Laman

Minggu, 12 Februari 2012

hujan pertama

banyak yang mengatakan bahwa wajahku selalu seperti hujan yang baru reda, ada sisa-sisa gerimis yang seolah tak mau pergi. mencintai jendela dan kesunyian. apakah aku makluk asing yang berbeda, yang tak berhak diperlakukan sama? aku sudah bosan menanyakn ini pada tuhan. tiap kali bertanya, aku hanya diberi jawaban dengan guyuran hujan yang menyisakan gerimis. mungkin tuhan tak suka aku bertanya seperti itu. dan akhirnya sejak itu aku hanya berkawan dengan jendela yang selalu lembab karena hujan dan gerimis.

setiap hari ibuku akan masuk ke kamar, sekedar memeriksa keadaanku, apakah sedang tidur atau melakukan hal lainnya. hal yang tak lupa dilakukannya adalah menyediakan makan untukku. sesekali jika dikiranya aku sedang mood bicara, ia akan menanyakan hal yang sama setahun belakangan ini
kapan kamu mau balik ke kampus lagi? hari ini si anu nelpon ibu, si anu dateng bawain kamu ini, si anu, dan seterusnya dan seterusnya. seringnya pertanyaan itu tak pernah kujawab, atau sekedar aku sedikit bergerak menggeser kursi di depan jendela.

***

tok tok tok
pintu kamarku diketuk,
"rara, adit datang nak. kamu mau nemuin ga?"
"iya bu, sebentar aku ke sana"

hari ini cerah. adit memang telah sejak seminggu lalu mengajakku untuk keluar menghabiskan hari minggu bersama. dan hari ini rasanya begitu bersahabat karena tak ada hujan yang turun bahkan sekedar gerimis.
kucek sekali lagi wajahku di cermin, sudah pas. kusambar tas kecil hasil buruan di yogya . sebelum keluar kamar kuhampiri jendela, dari sana matahari begitu ceria. yes!

"untung ya hari ini ga hujan", adit membuka obrolan di jalan.
jilbab abu-abu yang kukenakan bergoyang-goyang terbawa angin.
"iya dit, kita beruntung", dengan suara yang kukerasan karena tertahan helm.
hari ini kami akan pergi ke pantai, sesuai permintaanku yang memang telah merindukan suasananya.
adit sengaja tak membawa honda jazz kakaknya, ia hanya membawa honda beat miliknya agar kami lebih bisa menikmati angin jalanan.

hanya sekitar 15 menit kami sudah sampai di tempat tujuan. setelah kubayar tiket masuk, adit memarkirkan motornya. berhasil merasakan udara pantai membuatku sejenak menghela napas dengan kebersyukuran yang sungguh. kupejamkan mata sambil terus berjalan perlahan. adit memperhatikanku dengan seksama, tatpannya begitu lembut.
"kenapa?"
"kamu bahagia banget keliatannya?" adit mengucapkan tersenyum
aku hanya balas senyum.

kami masih hanya berjalan-jalan di pinggir pantai, belum ada spot  yang kami temukan untuk duduk di atas pasir. kurogoh saku jaketku karena mulai merasakan kencangya angin. sementara adit terus mencari-cari tempat yang nyaman untuk kami singgah. jarinya menunjuk ke suatu titik. sesampainya di sana, suasanya begitu klik. aku berlari kecil menuju joglo kecil di atas pasir. adit tersenyum dan tetap berjalan santai.
"ayo buruan", kataku saat telah sampai dan duduk di joglo. ia mengangguk lembut.

dari joglo kini kami berdua memandangi hamparan laut yang begitu luas. pantulan biru langit menjadikannya semakin cantik dipandagi dari bibir pntai. lapis-lapis warna air memunculkan satu pertanyaan,
"dit, lucu kali ya kalo tiba-tiba hujan deress banget"
adit menoleh ke arahku sebentar, lalu menatap langit.
"kalo mendadak ujan deres, kamu pingin ngapain?" tanya adit yakin
"semoga kita sempet lari ke parkiran untuk pulang, dan hujan-hujanan di jalan"
HA HA HA
tawa kami menyatu dengan debur ombak yang menabrak karang. perlahan kupeluk dua lututku sambil berpikir lagi,
"kalo kamu, pingin apa dit?"
desau angin menyusup di antara duduk kami. adit masih diam memikirkan jawaban, ah tepatnya memikirkan apakah akan mengatatakan sesuatu yang sepertinya telah lama ia persiapkan.
"aku malah gak pingin..."
"kenapa?" kutabrak kalimatnya
"aku gak pingin hujannya reda. supaya kita bisa lama-lama di sini"

mendengar jawaban adit seperti ada yang membuatku tersedak dan ingin tertawa, namun tatapan adit yang menahanku untuk menghindari tatapannya justru membuatku hanya diam. aku salah tingkah.
tiba-tiba hujan turun begitu deras. kami saling pandang, kemudian tertawa.
"katanya mau ke parkiran?" ledeknya
aku hanya tersenyum. aku benar-benar salah tingkah.
siang itu kami hanya duduk terpaku tanpa satu katapun yang terlontar. kami menunggu hujan reda tanpa melakukan apapun.

