Laman

Sabtu, 27 Maret 2010

========================== yang tercatat ketika senja 'lah kita tafsirkan

Belakangan Akku sering menjadi manusia malam, apalagi kalau pulang kuliah kesorean. Biasanya ia akan tidur lebih awal karena kelelahan untuk kemudian terjaga diatas pukul 10, selanjutnya berdiskusi di depan lapy sampai subuh berpamitan.

Belum genap sebulan Akku menyandang status sebagai mahasiswi semester II, tapi rasanya tugas dari kampus tak henti menyerang. Dari mulai pengkajian cerkan yang bobotnya 4 sks sampai TI yang hanya 2 sks, semua menawarkan diri untuk menjadi camilan lapynya.

“Duh, mataku jereng ik” ujarnya selepas subuh

“Lagian kamu ngedur banget, selain terlalu deket ama lapy, kamar kita ini kan penerangannya kurang. Kamu juga, inget harus jaga pandangan”

Akku tak paham dengan kalimat terakhir Yayuk, teman sekamarnya.

“Pandangan Kku, kalo ku perhatiin kamu tuh serius banget natap si lapy, ati-ati”

“Yee, kirain pandangan apaan. Ya gimana lagi dong. Tugasku numpukpukpuk”

Obrolan mereka terus berlanjut, ngalor-ngidul. Dan baru berhenti ketika Yayuk terenggut oleh mimpi. Akku tahu, hari ini Yayuk kuliah jam 9, jadi bisa tidur lagi. Sementara dirinya harus siap-siap karena ada kuliah jam 8. Dua jam lalu ia baru menyelesaikan rangkuman TI untuk kemudian digabung dengan yang lain menjadi sebuah makalh utuh. Beberapa menit sebelum berangkat Akku merasa agak kurang enak badan, sedikit demam. Pasti gara-gara begadang dan duduk di lantai.

“Apa masuk angin ya?” pertanyaan itu pun terabaikan seiring langkahnya meninggalkan kamar.

“Bu, berangkat. Asaalamualaikum”

Empat puluh menit keudian Akku tiba di kampus, tepat dugaannya, kelas sudah dimulai beberapa menit yang lalu. Sebelum masuk kelas ia bertemu Gara,

“Ga kuliah lagi?”

Dengan santainya dijawab,. “dosennya bikin ga napsu”

Akku langsung bisa mengambil kesimpulan, hari ini hanya ada satu mata kuliah SASTRA NUSANTARA, pasti yang mengampu dosen itu. Tergambar dalam otaknya seorang dosen yang telah memasuki masa pensiun namun tetap semangat mengajar. Berbanding terbalik dengan para mahasiswanya yang ogah-ogahan.

Akku masuk kelas dengan leluasa dan dengan polosnya melangkah mendekati kursi tedepan. Wkwk. Ketika duduk, Nafisa berkata, “tengok kebelakang!”

Dan Akku terkagetkaget mendapati sosok lain di belakangnya,

“Hwaaa, Riska!”

Yang punya nama sempat terkejut, tapi kemudian tersenyum.
Akku fokus lagi kedepan mendengarkan dosen yang tengah asik nembang. Tak sabar rasanya ingin cepat-cepat bilang,”selamet ya” dan menyalami tangannya.

Dasar Akku! Akhirnya hal itu dilakukannya juga, toh aku ga bisa dengar jelas yang dilagukan pak dosen.
Mendapati sambutan yang menyenangkan, Riska tersenyum sambil menerima uluran tangan Akku.

Setengah jam kemudian kuliah berakhir, dengan tanpa mendapatkan pengetahuan tambahan. Tapi tak apa, 
Akku yang ketika berangkat tadi agak kurang bersemangat, merasa sumringah mendapati satu lagi temannya mendapatkan hidayah untuk memakai jilbab. Entah kenapa ia merasa sangat bahagia, mudah-mudahan setelah ini akan ada yang menyusul lagi. Itu yang selalu tergumam dalam benaknya.
***

Kemarin sore, saat sedang mengerjakan tugas pengkajian cerkan dari Pak Karjo, Akku menerima sebuah pesan yang isinya adalah undangan untuk menghadiri peluncuran dua buku puisi karya sastrawan Semarang, disana juga tertulis nama salah satu pembicaranya AHMAD TOHARI.  Tentu saja Akku mau untuk menghadiri, apalagi di akhir pesan ada tulisan FREE. Hhe.

