Laman

Selasa, 29 Maret 2016

PROPAGANDA LGBT DI SEQUEL COMIC 8?

Bisa jadi alasan terbesar yang mendorong seseorang untuk menonton COMIC 8: CASINO KINGS PART 2 adalah penat. Setelah sepekan tertekan dalam aktivitas kerja, otak butuh selingan untuk penyegaran. Sayangnya, satu-satunya film bergenre komedi yang ready to watch di bioskop adalah sequel Comic 8: Casino Kings. Kenapa disayangkan, sebab pada tanggal 20 Maret 2016, penonton yang hadir di Teater 5 Mega Mall Bekasi tidak hanya orang dewasa, tetapi juga anak-anak di bawah umur. Padahal, film itu tidak seharusnya disaksikan oleh para penonton yang belum sepenuhnya memahami kondisi saat ini. Dalam hal ini dituntut peran preventif bagi para orangtua yang mungkin awalnya berniat untuk hiburan keluarga. Misalnya mencari review mengenai film yang akan ditonton.
Awalnya saya berpikir positif bahwa film ini akan memberi hiburan. Sampai kemudian dimulailah scene-scene yang memang tidak tersurat, hanya tersirat, mengarah pada propaganda LGBT dan pornografi. Di antaranya: Dialog antara Kingkong (diperankan oleh Sophia Latjuba) dan dr. Pandji, selain keduanya melakukan undercensor kissing, disiratkan bahwa Sophia Latjuba menampakkan bagian sensitif dari tubuhnya kepada Pandji. Sambil berkata bahwa dia telah mengubah semuanya kecuali satu: bagian sensitif itu. Artinya, dalam film itu Sophia Latjuba memerankan sosok seorang Transgender. Kingkong yang pada sequel pertama adalah laki-laki, kini di sequel kedua telah melakukan operasi plastik menjadi wanita yang begitu anggun dengan harapan Dr. Pandji akan tertarik padanya.
Scene lain adalah saat Ence berada di atas tubuh Indro (keduanya dalam posisi sama-sama tertelungkup) lantaran sebuah bom yang diledakkan dari atas mercusuar. Bahkan scene itu diperjelas dengan dialog. Selain itu, ada satu hal yang membuat saya risih yaitu saat dimunculkannya sebuah benda bernama vibrator, tapi disebut remote bom. Bentuknya aneh. Jika umumnya remote control adalah lonjong normal, tapi di situ remote bom dibuat menyerupai alat kelamin pria.
Hal terparah yang akhirnya membuat saya nyaris mual adalah ketika Nikita Mirzani berpose melahirkan. Di saat sedang terjadi baku hantam antara kelompok Comic 8 dan dr. Pandji CS, Nikita yang merupakan tim dr. Pandji mendadak mengalami kontraksi. Melihat kondisi genting itu, Ernest pun refleks membantu proses persalinan. Tanpa kain penutup.

Apresiasi

Seandainya tidak disusupi oleh scene-scene kotor seperti itu, saya yakin film ini akan tetap bisa menghibur masyarakat. Toh, sudah banyak scene mahal yang pure komedi. Di antaranya saat Hanna El Rasyid (sebagai Bella) meminum racun untuk menyusul kematian kekasihnya, lalu diputar backsound lagu Isabella yang merupakan lagu dari Malaysia. Kelucuan dipicu selain karena aneh ada lagu Malaysia di film Indonesia, juga karena Isa dan Bella adalah pasangan yang unik, Isa bergigi tonggos (hanya peran) sedangkan Bella wanita yang cantik. Agaknya disispkannya unsur Ke-Malaysiaan dalam film Comic 8 (bahkan dalam credit tittle tampak ucapan terima kasih kepada pihak Malaysia atas penggunaan salah satu lagunya) merupakan strategi pemasaran yang bagus untuk menggaet penonton lintas negara.
Saya juga mengapresiasi film ini karena kebisaannya menunjukkan bahwa Indonesia tetap selangkah lebih maju dibandingkan Malaysia dalam hal kekayaan bahasa. Hal itu bisa tampak dari ujaran-ujaran dari seorang Interpol (diperankan oleh Prisia Nasution). Secara umum, banyak kosa-kata Malaysia (bahasa Melayu) bisa dimengerti oleh orang Indonesia, meskipun konteksnya tidak persis sama, tapi tidak sebaliknya. Terbatasnya variasi kosa-kata Malaysia membuat ujaran mereka kerap terdengar janggal. Misalnya saat Indro mengucapkan “Ulur Waktu”, justru dipahami menjadi “Ulu Watu”. Setelah diulang-ulang, barulah ia mentranslete menjadi “distract”.
Interpol cantik itu tidak mengalihbasakan ke dalam bahasa Malaysia, melainkan bahasa Inggris. Apakah itu disebabkan karena memang dalam keseharian mereka berbahasa campuran (Melayu Indonesia), atau justru percampuran itu disebabkan oleh terbatasnya kosa-kata mereka. Entahlah. Kadang perasaan dan dugaan semacam itu seketika saja muncul bila ingat berulang kali Malaysia mengkalim ini dan itu dari Indonesia sebagai milik mereka. Meskipun sesungguhnya apa-apa yang sudah sangat melekat pada diri bangsa Indonesia tidak akan pernah bisa dicuri hanya lewat klaim.
Masih soal bahasa, satu hal yang sering saya perhatikan di film-film Indonesia adalah penggunaan kata ganti “lu-gue”. Selain terus menggalakkan bahasa Indonesia yang baik dan benar, penggunaan “lu-gue” di film Indonesia terutama yang berpotensi diputar secara internasional saya pandang perlu. Ini terlepas dari persoalan bahasa Indonesia. Sebab “lu-gue” cenderung melekat pada konteks budaya Indonesia. Di mana kebiasaan berbahasa “lu-gue” lahir dari adanya percampuran antara etnis Tionghoa dan etnis Betawi di masa lampau.
Tidak hanya soal bahasa, ada nilai budaya khas Indonesia yang juga ditunjukkan dalam Comic 8.  Itu terlihat saat Ge Pamungkas melontarkan kata “beliiii” saat ia menemukan sebuah warung di tengah hutan. Sontak itu mengingatkan kita pada masa kanak-kanak yang sangat lekat dengan kebiasaan jajan.
Di samping itu, ada pula muatan soal etika, dan justru itu pula yang membuat film ini sarat komedi. Di mana Babe Cabita dan Ge Pamungkas menahan diri untuk tidak ikut melawan Barry Prima karena alasan takut kualat. Pada scene ini, saya dan penonton dalam bioskop bisa tertawa beberapa kali selama adegan berlangsung.
Bila akan ada sequel lanjutan dari Comic 8, semoga propaganda kotor semacam LGBT tidak perlu lagi disisipkan. Sebab tanpa hal-hal seperti itu, film Indonesia (tidak hanya Comic 8) sudah bisa menampilkan tontonan yang tak hanya menghibur tetapi juga sarat nilai budaya.