***

gerimis sudah tiba sejak subuh. malam tadi petir menyambar di tengah derasnya hujan. aku diam di balik selimut. dalam gelap membayangkan bagaimana dua orang yang sedang menyusuri jalanan di tengah hujan. mereka baru pulang dari pantai. entah apa yang terjadi ketika itu pria yang mengendarai honda beat terpelanting dan melepaskan setir. wanita yang melihat sendiri kejadian itu tak bisa melakukan apapun. ia hanya terbawa sisa tarikan gas. ia tak tahu lagi apa yang harus dilakukan. matanya terus menoleh ke belakang melihat pria yang tumbang ke tepi jalanan aspal, sementara ia jatuh ke semak.

"ra, dari siang kamu belum makan. ayo buka pintunya"

*** selesai***

Kamis, 09 Februari 2012

marah vs tawa

mengulas secara keseluruhan malam yang saya lalui sampai pukul 0:00 membuat saya menyadari satu hal. bahwa segala sesuatu yang dilakukan secara berlebihan memang selain mubazir, juga akan menghilangkan esensinya. banyak hal bisa dijadikan contoh. tapi, saya akan ambil satu sampe; yang baru saya dapatkan maalm ini.

sepanjang saya berkicau di twitter pada malam 8 februari 2012 saya membaca banyak sekali kicauan dari teman-teman saya. satu dari sekian yang ada kelihatannya sedang 'emosi berat'. melihat orang emosi di twitter meman perkara lumrah buat saya, wajar, biasa saja. sebab terkadang meluapkan kemarahan adalah kebutuhan yang tidak baik jika ditahan. tapi ada yang tidak biasa dengan teman saya itu. saya pernah melihat dia marah dengan tweet-nya, tetapi biasanya hanya satu-dua tweet dan ia akan menghilang. sedangkan malam ini ia terus meluapkan kemarahannya sampai saya merasa ia benar-benar sedang marah. saya coba mementionnya, dia reply  dengan nada yang tenang, dan memang, setelah itu dia membuat tweet yang lebih tenang bahkan meminta maaf kepada para tweps. saya tidak tahu ketika itu memang emosinya sudah mereda atau karena hal lain.

kembali pada bahasan awal mengenai sikap berlebih-lebihan, kemarahan yang dilakukan secara berlebihan oleh teman saya itu tidak lagi membuat saya ikut emosi justru saya 'tertawa'. saya tertawa karena, manusia saat marah ternyata begitu lugu bahkan sangat polos dalam meontarkan kata-kata yang mungkin selama ini ditutup-tutupi.

saya termasuk orang yang akhir-akhir ini ketika marah (sudah memuncak) akan meluapkannya dengan gelegar. membentak, membanting, dan akhirnya menangis. saya akan memarahi siapaun yang saya pikir akan bisa memahami bahwa "saya sedang marah". malam ini saya sadar. pantas saja ada orang yang ketika saya menjadikannya pelampiasan kemarahan saya, ia justru sabar dan meladeni saya sampai akhirnya saya mereda, mungkin ketika itu ia sambil tertawa-tawa melihat kemarahan saya HA HA HA

Rabu, 08 Februari 2012

dua penunggu di kereta


ada yang tertinggal di kereta kita menyusuri ingatan
kau, dengan diam yang kian terbata-bata seolah ingin katakan
bahwa perjalanan tak lebih dari penungguan yang bernyawa
diam-diam kita menyusun cerita di jendela yang basah oleh sisa hujan kemarin sore
"tak perlu berhenti menunggu, teruslah berjalan dengan rindu-rindu yang selalu tunas pasca jarak yang menua"
kulihat bibirmu terbakar oleh kemarau yang tiba-tiba menyusup lewat jendela


kita akan terus menunggu
hingga waktu benar-benar mati
hingga apa yang menghidupi kita habis oleh kemarau yang tak pernah sampai ke matamu itu

sebab di perjalanan ini, kita adalah 2 penunggu yang tersesat di gerbong yang sama
saling menulis cerita di jendela
aku dengan rindu retak di saku
kau dengan kemarau yang terbawa-bawa

hujan kembali tiba di luar jendela
membawa kita pada kemarin yang begitu rapuh
kita hanya bertemu dalam penungguan tak bertuju
di kereta kita saling menunggu masa lalu kita sendiri-sendiri

lampung selatan, 8 februari 2012

Kamis, 02 Februari 2012

Waktu, Ketika yang Kutunggu Hanyalah Saat yang Tepat untuk Mengatakannya.

