memang merintis diri untuk menjadi kota metropilitan semacam jakarta. yang saya maksud berpikir ulang adalah: jika kamu ingin serius (hanya) menuntut ilmu, sebaiknya pergilah ke yogya, di sana kamu akan menemukan surga pendidikan. tapi jika kamu termasuk orang yang menyukai tantangan, semarang adalah kota yang siap menjadi pembimbing!


tulisan ini hanyalah perspektif sempit dari saya yang memang pernah dan sedang merasakan dua kota di jawa tengah ini. terlepas dari adanya sebutan atau kota lain yang sekarang muncul mengusung tema yang sama. lain waktu jika sempat akan saya paparkan mengapa saya setuju bahawa semarang adalah kota dagang, setidaknya untuk informasi bagi yang belum mengetahui gambaran semarang

Kamis, 22 Desember 2011

ibu dan jejak-jejak sungai

"kau punya ibu?"
pertanyaan itu sontak membuatnya lupa. ia lupa segala kejadian beberapa detik setalah mendengar kata itu.
"kau punya ibu?" pertanyaan yang belum sempat dijawab itu justru ia tanyakan balik pada yang bertanya.
"kau?", suara lain timbul entah dari mana "mana ibumu?", lanjutnya.
"ibumu mana?", lagi-lagi muncul suara.

***
hujan belum juga tiba. padahal sudah sejak setahun lalu ia merelakan diri duduk di tepi sungai yang kering karena kemarau yang nyaris mematikan kehidupan. ia tak pernah beranjak dari duduknya. hanya pikiran-pikiran tak berujung yang berhamburan di kepala.
"ibu mana?"
kekagetan membuat lamunannya pecah, ada yang tumpah dari sana.
setetes, dua tetes, tiga, empat, dan seterusnya.
"ibu?", matanya telah basah. di antara dua kubu di kelopaknya, ada aliran yang membentuk jalan. ia mulai menapaki jalan itu, mengingat sampai di mana tadi ia berpikir.
"ibu?"
di setiap jejak yang ia tinggalkan, suara itu menggambar diri. sementara ia terus berjalan memandu alitran menuju sungai.
ibu
    ibu
          ibu
sejenak ia berhenti, itu membuat aliran terpaksa mendahului langkahnya.
ia berbalik ke belakang, matanya berhamburan mencari sesuatu.
"ada banyak sekali yang kutinggalkan"
aliran telah sampai di sungai, sementara ia masih juga diam. di antara dua kubu di kelopaknya, ada sungai yang kini telah kembali. di sana ada jejak-jejak yang menggambar diri.

kafe senja, 22 desember 2011
"selamat hari ibu, mak. jejak dan sungai adalah hidup yang akan mematikan jika mereka tak kau bingkaikan untukku"

lemari

pagi masih terlalu dini. beberapa angin bahkan baru keluar dari pepatnya. tak ada yang mempu bersuara selain sunyi, hati. di balik kekemrungsungan yang terinjak-injak oleh waktu, setiap apa yang muncul di kepala, semuanya menjadi batu.
"apa yang kau pikirkan?", diremahnya ingatan itu.
waktu adalah tiran, itu yang ia dengar dari seseorang. terkadang ia ingin berlari melompati satu dari sekian fase yang rasanya menyakitkan. ada hal-hal yang rasanya begitu memuakkan sampai-sampai menjalaninya adalah pesakitan.
"berhentilah berdatangan!", matanya mulai membelalak di depan cermin sebuah lemari.
ia benci mengingat. apalagi mengingat kepedihan.
baginya penyesalan adalah jamban. tempat membuang segalanya yang tak indah. secara otomatis ia menyadari bahwa apa yang ia masukkan ke dalam sana akan bermanfaat pada tahap lain yang ia tak perlu tahu.
"tapi kamu tak butuh jamban!"
"DIAM!" sergahnya kemudian.
tiba-tiba ponselnya berdering samar. fokusnya pecah. ia mencari-cari dsumber suara yang sebenarnya telah lama dinantikan.
KREEK. suara pintu lemari terbuka, ponselnya tergeletak di sana.

di dalam lemari, tak ada lagi suara, dan segalanya mulai meyusun kematian sendiri-sendiri



kafe senja, desember 2011



"whatever will happen, i just pray at the end"


0:14
sekitar 2 jam lalu saya terbangun, ahh bukan bukan. ternyata masih juga saya sombong ya. selama ini saya tidak pernah terbangun, melainkan dibangunkan. dan saya pikir itu berlaku untuk semua orang, yang memiliki Tuhan.
entahlah. saya awalnya berniat menyesal karena menuliskan ini di blogspot. sejak beberapa bulan lalu saya telah sepakat hanya akan menuliskan hal-hal yang bersifat umum, tidak pribadi semacam ini. tapi jujur, saya rindu untuk dibaca, sebab di tempat saya yang satu itu (tempat menuliskan hal pribadi), tidak banyak yang mengetahui.
sebenarnya beberapa blog teman juga ikut menstimulasi tulisan ini. well, saya kembali pada satu pendapat: TULISAN ADA UNTUK DI BACA --> semoga ini menginspirasi.

saya dibangunkan. entah untuk alasan apa, tapi saya kira, Tuhan ingin saya datang dan menceritakan segalanya. hah! nyatanya saya malah bicara pada internet, dan blog ini kalian.
dua hal yang langsung muncul dalam benak saya setelah sebelumnya saya memutuskan untuk mematikan lampu kamar dan membiarkan Bob Dylan bernyanyi tanpa henti "Mr. Tambourine" (lagu ini kana menjadi pesakitan saya beberapa waktu ke depan, mungkin).

pertama, orang yang memeberikan lagu ini, kedua masalah di organisasi.
untuk masalah pertama syaa hanya ingin bilang, "segalanya akan kembali pada suatu awalan. kita semua hidup sendiri, tanpa apapun, tanpa siapapun". tapi yang saya sesalkan, ini seperti tidak berakhir pada waktu yang saya rencanakan. masih banyak hal yang ingin saya bagi dan tanyakan. tapi entahlah, yang jelas saya memang harus siap dengan segala kemungkinan. entah ini sudha berakhir atau belum. "TERSERAH", saya ulang kata itu, yang kalau kamu yang mendengar, begitulah rasanya.

kedua, siang tadi teman saya, pemimpin umum LPM Hayamwuruk mengabarkan bahwa tulisan saya di majalah Hayamwuruk edisi XXI/2011 telah sampai ke Jakarta. sebenarnya saya masih belum sepenuhnya memahami kata "sampai", apakah hanya sampai secara lisan atau tulisan. saya menanggapinya secara postif:

saya : wooo, keren ya =D
dia: aku serius dest
saya: iya...

saya tersenyum ketika itu. tapi ini bukan tanpa alasan. sebelum akhirnya tulisan itu disetujui oleh redaksi untuk dimuat dalam rubrik Jaring, saya telah melewati suatu tahap perenungan. apa yang saya tuliskan adalah fakta (yag terbungkus aib atau entah aib yang terbungkus fakta , lihat postingan saya INI;  ) keputusan yang menguatkan saya adalah: kalaupun pada akhirnya saya telah melakukan kekeliruan yang menyebabkan saya tertimpa masalah katakanlah dikeluarkan drai kampus, saya siap. KARENA SAYA YAKIN DENGAN APA YANG SYAA TULISKAN, SAYA PUNYA BUKTI-BUKTI YANG BISA DIJABARKAN. SAYA BERANI MEMPERJUANGKAN KEBENARAN. bahkan, syaa sempat berpikir konyol, bahwa betapa keren jika saya dikeluarkan dari kampus hanya karena tulisan yang menyentil birokrasi kampus (fakultas --> jurusan). tapi yang membuat saya agak berpikir lagi adalah, apa yang akan dirasakan orangtua saya? ah sudahlah, Tuhan ada bersama saya. whatever will happen, i just pray at the end. Allah and mommy are with me"

tadinya saya ingin ceritakan ini pada orang menjadi subjek pada masalah pertama saya, tapi karena suatu alasan yang saya tidak bisa pahami, saya ucapkan terima kasih. SIMPAN SAJA HAPEMU DALAM LEMARI...

