Laman

Selasa, 24 Juni 2014

Merindukan Kemeriahan "Mading" Angkot Bandar Lampung

Rabu pagi 11 Juni 2014, saya cari baterai hp Nokia yang bocor karena dimakan usia. Setelah mendapatkan baterai, sambil jalan saya berpikir akan pulang atau main dulu sebentar. Waktu masih sekitar pukul 10 pagi. Akhirnya saya memutuskan untuk terus melaju menuju pusat kota Bandar Lampung dengan misi: berburu "mading" angkot.


Saya penasaran karena sempat membaca berita di koran bahwa Pemkot Bandar Lampung telah mengeluarkan peraturan tentang penghapusan segala bentuk tulisan di kaca belakang angkot dengan alasan estetika. Hal tersebut sudah saya ketahui lama, tapi belum pernah melihat kenyataan di lapangan. Saat itu juga saya hanya sedang libur kuliah jadi ga punya waktu untuk mencari tahu.

Jadi, dengan mengendarai motor, saya bermaksud akan menguntit tiap angkot yang nantinya saya temui untuk kemudian memotret bagian belakangnya. Tapi sayang, sepanjang saya berjalan dari Kecamatan Panjang sampai Jalan Radin Intan, tak satupun saya temukan apa yang saya cari. Kalaupun ada, hanya satu dua angkot dengan tulisan "normal". Agak tertegun juga mengetahui masyarakat, khususnya para sopir dan pengusaha angkot ternyata patuh ada peraturan tersebut. Dan yang lebih saya sesalkan, kenapa itu terjadi sebelum saya sempat mengabadikannya. 

Ini satusatunya catatan yang pernah saya buat sebagai kenangan. Saya tulis sekitar Agustus 2013 untuk keperluan partisipasi penulisan puisi dwi bahasa LampungIndonesia

Sejujurnya saya kecewa. Sebab sejak masa SMA, saya selalu menikmati dan kadang terhibur dengan kreativitas para sopir angkot. Ada dua yang kalau saya tak salah ingat:

  • Lo gak papa kan Bro? dan
  • Katanya anak gaul, masa digauli nangis? (oke, yang ini saru, tapi sarkastis, cukup untuk menjadi sindiran sosial kan)  

Bahkan saya pernah berpikir, jika dibina dengan baik, mereka itu bisa jadi pengusaha di bidang copy writer untuk iklaniklan televisi *semoga gak dibilang berlebihan*. Selain "mading" itu, hal yang juga saya senangi dari angkot Bandar Lampung adalah sensasi musik lagulagu bajakan yang nonstop diputar sepanjang perjalanan. Hal semacam itu belum pernah saya temui di Kota Lain, Semarang misalnya. Kenapa Semarang karena saya sempat berkuliah 4 tahun di sana. Bagaimana dengan kota lain, samakah? Oya, satu lagi yang khas dari angkot Bandar Lampung adalah usia sopir dan kernetnya yang terbilang muda. Apakah ini gambaran banyaknya usia muda di Bandar Lampung yang tidak bersekolah? Entahlah. Yang jelas, semangat yang kerap melekat dari para kaum muda menjadikan angkot Bandar Lampung jadi hal menyenangkan buat saya. Kalau buruburu, bisa ngebuuuuuut :D

Minggu, 22 Juni 2014

“Acuh” Tak Berarti “Abai”