00.01
             Malam baru saja mendekaplelapkan senja dalam peraduannya. Biasanya akan ditandai dengan warna-warni lampu jalan, berjejer pedagang kaki lima di sepanjang teras pertokoan, kafe mulai menyediakan layanan, pedagang jagung bakar dengan tikar yang sengaja digelar meremang, dan… seseorang.
            Ini adalah kisah yang kutuliskan untuk mengenang perjuangan seseorang, teman. Temanku tepatnya. Malam ini, selepas tadarus singkat ia memutuskan untuk segera naik ke perahu malam, dipan ukuran nomor 3 milik ibu kosnya. Ini bukanlah hal yang biasa. Malam-malam sebelumnya, setelah berniat akan menunaikan isya pada waktu lail, ia memilih sibuk dengan laptopnya. Entah menulis, menonton film , mengerjakan tugas, merapikan folder atau hanya sekedar mendengarkan lagu yang baru di donlod.
Malam ini, ketika senja sudah tak lagi bisa dinikmati pesonanya, seorang gadis, temanku, rebah di peraduannya
***
“Ada yang mau aku bicarain sama kamu, ada waktu?”
“Ada. Kapan?”
“Nanti, kelar kuliah”
Kuliah berakhir. Mereka berdua bergegas keluar untuk mendapatkan bis terakhir. Sejak menunggu bis yang memakan waktu sekitar 15 menit hingga berhasil naik, tak ada obrolan, mereka hanya diam. Ah, sungguh malang. Adalah suatu keberuntungan jika di bis terakhir bisa mendapatkan tempat duduk yang nyaman, atau bahkan sekedar berdiri dengan kondisi lapang.
Mereka masih dalam diam. Diam-diam langit pucat, mungkin menahan kesal pada mereka. Apa salahnya sih membuka obrolan? Ketika gerimis mulai berjatuhan, sebuah pesan masuk ke gsm temanku,
Hujan, mungkin lain kali aja kita omonginnya
Setelah membaca, sejenak ditengoknya sisi luar jendela. Cuma gerimis kok, pikirnya.
Belum hujan Bay, palingan pas nnt smp dpn gang gerimisny brnti. Gpp, lanjutin aja, nnt ak trun di dpn gang kos km, udah lama gak lewat sana J
Jgn Nda. Uda gausah, kpnkpn aja, masih ada wktu laen kok. Bayu segera membalas. Tapi bukan Winda jika tak sedikit keras kepala.
Ydh, tp ak ttp mau trun dpn gang kos km. titik.
Bis akhirnya berhenti. Winda yang ketika naik tadi melalui pintu belakang, turun melalui pintu yang sama, begitu pun Bayu, melalui pintu depan. Winda selalu ingin mencairkan suasana ketika keadaan sedang menyudutkan dirinya dan Bayu. Sepotong senyum jatuh ke mata laki-laki berambut keriting itu, raut di wajahnya sangat kusut.
“Kamu mau ngomongin apa, Bay?”
Sejenak Bayu diam. Ketika itu gerimis kelihatan semakin serius, membuat mereka berdua harus mempercepat langkah.
“Intinya, aku cuma mau tanya. Menurut kamu, yang seperti ini masih perlu atau enggak!” kalimat itu terdengar datar, pelan, tapi lebih tidak seperti pertanyaan, melainkan seruan atas suatu kekesalan. Mendengar itu Winda tersenyum lagi. Mereka masih terus berjalan dengan kecepatan yang kian meningkat, seperti degup jantung Bayu yang harap-harap cemas menantikan jawaban Winda.
Sampai akhirnya ketika mereka berdua sampai pada tikungan, Winda berhenti diikuti Bayu. “Aku butuh ruang lisan untuk menjelaskan ini, Bay” Winda bisa melihat wajah Bayu yang kian suram.
Dengan perasaan kecewa yang tak mampu disembunyikan, Bayu menyetujuinya. Sungguh, sekedar sepotong senyum pun tak mereka hadirkan untuk menyudahi obrolan itu. Gerimis telah berganti hujan. Mereka berdua memiliki harapan yang sama, semoga hujan tetap jatuh dari langit, tidak dari mata.
***
Malam semakin menua, guratannya kian pekat di langit-langit kamar. Tinggal sunyi mengusik sepi ‘tuk terjaga dalam ruang hampa, hati.
Baik Winda maupun Bayu, keduanya sama-sama terjebak pada malam yang terlanjur datang bertamu. Mereka sama-sama tak mampu memejamkan mata, terlebih setelah kejadian sore tadi.
Biasanya Bayu akan mengirimkan sepotong pesan singkat pengantar tidur,

Langit-langit kamarku melukis wajahmu
kini sampai pada lekuk indah di kedua sudut bibirmu
O, malam
Bergegaslah menjemput pagi

Namun, malam ini Winda hanya mungkin sebatas membaca ulang di kotak masuk.
*** 
(bersambung)