Rabu, 21 Desember 2011

prolog sebuah epilog

tak ada yang lebih menyiksa
dari pagi yang kehilangan bulan tba-tiba
kehilangan cahaya
dari 2 kedalaman mata
keteduhan telah buyar, tertelan mendung yang kesepian
mari kini nantikan saja hujan
yang pelan-pelan akan hapuskan pagi
tenpa jejak tapi ingatan
yang melukai
kemudian sembunyi ke dalam lemari

kafe senja, desember 2011

epilog pagi

lama
cukup bahkan terlalu lama bulan di pekarngan pucat
tak bicara apalagi bulat
ia pecah menyambut  pagi
matamu yang selalu basah oleh rindu
dan petang terlalu cepat kembali
semogalah malam tak pernah datang
agar pagi tetap bertahan di sini

kafe senja, desember 2011

Jumat, 16 Desember 2011

sunyi, kau

pagi dan keteduhan matamu
adalah malam yang kini selalu luruh
dalam sekat-sekat ingatan
menggambar diri mengulas senyum sendiri
sunyi, kerap menjadi jendela yang membukakan bulan
bulan di bingkai wajahmu
ketika malam tiba dan mengetuk jendela kamar
mungkin ini rindu
di ketiadaan yang kini justru berbalik menjadi ada
kau memang sunyi yang kini selalu memaksaku hening
pada sketsa kita yang baru dimulai

kafe senja, desember 2011

Rabu, 09 November 2011

tersesat rintik

ke mana larinya rintik yang tersesat tadi?


di sebutir perjalanan pulang
di sebaris pesan kematian
sayang, lihatlah apa yang kau tinggalkan
sepotong nisan tanpa kepala, ya
jangan lari sebelum kau rasakan sebenar mati karena sunyi
pulanglah dengan pesan yang berbaris
matilah bersama butir yang basah

adakah kau tersesat?


22:43 
9.11.11

Senin, 07 November 2011

saat fakta terbungkus aib

ruangan berukuran absurd itu memang sudah tak lagi mengeluarkan uap panasnya. sejak beberapa menit yang lalu kipas angin butut warisan leluhur telah menyala. saya juga sudah tidak sendirian. beberapa teman telah datang untuk sekedar diskusi ringan. 


tiba-tiba, teman saya meminta agar ruang ditutup, ada hal penting yang harus kami bicarakan. ternyata ini menyangkut isu "panas" yang baru saja berhembus dari tungku penggarangan. saya, setiap kali sedang memikirkan suatu isu, baik sendiri maupun secara komunal seperti ini, kerap berbelok sebentar ke arah lain. isu, memang merupakan kabar angin yang masih sangat berpotensi untuk diselidiki guna mendapatkan fakta yang mungkin terselip di dalamnya. namun, tak jarang isu yang coba kami angkat untuk sebuah berita dibungkus oleh suatu aib. akhirnya, ketika isu itu telah berubah menjadi fakta, ia tetap fakta beraib. lalu bagaimana cara memisahkan berita fakta beraib ata berita aib berfakta? adakah aturan dalam jurnalistik yang membicarakan hal ini?

Selasa, 20 September 2011

“Melaripagikan Hati”