Sebagian orang beranggapan bahwa mempelajari bahasa Indonesia itu mudah. Padahal bagi mereka yang memang menggeluti bidang bahasa, sebaliknya. Bahasa Indonesia menjadi rumit sebab ilmu ini selalu mengalami perkembangan sebagaimana umumnya ilmu-ilmu sosial. Beberapa bagian yang terkenai di antaranya adalah pengertian suatu istilah yang bergelut dengan ameliorasi (peningkatan nilai makna) dan peyorasi (penurunan nilai makna), masalah peluluhan dan sampai bertambahnya kosakata baru yang mengecoh para pengguna bahasa. Ironisnya, meskipun hampir tiap tahun ada perubahan pada KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), masih ada saja yang salah paham terhadap kata-kata umum yang sudah sering digunakan. Contoh sederhananya dapat diambil dari salah satu lagu yang cukup terkenal berjudul “Lumpuhkan Ingatanku”. Di dalamnya terdapat bagian lirik yang berbunyi berikut:  Di sini kucoba untuk bertahan ungkapkan semua yang kurasakan. Kau acuhkan aku. Kau diamkan aku. Kau tinggalkan aku.
Berdasarkan KBBI, kata “acuh” berarti peduli; mengindahkan. Singkatnya, kata ini mengandung nilai positif. Tapi jika diperhatikan, dalam untaian lirik lagu Geisha tersebut, kata “acuh” menjadi rancu disandingkan dengan kata “diam” dan “tinggal”. Kau acuhkan aku bermakna kau pedulikan aku. Disusul dengan kalimat Kau diamkan aku, Kau tinggalkan aku. Pun, bila memang kata “acuh” dalam lirik tersebut memang diniatkan untuk mengatakan suatu kepositifan agar makin terasa kepedihannya—setelah dipedulikan tiba-tiba didiamkan dan ditinggalkan—artinya bukan salah kaprah, maka ia merupakan satu-satunya kalimat positif di antara semua pernyataan negatif. Silakan perhatikan lirik lainnya. Jangan sembunyi. Kumohon padamu jangan sembunyi. Sembunyi dari apa yang terjadi. Tak seharusnya hatimu kau kunci. Bertanya, cobalah bertanya pada semua. Di sini kucoba untuk bertahan. Ungkapkan semua yang kurasakan. Kau acuhkan aku. Kau diamkan aku. Kau tinggalkan aku. Lumpuhkanlah ingatanku hapuskan tentang dia. Hapuskan memoriku tentangnya. Hilangkanlah ingatanku jika itu tentang dia. Kuingin kulupakannya.
Secara terus-menerus pernyataan si “aku” lirik adalah sifatnya negatif, kecewa. Saya pikir akan lebih sinkron seandainya kata acuh diganti dengan kata “abai” yang sudah jelas-jelas menurut KBBI berarti “tidak peduli”. Sehingga akan menjadi seperti ini Kau abaikan aku. Kau diamkan aku. Kau tinggalkan aku. Lengkaplah duka itu. Tentu saja analisis ini diluar konteks licencia poetica yang membebaskan penulis melakukan hal apapun terhadap bahasa demi mencapai tujuan tertentu atas puisi atau liriknya.  Hal serupa juga terjadi pada salah satu lagu Syahrini bertajuk “Cinta tapi Gengsi” yang liriknya berbunyi demikian ini Kau di mana kau berada saat aku membutuhkan dirimu kamu acuhkan diriku. Jangan tanya oh mengapa oh kenapa kupergi tinggalkan dirimu dst.
Selain dua kata di atas yaitu abai dan acuh, satu lagi yang kerap mengganjal telinga saya adalah ketika mendengar kesalahkaprahan orang-orang menyebut kata “geming” atau “bergeming”. Bergeming yang kata dasarnya geming adalah suatu verba yang berarti tidak bergerak sedikit juga; diam saja. Contoh penggunaannya adalah Aku bergeming saat mendengar kalimat terakhirnya. Demi mengejar cita-citanya, ia harus melanjutkan pendidikan di luar negeri dan meninggalkanku sendiri. Entahlah, aku tak mampu bahkan untuk sekadar mengucapkan selamat jalan padanya. Di tengah geliat bahasa Indonesia yang kini mulai menjangkau kancah dunia, ada baiknya sebagai pewaris dan pengguna bisa lebih berupaya untuk berbahasa Indonesia secara serius. Bukalah kamus jika memang ragu mengenai makna suatu kata atau istilah. Jangan sampai karena terlalu acuh pada kemampuan berbahasa internasional, tanpa sadar terabaikanlah bahasa nasionalnya.