Yang mengirimi pesan bilang ingin sekali datang, karena salah satu novel karangan pembicaranya sedang di baca, RONGGENG DUKUH PARUK. Mengakhiri perpesanan itu Akku berkata sendiri,
“Ya udah liat besok, kuliah editingnya jadi atau ga, karena waktunya hampir bersamaan, PUKUL 13.00”

Ternyata kuliah editing batal, Akku sudah terlanjur menunggu sampai pukul 11.30, ngobrol dengan beberapa teman dan yang mengiriminya pesan tentang peluncuran buku-buku puisi, samba mengerjakan rangkuman makalah Pkn.

“Jadi ikut ga?” ia bertanya pada Akku sebelum berangkat jum’atan.

Yang ditanya menjawab, “Liat nanti ya, aku lagi sms Umi, katanya dia pingin ikut, kan novel yang kalian baca sama”
***

Jamaah jum’at telah bubar, yang mengajak Akku tadi, sebut saja namanya Diia, menghampiri Akku lagi. Memastikan.

“Kalian dulian aja, nanti Akku nyusul sama umi”

“Bareng aja”

“Ga usah, Akku mau sholat dulu, kalian duluan gak papa”

“Apa mau dijemput?”

“Ehm, yaudah nanti kalo kita dah nyampe di depan gerbang ku sms, nanya lokasinya dimana”

“Bukan, maksudnya dijemput pake mot…” belum selesai kalimatnya, Akku sudah memotong,

“Ga usah, kalian duluan aja, nanti biar Akku naik bis” Diia pun seperti kehabisan kata.
Akku pamit untuk ke mushola jurusan.
***

Kira-kira lima belas menit kemudian Akku siap untuk menemui umi yang katanya menunggu di depan fakultas hukum. Saat melangkah meninggalkan gerbang kampus, sebenarnya Akku samar-samar mendengar suara Diia dan dua orang temannya di kelas, tapi mengabaikan. Pasti mereka udah berangkat duluan, pikirnya.

Tak butuh waktu lama untuk sampai ke tempat tujuan, jalan tri lomba juang. Dengan bekal ingatan sedikit isi pesan, Akku dan Umi masuk ke dalam stadion tri lomba juang (baca:mugas) dan mendapati kebingungan.

“Di mana lokasinya?” tanya umi.

“Katanya sih, gedung pers tri lomba juang, ntar ku sms Diia dulu ya”

Sebentar belum ada balasan, Akku pun berinisiatif untuk bertanya pada salah seorang yang sedang membaca papan pengumuman.

“Permisi mas, lokasi pelincuran buku-buku puisi dimana ya?”

Orang itu sepertinya paham, dan langsung menunjukkan lokasi yang benar. Ternyata bukan di stadion ini, melainkan di depannya. Sekali lagi dibaca pesan undangan itu, GEDUNG PERS JLN TRI LOMBA JUANG.

“oh, ternyata jalan tri lomba juang, bukan stadion tri lomba juang” dan mereka menertawakan “kebodohan” sendiri.

Setelah menyebrang mereka sampai di lokasi yang benar. Di pagar depan gedung tertulis persis GEDUNG PERS. Sempat bingung untuk kemudian harus lewat pintu yang mana, lagi-lagi Akku bertanya,

“Maaf pak, tempat peluncuran buku-buku puisi dimana ya?”

Dengan begitu welcome khas orang jawa, mereka pun dipersilahkan masuk untuk kemudian naik ke lantai dua. 
Anak tangga terakhir pun berhasil didaki, seorang resepsionis mempersilahkan mereka untuk mengisi buku tamu,

“Bukunya menyusul ya mbak” ujarnya ramah.