Aku baru saja terjaga. Kuperhatikan isi kamar yang sudah 4 hari kubiarkan, kutinggal pergi. Aku belum tahu pukul berapa sekarang ini. Lampu kamar masih padam, hanya ada suara benda kecil yang bertuliskan angka melingkar. Pikiranku mungkin belum sepenuhnya kembali dari alam sana. Tapi aku ingat, keterjagaanku ini karena sebuah sms yang baru saja masuk.
Kuraba sebentar bagian bawah bantal dan segera kutemukan benda mungil itu. Ternyata masih pukul 3 pagi. Siapa yang kurang kerjaan mengirimiku sms sepagi ini? Tapi sudah ada satu orang yang muncul dalam benakku, mungkin itu sms darinya, semacam sms membangukan sahur atau tahajud.
Deg!
Instingku masih bekerja dengan baik, entah kenapa aku masih terlalu peka untuk setiap hal yang berkaitan dengannya. Selesai membaca sms yang tak lebih dari 3 kata itu, kembali kurengkuh guling yang beraroma apek. Sambil lelap aku berpikir.
Meski hanya 3 jam, tapi aku merasa tidur nyenyak setelah terbangun karena sebuah sms. Tepat pukul 6 aku lompat dari kasur tipis menuju kamar mandi, aku kesiangan lagi untuk sholat subuh.
Jogging, Dan?” tanya Mas Yudi saat kubuka kunci pintu depan.
“Eh, Mas. Iya nih, duluan ya!”
Matahari baru muncul di Timur sana, kupacu sekenanya langkahku yang berlari kecil sebagaimana orang lari pagi. Aku menuju Graha Pura (GP). Tentu hari ini akan ramai di sana, inikan akhir pekan. Lapangan kampus yang telah menjadi fasilitas umum itu memang salah satu spot yang tepat untuk berolah raga atau sekedar ngobrol santai.
Sekitar 10 menit aku akan sampai di GP. Dalam perjalanan sebenarnya aku masih melanjutkan pikiran 3 jam lalu. Tiga kata dalam pesan yang kuterima masih belum sepenuhnya bisa kucerna. Besok jogging yuk! Kenapa tiba-tiba ia mengajakku, padahal selama ini kami tak pernah sekalipun “jalan”.
Ponselku berdering lagi, firasatku mengatakn itu sms darinya. Aku baru ingat belum membalas smsnya. Sibuk ya? Yaudah lain waktu aja. 2 bulan lagi jg gpp, setelah kamu balik dr kampung. Aku memang mulai berkeringat karena berlari-lari kecil menuju lapangan kampus. Dan sms darinya membuat keringatku semakin deras, bercampur gugup. Segera kubalas dengan singkat, ak udh di gp. Terkesan naif memang.
Kuperhatikan sekeliling GP dengan seksama, mencari-cari siapa tahu iapun sedang mencariku dari sudut yang lain. Sementara di sisi kiri matahari telah naik sebatas bahuku.
“Maaf ya lama, abisnya kamu ga ngasih kepastian tadi pagi”, tiba-tiba ia sudah duduk disampingku, dengan senyum yang sepertinya telah disiapkan sejak dini hari tadi. Aku paham. Sudah biasa.
“Ganggu orang aja sms jam segitu”, ujarku ragu.
“Oh, keganggu ya. Trus kenapa kau udah ada di sini duluan?” nada suaranya mulai meledek. Aku senang mendengarnya. Kutatap lekat-lekat beberapa tiang bendera yang berdiri kokoh di seberang jalan tempat kami duduk. Padahal aku lebih ingin menatap lekat wajah yang telah lama kurindukan matanya, dan mungkin akan menjadi lebih lama jika nanti aku pulang saat libur akhir semester.
“Ya memang aku mau ke sini dari kemaren”, entah kenapa aku seperti termakan gengsi, padahal ingin sekali kukatakan bahwa aku merindukannya setelah seminggu tak bertemu di kampus pasca ujian akhir semester.
Ia menyelonjorkan kakinya sambil ber-huh. Aku tahu ia mulai kesulitan. Sebab biasanya aku langsung terbujuk oleh usaha-usaha kecilnya seperti ini. Tapi maaf jika aku telah bosan. Aku lelah menjadi orang “bodoh” di depannya.
Sejak hampir setahun lalu kami tak lagi berhubungan khusus, ia memang kerap menarik ulur perasaanku. Mungkin ia tahu betul bahwa aku sungguh-sungguh dengan perasaanku yang sampai saat ini kuendapkan sekenanya di kubangan tak berdasar. Sampai sekarang aku masih tak memahami alasannya memutuskan hubungan kami. Yang kutahu, aku masih menyayanginya, terlepas dari segala tindakannya yang kerap menyakitkanku.
“Kamu jadi pulang lusa?” bukanya lagi.
Aku mengangguk saja. Kulihat ia melihatku dengan tatapan putus asa. Tapi kubiarkan saja. Mungkin benar apa yang ia katakan di akhir hubungan kami waktu itu, kita itu sama-sama keras.
“Kamu tahu kenapa aku ngajak kamu ke sini?”
“Tahu” jawabku datar.
“Apa?” ia bersemangat.
“Kamu kangen sama aku tho?”senyum simpul tak bisa kubendung lagi. Segera kutangkap ekspresi wajahnya yang tersipu menahan senyum. Aku suka melihatnya pura-pura tak paham begitu. Kini mimiknya dibuat datar. Aku sudah menduga.
“Kalo diem berarti bener”
“Kamu kok sok tau gitu sih!”
“Iya apa enggak, udah bilang aja”
“Paling juga kamu yang kangen sama aku”, bibirnya mulai bersungut-sungut manja.
Ada angin yang tiba-tiba melintas di antara kami. Seolah tak tahan melihat kekonyolan kami menahan rindu, berpura-pura tak tertarik dengan obrolan. Sejenak kepergian angin membuat suasana hening. Aku menikmati getar-getar yang telah sejak tadi merambat dalam hati.
“Trus kenapa kamu ngajak aku ke sini?” kali ini aku serius, kuberanikan diri untuk berputar 90 derajat ke arahnya. Ia salah tingkah.
“Ada hal penting yang mau aku bilang ke kamu, sebelum kita ga ketemu 2 bulan, sebelum kamu pulang”
“Hal penting apa?” sebisa mungkin kubuat biasa pertanyaanku.
“Tapi kamu janji dulu, kamu ga akan marah”
“Tergantung”
“Yaudah kalo gamau janji aku ga usah bilang aja”
Ah! Lagi-lagi ia menyudutkanku di posisi yang tak mengenakkan. Tentu aku penasaran. Bisa berdua dengannya dalam posisi sdekat ini saja aku sudah tak tahu bagaimana menggambarkan kebahagiaan. Akhirnya aku mengiyakan permintannya. Aku janji tidak akan marah. Sebab kusadari memang, aku kerap tak mampu menguasai diri saat perasaanku dibuat tak nyaman oleh sikap dan kata-katanya.
Aku pernah terbakar cemburu saat melihatnya begitu akrab berkomentar di facebook dengan temannya. Sementara denganku ia tak serespek itu. Bahkan beberapa wall  yang kukirimkan padanya tersia-sia, dan pernah kuhapus sendiri karena merasa diabaikan. Apalagi jika membaca statusnya yang beraroma cinta, jatuh cinta tepatnya. Tapi ia bukanlah seorang yang picisan. Aku paham betul, ada kode-kode tertentu dalam status yang dibuatnya, dan anehnya aku kerap menangkap pesan dibaliknya. Beberapa waktu lalu kulihat ia menuliskan Teknik  Arsitektur di  statusnya.
“Menurutmu, kenapa sih kita sering tiba-tiba berantem trus akur, berantem lagi, akur lagi”
“Maksud kamu?”
Ia diam, seperti memikirkan kata-kata yang tepat untuk dikatakan. Sambil menunggunya menjawab, pikiranku terus berjalan mundur mengingat beberapa kelakuannya yang sempat membuatku sesak. Aku ingat betul ia beberapa kali sliweran dengan temannya, laki-laki, dengan sepeda motor. Padahal denganku, sekalipun kami tak pernah. Aku tahu ia punya basic anak rohis yang katanya harus jaga jarak dengan pria, api melihat kenyataan seperti itu? Ah, tak hanya satu dua kali aku dibuat berpikir keras begini menyaksikan keanehannya. Tapi entah kenapa ia selalu bisa menunjukkan bahwa ia bisa membedakan mana konteks agama dan mana hubungan sosial.
“Kamu nyadar ga sih, seminggu lalu tuh kita diem-dieman sampe smsku ga kamu bales, padahal itu penting banget. Aku ga ngerti ya. Mungkin aku emang nyebelin, tapi please bedain kondisi antara masalah pribadi dan hubungan sosial kita, apalagi menyangkut organisasi”.
Kata-katanya mulai melebar, nyamber sana-sini. Aku mulai tersulut emosi, tapi kutahan karena janji.
“Sekarang kamu lagi ngomongin konteks apa? Ya, biar aku ga salah nanggepin”, aku berhasil bersikap biasa.
Ia diam. Aku tahu ia bingung dengan kata-katanya sendiri. Aku tahu ke mana arah pembicaraannya, tapi kubiarkan saja. Aku sedang tak berminat membicarakan hal itu.
“Aku cuma capek bolak-balik berantem sama kamu hanya untuk masalah sepele”.
Kamu lagi ngomongin apa sih!
“Aku pingin kita akur”.
Aku mulai tak paham dengan kata-katanya.
“Sekarang kamu lagi deket sama siapa?”
Spontan kulihat wajahnya, siapatahu kutemukan kode-kode tertentu dari sana.
“Deket sama kamulah”, masih kuperhatikan wajahnya.
“Aku serius, Danu”
“Loh. Bener kan? Sekarang aku tanya, kamu lagi deket sama siapa? Jujur!”
“Aku gak lagi deket sama siapa-siapa”, kulihat ia mengambil ponselnya yang tadi diletakkan di antara kami, baru saja benda itu bersuara.
Bahkan kamu gak nganggep aku di sini? Setidaknya kamu jawab kalo kamu lagi deket sama aku!
“Trus kenapa kamu nanya aku lagi deket sama siapa?”
“Ya aku cuma pingin tahu, siapa tahu kamu lagi deket sama seseorang dan aku ga tau. Aku cuma pingin ngingetin bahwa dulu, kita punya semacam kesepakatan. Bahwa setelah kita ga bareng lagi, kita harus cerita kita lagi deket sama siapa, sebagai tanda bahwa kita akur. Aku pingin kita jadi temen deket, Dan. Aku gamau kita jadi orang yang saling menjauh. Aku pingin kita  jadi yang paling tahu apa yang terjadi dengan kita”.
Benar. Kesanalah arah pembicaraannya.
Kuputar posisi dudukku ke arah semula. Aku sudah tak sanggup membayangkan kata-kata apalagi yang akan ia keluarkan, kata-kata yang mengingatkanku pada posisi paling menyakitkan sepanjang usiaku. Posisi dimana ia membuatku jatuh saat baru saja sampai di puncak kebahagiaan menemukan cinta.
Seandainya perasaan ini bisa hilang, sebagaimana ia yang begitu mudah melupakan semuanya. Aku tak tahu kenapa masih juga bertahan pada perasaan ini. Jika Kau buat ia siap bersama dengan yang lain, kenapa tak Kau buat siap pula aku menerima kebersaman mereka, Tuhan. Aku tahu setelah perpisahan kami ia memiliki semacam perasaan ke banyak orang lain. Aku tau ia tipe wanita yang mudah jatuh cinta, tidak sepertiku.
“Trus sekarang mau kamu apa?”
“Kok pertanyaanmu jadi ketus gitu?”
“Hah!”
Hah-ku membuatnya tertunduk.
Aku benar-benar tak mampu mengerti apa maksud semua ini. ia seperti masih saja mempermainkan perasaanku. Sudah kutimbun perasaan ini di kedalaman sana, walau terkadang aku khilaf membukanya lagi. Mungkin ia paham bahwa aku telah berusaha untuk melepaskan semua ini, tapi pasti ia lebih paham bahwa ini bukan hal mudah.
Aku tahu bukan orang yang sempurna, tapi adakah keempurnaan lahir dari kesempurnaan itu sendiri? Omong kosong! Kesempurnaan hanya akan tercipta jika ada bagian-bagian yang saling menyadari kekurangan. Aku menyadari, kenapa ia tidak, Tuhan?
“Aku pingin punya teman dekat anak arsitektur...”
Plak! Seperti ditampar dari kejauhan, tepat di wajahku. Apalagi ini!
“Udah dapet kan?”
“Belum...”
“Trus aku mesti gimana...?” nada suaraku melemah.
“Kamu ga mesti gimana-gimana, Dan. Aku cuma pingin kita saling melepaskan. Kamu masih inget ga MP3 yang aku kasih ke kamu. Bahwa melepaskan bukan berarti melupakan. Aku pingin, kamu lepasin aku, relain aku pergi dari kamu. Aku ga tega lihat kamu sesak tiap aku deket dengan orang lain, Danu. Terserah kamu mengakui ini atau enggak, tapi itu yang selama ini aku rasain. Kamu pikir aku tenang tiap kamu meracau di status dan blog? Aku merasa terbebani Dan. Aku merasa salah. Tapi aku bisa apa kalau ternyata perasaanku ke kamu ga sekuat apa yang kamu rasain ke aku. Maaf kalau aku sok tahu...”
Matahari memang belum tiba di puncaknya, tapi batinku sudah seperti tersengat cahaya tengah hari. Aku tak mungkin melanjutkan pagi ini di sini. Mungkin lebih baik kuselesaikan barang bawaanku untuk pulang kampung lusa. Tak ada lagi yang bisa kukatakan. Aku bangkit, bergegas menuruni tangga dengan mata yang begitu panas.
Ia memanggilku lemah, aku tahu ia telah menangis lebih dulu. Aku tahu! Sekali lagi ia memanggilku, menahan langkahku di tengah tangga. Kakiku melemah dan kembali terduduk. Aku sudah janji tak akan marah, aku harus menahan diri. Tapi aku tak mungkin menanmpakkan kelemahan ini.
“Aku juga pingin ngelepasin kamu, aku pingin banget...”
“Maafin aku, Danu”

Banyak hal yang mungkin belum ia sampaikan pagi ini, aku tahu. Tapi aku sudah tahu.
***

Kafe Senja, Juli 2011

Minggu, 18 September 2011

Kepada Rumah

Kemana kau lenyapkan pagar pada pekarangan
Saat bulan kehilangan separuh wajah bahkan pudar diguyur hujan
Ini gelap
Telah kupetikkan sisa-sisa kuncup yang kepayahan menemu sinar di ketersesatan malam
Bulan
Ia jatuh tepat di jendela rumah tak berpagar
Tak tahu ke mana lagi ia harus menepi
Dan hujan tumpah di atap yang rapuh

Kafe Senja, September 2011

Jumat, 16 September 2011

Jeli Sebelum Berkompetisi

Di setiap perlombaan tentu ada kompetisi di dalamnya. Trus, kompetisi macam apa yang seharusnya kita ikuti? gak semua kompetisi harus dimenangkan tho?


Entahlah, sejak resmi dinyatakan sebagai mahasiswa sastra Indonesia rasanya semangat kompetisi dalam lomba-lomba penulisan cerpen dan puisi menurun banget (belum drastis). Bukan sombong atau gimana-gimana, tapi rasanya ga semangat aja. Apalagi kalau lombanya dilakukan oleh instansi-instansi di luar ke-sastra-an. Beberapa hal yang bisanya kucari tahu adalah:
a) siapa sih jurinya? dia kompeten ga di bidang sastra?
b) berapa kontribusinya? sebab beberapa pengalaman mengajarkan bahwa lomba-lomba yang memasang biaya pendaftaran cuma mau mencari keuntungan, apalagi kalo lombanya dibuat nasional.


Sekarang gini deh, kamu anak sastra Indonesia, setiap hari kuliah dengan materi yang pastinya gak jauh dengan kesusatraan. Tiba-tiba ada fakultas lain yang ngadain lomba, trus kamu ikut. Kasarannya, kalo jurinya cuma orang lokal fakultas itu, ndak jadinya lucu? bukan sombong sekali lagi. Bisa aja sih mereka punya orang yang jago dibidang penulisan, tapi kalau balik lagi ke pendapat yang pernah dibilang sama dosen: "puisi itu kan dibuat dengan emosi penulisnya, tiba-tiba dilombakan dan dinilai oleh orang lain yang mungkin ga memiliki emosi yang sama, apa iya karya itu bisa menang?"


Ada lagi satu pengalaman yang ngenesin banget. waktu itu Lpm Hayamwuruk (Hawe) ngikutin satu kompetisi sampul majalah, jurinya oke berbagai orang dari berbagai surat kabar ternama di Indonesia, kotribusinya lima puluh ribu. waktu itu Hawe mendapatkan Bronze Winner majalah Jawa. Tahu ga? Hawe cuma dapet sertifikat yang dibingkai kayu, itu doang. helllo, itu kontribusi lima puluh ribu dikali berapa Lpm seIndonesia apa iya ga nyukup untuk beli amplop trus  diisi duit? parah.


Maaf kalo kesannya materialistis banget. Sebagai mahasiswa, muna deh kalau dalam kompetisi cuma mau dapet pengakuan. kalo ada yang bisa dapet pengakuan sekaligus menghasilkan uang kenapa enggak? Daripada uang pendaftarannya terbuang sia-sia, mending cari lowongan lomba lain yang jauh lebih prestise. misalnya:

a) lomba yang diadakan oleh instansi penulisan semacam fakultas kamu sendiri, balai bahasa, majalah atau koran nasional dll. Walaupun di sini ga menang, tapi gregetnya lebih berasa. Kalaupun cuma jadi juara harapan, itu jauh lebih prestise dan memacu semangat karena kita yakin dengan penilai karyanya. Oke oke, walaupun yang ngadain bukan instansi kesastraan, sekali lagi pastiin siapa jurinya, kompeten atau enggak itu aja.

b) cari lowongan lomba yang ga memungut biaya pendaftaran. walaupun hadiahnya ga seberapa -biasanya kalo yang ngadain adalah suatu penerbitan, hadiahnya paket buku- ini jauh lebih baik, kita ga keluar biaya malah dapet paket buku


Kejelian semacam ini penting banget, kalau enggak kita bakal rugi sendiri. Jangan sampai karya-karya yang kita buat dengan kesungguhan malah tersia-siakan. Apalagi biasanya dalam beberapa ajang perlombaan dituliskan syarat bahwa karya yang diikutkan belum pernah diikutkan dalam lomba.

Selasa, 13 September 2011

Rendang(an) dari Malaysia

agoebanget.blogspot.com
Berapa sih jumlah penduduk Indonesia di Malaysia?
Inilah pertanyaan yang mendadak muncul dalam benak saya ketika membaca sebuah artikel yang lagi-lagi membuat otak saya malas berpikir. Malaysia, telah beberapa kali negara dekat Indonesia ini melakukan lelucon yang seperti perlakuan antara dua teman yang sedang saling jengkel. Batik, reog ponorogo, keris, beberapa pulau, setidaknya itulah 'harta' Indonesia yang sempat diklaim Malaysia sebagai milik mereka.

Terlepas dari hal itu, sebenarnya tindakan lelucon malaysia tersebut saya anggap sebagai suatu tindakan penyadaran kepada negara tercinta saya ini agar bisa lebih menghargai dan merasa memiliki apa-apa yang memang telah menjadi milik pribadi bangsa.