Mereka mengangguk sambil tersenyum.

“Ternyata dapat buku” umi sumringah. Akku ikut-ikutan.

Ruangannya minimalis, sebelum duduk di kursi depan Akku sempat melihat beberapa kakak tingkat yang satu jurusan dengan mereka tengah berbincang di kursi belakang.

“Lho, Diia belum nyampe to?”

“Gak tau, tadi si di kampus aku sempet dengar suara mereka masih di kelas, tapi kupikir mereka pasti udah berangkat, soalnya aku sholat lumayan lama”

Tapi tak lama kemudian hp Akku bergetar, di layarnya bergerak-gerak nama kontak Diia. Dan Akku hanya menatapnya, sengaja tak mengangkat panggilan.

Kalian belum nyampe to?
Kita udah di dlm
Msk aja

Akku mengirimi sms sebagai kompensasi karena tak mengangkat telpon.

Dan sebentar saja mereka bertiga sampai, intinya mereka mengatakan hal yang sama
Kok udah duluan si, di tungguin juga

Akku hanya tersenyum.
***

Di depan Akku dan Umi duduk masih ada satu baris kursi kosong, dua teman Diia memilih duduk disana, tapi Diia justru duduk satu meja dengan kami. Di pojok.

“Kamu di tengah” kata Umi. Dan Akku memandangnya tajam. Membuat Umi tersenyum geli.

“Iya iya”

Sebelum acara utama yaitu bedah buku uisi di mulai, berbagai acara hiburan ditampilkan, ramalan fengshui, musikalisasi puisi dan sekapur sirih dari para pengarang puisi.
Sekapur sirih. Akku mencerna kata majemuk itu.

Masih hangat dalam ingatannya sebuah puisi berjudul persis, di tag ke wall-nya, oleh Diia.

Ketika itu, Akku tak paham betul makna puisinya, puisi kali ini berdiksi berat. Biasanya kalau ingin menyampaikan hal-hal serius, Diia yang memang beberapa kali men-tag-kan puisi, akan memakai diksi yang tak biasa. Dan berkat acara ini, Akku baru mengerti makna puisi berjudul “sekapur sirih” di wall-nya. Bukan paham dengan satu-satu diksinya, melainkan makna yang tersirat. Suatu penyambutan, kata pengantar, ucapan terima kasih, dan hal semacamnya. Dan  Akku tersenyum.

Agenda hari itu sungguh mengandung banyak manfaat, Akku bisa melihat ansung sosok sastrawan, seniman, tokoh besar di Semarang, yang mungkin tak ‘kan ia dapatkan jika masih berkutat di kota kelahirannya, Lampung.

Dalam perjalanan pulang, Diia mengantar dengan sebaris sajak Hanry TM

RINDUKU HILANG LEWAT HUJAN

Akku membalasnya dengan senyuman dan sms balasan,

Terima kasih untuk hari ini, untuk undangan ke acara ini, banyak pegetahuan dan pengalaman yang tak ‘kan ternilai.

Akku termangu di tepi jendela bis yang ia tumpangi, pulang menuju kosan. Sambil menakar –nakar “senja” yang beberapa hari lalu tengah ia bingkai. Sepertinya ukiran bingkai yang Diia buatkan – dalam proses – akan terukir rapi dan … indah. Sepertinya.  Akku coba meyakinkan dugaan ( harapan ) ahh entahlah, mungkin juga doa.  


Bersama senja yang hampir tiba, 26 maret 2010




2 komentar:

  1. (terharu membacanya... 2 kali berulang)

    senja itu akan ku bingkai semanis dan serapi mungkin,,, seperti yang kuharapkan..

    aku hanya mau bilang "terimalah sekapur sirih, dari tanah negeriku yang memutih"

    BalasHapus
  2. jangan nangis!
    wkwk

    kau pikir aku pengunyah sirih, hah?
    sekarang Akku akan "bercanda" terus..
    biasakan dirimu, ya.

    BalasHapus