Kemarin, di kantor redaksi LPM Hayamwuruk, ada obrolan kecil antara kami para staf. Yaitu sebuah wacana yang menyatakan bahwa "Malaysia mengkalim rendang sebagai makanan yang berasal dari sana", untuk orang Indonesia apalagi Melayu (Minang) tentu ini adalah lelucon yang bahkan tak mampu lagi ditertawai, tapi bagi orang luar, tentu ini lebih tidak lucu lagi. Rendang telah mendunia dengan warung khasnya yang membentuk atap rumah gadang, sebagai makanan yang berasal dari Indonesia.

Tapi tunggu dulu, dibagian akhir artikel yang akhirnya saya telusuri tersebut dituliskan bahwa: “Jadi, wajar bila Malaysia mengklaim rendang sebagai masakan mereka karena orang Minang di sana juga melakukan hal yang sama (marandang). Yang mengkaim itu kan keturunan Minang yang ada di sana.” (VIVANEWS)

Hal inilah yangsempat saya pikirkan beberapa waktu lalu saat heboh pengklaiman Reog Ponorogo oleh Malaysia. Tidakkah sebuah fakta bahwa tidak sedikit warga Indonesia yang berada di Malaysia entah untuk berniaga atau tinggal? bahkan beberapa artis Indonesia pun memiliki kekerabatan erat dengan warga Malaysia. Mungkin memang wajar jika Malaysia terkadang iseng melakukan guyonan semacam itu. Apalagi, pernah saya membaca di sebuah buku (saya lupa buku apa) bahwa pada masanya dulu Malaysia dan Indonesia adalah satu "negara" yang akhirnya berpisah. Sebagai satu negara (ibarat satu tubuh) bukankah kita sempat memiliki organ yang satu dan sama? itulah (mungkin) yang membuat Malaysia terkadang tak mampu menyadari bahwa kita adalah negara yang sudah berpisah menjadi dua bagian berbeda.

Ahh, tapi tetap saja. Saya masih ingat betul bagaimana buku sejarah menjelaskan bahwa Malaysia memang telah sejak dulu senang membuat masalah hingga membuat Indonesia menyatakan diri keluar dari PBB.


Sabtu, 03 September 2011

masa-masa biru: absurd dan konyol

mengenang masa-masa biru tetap jauh lebih menggembirakan dibanding putih abu-abu
mungkin ini cuma sebuah pendapat, sebab berkesan-enggaknya sebuah masa lalu tergantung apa dan gimana aja kejadian yang ada di dalamnya. semakin banyak kejadian (aneh/konyol) di dalamnya, maka sebuah masa lalu akan semakin berkualitas. maka jangan pernah ragu untuk membangun masa lalu yang baik.

hari ini kita anak-anak kelas 3a yang jadi alumni smp 1 katibungtahun 2006 bikin acara lagi. sebagai koordinator absurd adalah devia dan desi. kenapa kubilang absurd? karena pas hari ha mereka ga dateng.
berdasarkan sms yang kuterima dari muji, kita disediain tempat jam 10 pagi hari sabtu (3/9) di rumah salah satu personil boyband, bihaqi (LOL). selalu, peserta pertama yang hadir di sebuah acara reuni adalah DESTA aka AYU. "yasudah, nanti saya jemput", kata muji di smsnya. jam 10 lebih dikit kami berdua sampe di -yang kalo kata adin eco- rumah bihaqi. sebenernya sebelum sampe aku sempet mikir, ada gunanya juga ya dulu kalian suka kongekan nama bapak pas di kelas. muji yang dari sd temenan sama bihaqi ternyata gak tahu rumah bihaqi, cuma tahu lokasi sekitarnya aja, akhirnya ada inisiatif untuk tanya ke dua bocah yang ada di teras rumah;

muji: dek, tahu rumah bihaqi ga?
bocah: (mikir trus geleng)
muji: bang kiky?
bocah: enggak tau
muji: pak leman (sulaiman)?
bocah: oh, di belakang (nunjukin arah)
muji & aku: (ketawa)

sampe di depan senuah rumah kita ga langsung masuk, muji cuma menduga-duga kalo itulah rumah yang kita cari, ternyata bener. bihaqi keluar dengan wajah cap bantal, bangun tidur.
sampe jam sebelas (adin) eco dateng, kami berempat cuma ngobrol garing sambil negbahas satu topik yang agaknya adalah topik hangat untuk mereka yang stay dii lampung: "EPI tuh sombong ya"
dan gak lama datanglah yesi, epi, faisal, dan aldi.

dulu, epi -personil teletubbies: aku, epi, indah, dan iis- adalah anak yang terkenal cerewet dan suka gupek, anehnya pas kumpul hari ini dia berubah 170 derajat, gaada epi yang rame, dia cuma diem sambil sesekali senyum, "ya guanya bingung mau ngomong apa", celetuk epi waktu diledekin bihaqi, "bingung nyusun abjad ya kamo?", seloroh bihaqi dengan logat lampungnya.

ngobrol ngalorngidul bersembilan rasanya butuh waktu yang jauh lebih banyak. walaupun gak serame lebaran tahun lalu, rasanya kumpul tahun ini jauh lebih hangat dan quality time banget. ngeladenin kicauannya faisal, aldi, dan eco rasanya pingin terus-terusan tanpa berhenti, adaa aja omongan yang mereka bahasa dengan mixing bahasa ndonesia-lampung. nih 20 menit kicauan absurd mereka (video)

jam 2 akhirnya kami kelaparan. kalo tahun lalu aku siap jadi tuan rumah yang menjamu mereka makan siang, kali ini faisal - pencetus ide makan siang dari tahun lalu- bilang gamau ngerepotin bihaqi, apalagi di rumahnya cuma ada dia dan adeknya yan cewe dan diskusi absurd pun kejadian lagi. ngomong muter-muter: mau makan apa, makan di mana, kalo makan di luar motor ga nyukup, kalo makan di sini ngerepotin tuan rumah. "KALO MAKAN DI LUAR ITU NNATI KITA PASTI BUBAR, ITU KALO GUA, UDALAH MAKAN DI SINI AJA DIBUNGKUS, kata eco dengan begitu khawatornya. bettuuuull (pake logat lampung) yaudalah makan bakso aja, ASIKK. cuss kita berangkat ke tanjung ratu untuk makan bakso bareng.

ternyata kekhawatiran yang eco bilang ga kejadian, mungkin kita semua ngerasa masih butuh ngobrol bareng entah ngapain. setelah nganter epi yang gelisah mulu pingin pulang, kami serbu rumah fika atas kesedian fika sendiri. sampe sana jam setengah lima dan ngerusuhin pohon rambutan yang lagi berbuah. beberapa sholat ashar dan lainnya asik nongkrong di gardu sambil makan rambutan. pas aku kelar sholat kita foto-foto (lagi). ohya, si aldi ternyata punya bakat motret, dengan kamera pocket dia bisa ambil fokus yang baik. "tuh, keg gini ni. ambil gambar objeknya aja, belakangnya biar blawur", kata aldi bangga.

jam setengah 6 akhirnya kita bubar, padahal masih mau lanjut lagi makan duren. tapi yaudalah, kayanya ga memungkinkan. dai riumah fika kita pamit, karena rumahku dan fika emang cuma berjarak beberapa rumah, kita langsung pamtan di situ. aldi, eco, faisal dan yesi pamt lewat jalan by pass, dan aku bareng muji lewat "dalem".

seneng banget rasanya bisa ngumpul sama mereka. masuk dalam masa lalu smp jauh lebih seru dibanding sma. kita bener-bener bisa 'lepas' jadi anak smp dengan segala kemasabodohan dan kekonyolan yang ada.
terkadang kita memang butuh kembali ada suatu ruang yang bisa membebaskan jiwa tanpa ada ikatan nilai-nilai sosial, dan itu hanya ada di masa-masa biru, bukan abu-abu yang didomonasi kelabilan total. smp adalah masa labil yang konyol, tanpa tekanan.

dan kemudian kami kembali memasuki kehidupan nyata sebagai bukan abg lagi. terlalu banyak kejadian yang ga mampu kutuliskan tentang masa-masa smp, dan itu semua akan selalu hidup sebagai hiburan di masa depan, aku ga pedui masa sma yang terlalu 'abu-abu', absurd dan gak berwarna, basii, garing!


Rabu, 31 Agustus 2011

kosong kosong

ini adalah ramadhan dan lebaran tersuram sepanjang yang pernah ada. semuanya saling mempengaruhi. ga mood kemana-mana apalagi ke rumah embah di metro, lampung timur. kalut banget rasanya. aku butuh sunyi, sepi, dan sendiri. lebaran ini aku mau di rumah aja, sendirian. kalian pergilah berlebaran sana.oya, 


"minal aidin wal faidzin ya, maafkanlah kesalahanku lahir dan batin"

Rabu, 24 Agustus 2011

Slytherin Bubaran 1432 H


Banyak banget sebenarnya kendala untuk acara bubar ini. sejak 2 tahun yang lalu pas awal-awal kita jadi mahasiswa, kebiasaan jelek anak-anak slytherin adalah kebanyakan sepik kurang realisasi. awalnya paling kita ketemu di tag-an foto, tag-an status, dll, bikin wacana untuk bubarlah, lebaranlah, reunilah, eh pas udah rame dan muncul pertanyaan, "oke, trus kapan nih? jawabannya beragam: gue ngikut, waduh tanggal segitu gue gaada di sini, bla bla bla yang endingya adalah ngambang alias emje (mak jelas)

tapi akhirnya, ramadhan tahun ini kita real bubar. dengan koordinasi sederhana dari beberapa anak yang ada di lampung, kita kontekan lewat twitter dan facebook, dicatet sebagai ketupleks adalah delvi, dibantu agus dan dewi.

tanggal 19 yaa, capcus yang pada di luar lampung prepared. pas hari-h gaada semacam jarkom: cuyy ntar kumpul di sini jam segini ya. acara ini bener-bener menuntut kesadaran dan kepekaan, kalo emang niat dateng, ya hubungun tuh "panitia". dan gw dapet jam katanya kita kumpul jam 4 sore.

gw ngehubungin lintang, agus, delvi nanya di mana lokasinya: warung steak depan kfc coffe deket universitas bandar lampung (ubl) . dengan dianter adek gw yang masih labil, kita sempet putar balik tuh di jalur dua ehh pas liat tempatnya, ternyata yang ini. warung yang juga buka cabang di semarang, tepatnya di ngesrep, ngemeng dong. oke, gw turun walaupun belom ada yang stay di sana, bahkan panitianya masih otw . haha, kita gabisa nerapin budaya ontime kita di sini Taa, kata lintang pas gw sms, dia juga masih nunggu nyokapnya balik kerja.

dan gw masuk ke dalam. "mas, udah ada bookingan belom?"
"atas nama?"
atas nama siapa ya? delvi, agus, apa dewi? ah tapi agaknya ah dewi.
"oh mba dewi...", agaknya dewi sama masnya ini kenal baik. dan gw ditunjukkin tempat paling belakang, tempatnya asik kok, deket mushola jadi gampang kalo ntar abis buka tinggal sholat.
jam 5 hampir, gw nyampe duluan di lokasi sebagai peserta bubar terjauh dari semarang! ini meja kita 



beberapa menit kemudian, agus (toge) dateng, trus kita salaman, ngobrol bentar. nih agus masih sama perawakannya, ngobrol sama dia juga masih asik. trus gak lama agus dateng lagi, yang ini agus tenyom. dan gw dibikin SUPER KAGET pas liat perubahan dia yang signifikan banget nih 



bandingin sama ini 




abis itu yang lain beradatangan, gw lupa urutannya, pokoknya ada lintang, delvi, agith, deasy, wetna, dewi, rias, dina, ontie,  ita, icha, melsand, akas, fery, brama, dino si ketua kelas, ocha, dio, rendra, carina, gedon, dila, della sapa lagi ya, lupa gw kayaknya sih udah segitu doang. yang jelas itu jumlahnya beranak pinak dari reservasi awal yang kata dewi cuma 14 orang. 

well, sempet kejadian salah komunikasi gitu dengan  mas-mas pelayannya. gw dan sekitar 10 anak lainnya musti nunggu bahkan ampe kelar sholat maghrib pesenan kita, untung lintang bawa air dan brownis dari rumah (kebiasaan baik yang katanya masih kebawa ampe sekarang di kampus). akhirnya kita buka puasa dan tetap berusaha sabar ketika setengah dari kami lagi menikmati santapan. gw udah firasat kalo pesenan kita itu salah, tapi panitianya keasikan ngobrol kangen. setelah ada yang berinisiatif akhirnya terjadilah proses pemesanan baru sekitar pukul 7 malam. "belom dateng juga pesenannya?", kata yang udah kelar makan beef bbq, yang ditanya cuma senyum sok asik, padahal mulai gedeg sama mas-mas yang kebanjiran pesanan. rame juga nih cabang yang ada di lampung. 

setelah acara makan-makan kelar ada yang pamit balik duluan, mau teraweh agaknya. tapi ya gak taulah. yang jelas kami yang masih bertahan di sana malah merencanakan hal lain: bakar kembang api di PKOR way halim. sebelumnya kita ngejalanin ritual sakral dulu, yaitu photo session =D . yaiyalah, hal terpenting dari acara adalah foto sebagai kenang-kenangan, atau bahasa mahasiswanya tuh sebagai LPJ. 

sayang, gw gak bisa ikut bakar-bakar karena harus pulang. setelah nunggu ditemenin akas, dina, fery dan brama adek gw dateng. acara hari itu emang gak berkesan-berkesan banget, malah biasa aja. tapi bisa ngeliat temen-temen SMA dengan beberapa perkembangan yang ada rasanya bersyukur banget. nih beberapa hal yang bikin gw bersyukur:
- pas adzan maghrib gak cuma gw yang lari ke mushola. tapi ada dino si rambut gimbal, rias yang jago segala-gala (dia buka usaha make up artis sekarang), brama yang abis sakit parah, dan dio. eh kayanya ada lagi, tapi siapa ya?
- anak-anak cowo malah tambah asik pas ngobrol, kaya akas, dino, agus dua-duanya, ner. sukses buat kalian yaa. buat Rendra (Ner), Dino, Dio ayo buruan lagunya dibanyakin trus bikin video klip. Beautiful Sunrise adalah kebanggan yang harus dilestarikan =)
-yang cewe semacam dina, melsand, della, dmbl semuanya masih sama, cuek-cuek ramah khas orang lampung .wkwk
- ohiya, si akas sekarang jadi "artis" dia, jadi icon untuk universitas swasta terbesar di lampung, fotonya nampang di papan reklame lumayan gede. "itu papan nyebar sampe Tarahan, Desta", kata dia pas gw ajak ngobrol. hha. akas-akas. cowo yang sempet dibilang mirip mantannya Dona Agnesia ini emang tampangnya ngejual, ga sombong pula.
- dan yang ga kalah adalah tepat kita bubar yang islami. liat dong gambar ini:




makanlah dengan tangan kanan


dan ini beberapa gambar yang gw punya:



sebelum meluncur ke PKOR, di depan WSS Bandar Lampung kita foto bareng




Selasa, 23 Agustus 2011

Lebaran oh Lebaran

ini hamin (h-) berapa ya? kok harga-harga udah naik aja. seminggu di rumah ngerasa banget jadi prihatin. dari si adfa yang ga enak badan sampe-sampe nyokap ga masuk kerja. yang acara bikin kue sempet keganggu gara-gara harga gas yang kelewatan naiknya. itu para calo ga pada kasian apa, harga 13. 500 jadi 25 ribu? di pom bensin juga udah ludes, di minimarket semacam alfa dan indo juga liyau. lebaran oh lebaran, apa iya rezeki para pedagang cuma ada setahun sekali? #ezzz

Ingatan Laras

Rasanya ngeliat mantan punya pacar lagi ternyata lebih nyakit daripada diputusin ya.
“Emang kamu pernah diputusin?”
Lamunan Laras pecah. Kembali ia membasuh wajah yang sebelumnya telah dilumeri dengan krim pembersih wajah. Ini ketiga kalinya ia melamun saat melakukan sesuatu. Tadi pagi saat selesai sholat subuh, lalu saat ngobrol ditelpon dengan Agis siang tadi, dan ini yang ketiga.

Agis baru tiba dari kampung, ia sepupu Laras. Sudah sejak berbulan-bulan yang lalu ia bilang ingin sekali main ke rumah Laras. Maka setibanya Laras di rumah ia bersemangat sekali. Idul fitri tahun ini Agis akan berlebaran di rumah Laras, padahal biasanya keluarga Laraslah yang berkunjung ke rumah nenek, rumah yang bersebelahan dengan rumah Agis di kampung sana.

Keran air dimatikan lalu Laras keluar dari kamar mandi. Agis masih menggosok giginya di depan westafel. Wajah Laras memang nampak tak segar seharian ini. Ah, tapi ia juga tak tahu apakah ini akumulasi dari duka yang ditahan sejak sekitar sebulan lalu.

“Abis mandi lecek amat muka kamu?”, Agis menimpal pertanyaan yang sengaja belum dijawab, berharap ia lupa. Laras nyengir. Agis telah selesai menggosok gigi. Dari dulu Agis tak berubah, ia tidak menggosok gigi saat mandi tapi setelah selesai mandi di luar kamar mandi.

Sampai di kamar Laras langsung melempar tubuh ke kasur lagi, dilihatnya jam bergambar jerapah menunjukkan pukul 6 tepat. Sebentar lagi adzan maghrib, saatnya berbuka puasa, mungkin wajar kalau ia merasa begitu lemas. Meskipun sedang tak berpuasa, ia mengikuti pola makan orang yang berpuasa.

“Kaya orang pertama kali puasa deh kamu, lemes amat”, Agis ikut melempar tubuhnya ke kasur. “Kamu gak tadarusan Gis?”, tanya Laras datar. Agis diam saja, tapi Laras tahu ia sedang membuat jawaban, tepatnya alasan.

“Ntar aja abis buka puasa sekalian, atau gak abis tarawih. Eh, pertanyaanku tadi belum kamu jawab tau!”. Begitulah Agis. Meskipun dibesarkan oleh orang yang sama, yaitu nenek, tapi mereka tidak memiliki kebiasaan yang sama. Agis masih tak serius dalam beribadah.

“Pertanyaan yang mana?”, kembali Laras meraih laptop yang tadi disleep. Membaca status update walaupun sebenarnya agak malas. Pagi tadi secara tak sengaja ia membaca status seseorang yang sepertinya sedang jatuh cinta, dan itu membuatnya terluka.

Agis merebut laptop itu, dan Laras membiarkan. Laras sungguh tak bersemangat untuk melakukan apapun. Setelah seperti mencari-cari sesuatu Agis mengembalikannya, menunjukkan sesuatu, meminta penjelasan. Rasanya ngeliat mantan punya pacar lagi ternyata lebih nyakit daripada dipututusin ya. Itu postingan terakhir Laras di blog, pagi tadi. Mudah saja dijawab pertanyaan Agis, sekenanya. Tapi ia bukanlah orang yang mudah percaya pada apapun yang belum ada buktinya.

“Ya ampun Gis, kamu kaya baru pertama kali aja liat aku ngarang”, ujar Laras malas. Ia tahu kecuekannya justru membuat Agis semakin tak percaya.

“Laras, liat aku”, diluruskannya wajah Laras ke arah wajahnya. Laras tak sanggup menatap mata Agis, sebab ada kebohongan yang sedang ia sembunyikan. “Tuh kan, kamu gak berani liat mata aku. Jujur ke aku sekarang. Kamu pernah jadian? Kok aku gak tahu?”, nadanya mulai sedikit ketus.

Selama ini Agis memang tak pernah tahu bahwa Laras pernah menerima pernyataan cinta dari seseorang. Setiap kali menanyakan apakah ia punya pacar Laras selalu menjawab tidak, sebab memang ia tak pernah punya, kecuali setahun lalu. Itu adalah pertama kali dalam hidupnya memiliki seorang pacar. Sejak SD, SMP, dan SMA Laras adalah pemegang teguh anti pacaran, efek ikut rohis juga sebenarnya.

Setahun lalu, Laras masih semester 2 ada seseorang yang mengaku telah luluh hatinya, padahal mereka tak pernah mengenal secara personal. Mereka hanya teman satu angkatan yang baru 6 bulan mengikuti perkuliahan di kelas yang sama, setiap hari. Entah bagaimana ia memulai perasaan itu, yang jelas ia menyatakan perasaannya itu pada Laras, lewat kata-kata puitis. Kalimat terakhir yang membuat Laras akhirnya tak tega adalah saat ia bilang: Jika memang kuci itu telah berkarat, tunjukkan di mana letaknya. Akan coba kubuka perlahan. Laras sudah lupa kalimat persisnya, tapi kira-kira seperti itu. Malam itu mereka resmi ‘jadian’. Dan Laras masih ingat kalimatnya saat membalas sms pertamanya malam itu: gimana aku bisa tidur setelah ada kejadian luar biasa ini. Dan IA juga ingat Pria itu mengatakan kalimat yang sama saat mereka putus 2 minggu kemudian, nyaris sama.

Ya. Mereka putus di waktu yang teramat singkat. Laras merasa tak mampu menyeimbangkan perasaan cinta yang ia dapatkan. Ia begitu khawatir akan lebih menyakitinya jika melanjutkan itu dalam keterpaksaan. Satu minggu setelah mereka putus, pria itu menjadi begitu kacau. Ia sempat salah menyebut nama teman yang hampir sama dengan nama Laras, Naras.  Laras ingat ketika itu teman-teman satu kelas menyoraki: ihirr, ciyee, hadoh ada yang deg-degan nih. Sebab mereka menjalani backstreet. Laras yang memintanya. Ini adalah hubungan pacaran pertama dalam hidup Laras, ada perjuangan keras yang harus ia lewati untuk meyakinkan bahwa: Allah gak akan marah kamu pacaran, kamu udah dewasa. Sebenarnya itu kata-kata Agis. Tapi akhirnya Laras berusaha mengiyakan, meski tersendat di jalan.

Dua minggu pasca putus mereka jadian lagi. Dan bodohnya, lagi-lagi karena Laras tak tega melihatnya kacau seperti itu. Dibuat seolah ia begitu  merasa kehilangan. Sebenarnya memang Laras merasa kehilangan, sebab tak ada lagi yang mengiriminya sms sederhana namun penuh makna. Mereka kembali menjalani hubungan pacaran, meski hanya dua minggu karena mereka kembali putus. Untuk kali kedua ini Pria itu yang memutuskan Laras, sebab Laras terlalu lama menggantungkan hubungan mereka. Mereka tak pernah berkirim sms apalagi telpon, tak ada puisi-puisi di facebook apalagi ngobrol di kampus. Jelas karena mereka masih backstreet.

Mereka resmi putus di bulan ketiga sejak pria itu menyatakan cintanya pada Laras. Dan setelah itu mereka saling menjaga jarak, sama sekali. Tapi mereka saling paham bahwa ada semacam ikatan batin yang masih mengikat. Mereka akan saling mengupdate status jika sedang tiba-tiba rindu, Laras tak mengingkari ikatan itu. Sampai kini mereka telah semester 5, ikatan itu masih ada. Mereka masih saling merindukan walau dalam diam.

“Aku salut sama kalian. Setiap hari lahir puisi-puisi penuh makna. Sayang kalian cuma sebentar. Tapi sampe sakarang kalian masih bisa menjalin hubungan baik”, ujar teman Laras suatu ketika saat ia sedang curhat tentang pacarnya.  Memang, inspirasi selalu mengalir deras dalam kurun waktu satu tahun itu. Bahkan puisi-puisi tersebut tengah digarap menjadi sebuah antologi, untuk kenang-kenangan, pikir Laras.

Selama ini Laras seperti bisa membaca bahwa ia masih dicintai. Meski tak jarang mereka crush seperti orang yang masih menjalin hubungan. Banyak hal-hal kecil yang membuat mereka ribut, kemudian perang dingin. Padahal mereka satu organisasi, mereka sering bertemu, setiap hari selain di kelas.

“Aku juga gak tau. Kadang-kadang ngerasa pingin tahu aja kamu ngapain, kemana, sama siapa?”, ujar pria itu suatu malam. Itulah obrolan terakhir mereka sebelum akhirnya “duka” ini terjadi. Malam itu entah bagaimana sekenario yang Tuhan buat, mereka pergi ke sebuah kafe. Pergi berdua. Setelah hampir dua tahun, itulah pertama kalinya mereka secara dewasa pergi berdua ke sebuah kafe, hanya untuk ngobrol. Tapi begitulah mereka. Benar apa yang pria itu bilang, mereka memang menjalani hubungan yang aneh.

Malam itu mereka ngobrol panjang lebar, membicarakan berbagai hal kecil, hal tak penting untuk mereka yang berstatus mantan. Obrolan mereka mengalir ringan. Dan ini adalah satu dari beberapa hal yang disukai Laras dari mantannya itu. Ia begitu baik dalam beretorika, sambil mengaduk-aduk kopi Laras mendengarkan ceritanya, tentang dirinya, keluarganya, dan sedikit tantang masa lalu mereka.

“Kita tuh punya semacam siklus tau”, katanya. “Kangen-Ngobrol/sms/komen fesbuk/-konflik-dieman-trus kangen lagi”. Mereka tertawa lepas. “Haha. Iya bener banget. Dan aku yakin, abis ini pasti kita ribut lagi”, tambah Laras. “Makanya kita jangan terlalu banyak ngobrol”, pria itu menyeruput kopinya. Gak kebayang deh, bakal selama apa kita ribut sebagai efek dari lamanya kita ngobrol malam ini, batin Laras malam itu.

Dan hal itu sungguh terjadi! Ini tepat sebulan sejak kmereka ngobrol di kafe malam itu. Memang sih, selalu ada masalah-masalah yang hadir sebagai perantara crush mereka. Kemarin mereka sempat ribut gara-gara masalah organisasi. Hal sepele sebenarnya. Laras tahu, saat emosional mantan kekasihnya memang tak bisa mengendalikan diri. Itulah yang menjadi salah satu alasan mengapa sampai saat ini ia masih tak menggubris perasaannya. Laras begitu marah dengan sms itu, begitu juga yang lain. Dan Laras merasa ini adalah tindakannya yang sudah keterlaluan, sampai membuat teman-teman yang lain merasa tak terima. Jika sms itu hanya ia kirimkan pada Laras, mungkin ia telah melupakannya sekarang. Tapi sepertinya tidak.

Dua minggu terakhir Laras selalu tak sengaja melihatnya mengirim sebuah wall ke seseorang, berisi kata-kata puitis. Awalnya ia mengabaikan, tapi itu selalu dilakukan, bahkan mantannya itu tidak mengupdate status, hanya mengirim wall. Dari sana Laras tahu bahwa mereka sedang tak bisa sms-an.

Sejak mereka putus Laras memang tak jarang berdoa untuknya, semoga Tuhan menghadirkan seseorang yang lain, yang lebih lembut, yang lebih bisa mengendalikannya saat emosi. Dan sepertinya Tuhan mengabulkan doa Laras.

“Kamu sedih?”, Agis meledek, dari nada suaranya.
“Kelihatannya?”, Laras masih datar.
“Kamu sedih bahagia”, direnggutnya kepala Laras dalam pelukannya. “Kalau emang kamu tulus waktu berdoa minta dia menemukan pelabuhan cintanya yang lain, aku yakin, kesedihan kamu ini cuma efek, dan ini gak akan lama”, dieratkan pelukannya pada Laras.

“Kamu pernah diputusin?”, tanya Laras balik.
“Pernah”
“Ah, cowoknya gak gentle. Gimanapun juga, cewek harus mutusin cowok, gak etis kalo sebaliknya”.
Hening.
“Rasanya gimana?”, tanya Laras tiba-tiba.
“Kayanya emang gak lebih nyakit dari ketika liat mantan yang sayang banget sama kita, menemukan tambatan hatinya yang baru”. Mereka tertawa lepas.

Mulai sekarang Laras harus terbiasa untuk benar-benar tak dirindukan siapapun. Itupun saat ia telah yakin bahwa ikatan batin antara mereka ikut lenyap bersama lahirnya cinta baru dalam hidup pria yang pernah begitu mencintainya. Laras masih belum tahu apakah ia telah sungguh dilupakan atau hanya sekedar melarikan rindu yang tak bisa disampaikan karena mereka sedang dalam perang dingin.

Semoga ia benar-benar telah menemukan cintanya. Dan hal yang sangat Laras harapkan adalah, jika nanti pria itu sungguh melupakan semuanya, ia akan datang pada Laras dengan senyum penuh kebahagiaan, mengenalkan pada Laras seseorang yang telah mampu mengisi posisi di langit-langit kamarnya.

“Itulah puncak kebahagiaanku, ngelihat dia bahagia karena menemukan cintanya. Aku pingin kami bisa menjalin hubungan baik”. Ujar Laras lirih.

Suatu saat nanti, saat seseorang pun telah menemukannya, Laras akan menunjukkan padanya. Ia ingin mereka saling berbahagia dengan apa yang mereka miliki. Laras tak ingin hubungan ini selesai, justru ia berharap hubungan itu baru akan dimulai. Sebenar hubungan saling menyayangi dan saling mendoakan.

“Apa hal yang paling kamu suka dari dia dan masih kamu inget?”
“Aku paling suka kalo dia cerita. Suatu saat nanti aku pingin denger dia cerita lagi”, Laras tersenyum.
“Yakin? Trus kalo Mas Arsiteknya marah gimana?”
Hehe. Sejenak Laras melupakan dukanya. Sebentar mengingat masa depannya. Ia sangat ingin mengenal seorang yang ahli desain, seorang arsitek.
“Aku pernah bilang ke dia. Suatu saat nanti kalo kami udah gak sama-sama, dia bakal gampang dapet seseorang yang lain, kalo dia mau...”
“Kenapa?”
“Dia itu romantis...”
Agis menunggu kalimat selanjutnya,
“Dan setia”
Laras menutup wajahnya dengan bantal.
“Iya sih, buktinya pasca kalian putus kamu udah berapa kali coba fall in love sama yang lain, dia masih bertahan sama perasaannya ke kamu".
"Sayangnya dia galak!” sergah Agis.
"Selain itu, dia juga suka lebay. Terkadang juga childish, paling males kalo udah gitu", kenang Laras kemudian.

Laras membuka bantal dan tersenyum, seolah mengatakan: semoga kita cepet menemukan pelabuhan hati kita. Kalaupun kita jodoh, aku harap kita ditemukan sebagai pribadi baru yang bisa lebih saling memahami, bukan menyakiti. Ia juga tak pernah tahu kapan akan menghubungi atau sekedar menegur, sebab biasanya ialah yang dihubungi lebih dulu jika mereka sedang ribut. Laras sangat menyesalkan perang dingin ini, seperti sebuah dinding yang menumbuhkan jeruji peghalang di antara mereka berdua. 

Biarlah aku mengucapkan selamat dalam doa, semoga kamu pun ga berhenti berdoa. Kini seperigi doamu telah menemukan pemiliknya. 

~~~