Rabu, 23 Maret 2016

Are You Happy, or Pretend to be?


http://expertelevation.com/wp-content/uploads/2014/07/lead-magnet-pic.jpg
Jika diibaratkan sebuah benda, mungkin gambaran terbaik dari hal bernama bahagia adalah ‘magnet’. Pertama, magnet memiliki dua kutub yang berbeda sifatnya, positif dan negatif. Kedua, perbedaan kutub itu mengakibatkan satu kutub memiliki daya tarik, sedangkan satu kutub lainnya justru harus ditarik agar menghasilkan pergerakan.

Ingat ga kapan terahir kali kamu merasa sangat bahagia ketika melakukan sesuatu dari awal hingga akhir? Mungkin waktu lulus kuliah, diterima bekerja, dilamar oleh kekasih, atau apapun itu. Yang jelas, inti dari pertanyaan tadi adalah apa hal yang membuat kamu bahagia dari awal sampai akhir. Bukan hanya bahagia di awal tapi sedih di akhir, ataupun sebaliknya. Sebab, bahagia itu seperti magnet, tidak mungkin kedua ujungnya sama rasa. Atau lebih tepatnya, jangan sampai sama rasanya.

Coba diingat-ingat, lebih bahagia mana saat kamu masuk SD dan lulus SD? Ketika pertama kali masuk SD, pasti sudah lebih dulu merasakan sedihnya kehilangan masa-masa bahagia di TK bukan? Hari-hari pertama di sekolah baru juga kerap menjadi suatu kondisi yang hening bahkan angker. Penyebabnya beragam: dari mulai belum punya kawan, bayangan guru kelas yang mungkin saja galak, pelajaran-pelajaran baru yang bisa saja sulit untuk dimengerti, dsb. Kemudian hari berangsur lunak. Tahun-demi tahun dilalui dengan berbagai rasa. Apalagi bila sudah punya kawan akrab, rasanya setiap hari ingin selalu ada di sekolah untuk bermain bersama.

Akhirnya tibalah masa kelulusan. Masihkah kamu ingat apa perasaan yang dominan saat lulus dari Sekolah Dasar? Tentu jawabannya akan beragam. Tapi mestinya, menurut teori magnet tadi, bila kamu cenderung tidak bahagia saat masuk SD, maka kamu akan bahagia saat lulus. Karena ada orang yang justru bahagia saat masuk SD, dan ia lulus dengan rasa sedih. Siklus itu akan berlangsung, bahkan berulang sampai kapanpun. Jadi, akan menjadi sebuah pertanyaan besar, bila ada seorang Mahasiswa Baru merasa begitu bahagia di tahun-tahun awal kuliahnya, tapi ia juga bahagia saat lulus sebagai sarjana. Apakah dia benar-benar bahagia, atau hanya berpura-pura?

Logikanya, kebahagiaan di awal kuliah, tentu dirangkai dengan kebahagiaan saat menjalani masa-masa kuliah. Entah itu selalu mencapai nilai sempurna pada perkuliahan, terlibat dalam berbagai kegiatan sosial, atau bisa menjadi asisten dosen. Klimaks dari kebahagiaan itu terletak saat dinyatakan LULUS SKRIPSI oleh dosen pebimbing. Kemudian, kebahagian itu mau tak mau akan menjadi sebuah antiklimaks ketika wisuda.

Sebaliknya, perasaan tertekan di awal kuliah (mungkin karena salah jurusan, atau dipaksa untuk mengambil jurusan yang tidak sesuai minat), akan menjadi sebuah bom waktu. Hari-hari di setiap perkuliahan menjadi beban yang semakin hari semakin berat. Tapi di sisi lain tetap ada perjuangan. Sama, klimaks dari perasaan tertekan itu ada saat dinyatakan LULUS SKRIPSI. Ujungnya, saat wisuda timbulah perasaan lega. Bahagia.

Kedua perbedaan itu bisa juga menjadi ukuran seberapa sukses kita mengerjakan sesuatu. Katakanlah kita merasa bahagia saat diterima bekerja. Itu menjadika kita bekerja dengan totalitas dan loyalitas. Bertemu banyak orang baru dengan berbagai watak dan latar belakang. Tentu akan menjadi sebuah kesedihan jika kemudian kontrak kerja berakhir. Harus ada perpisahan. Harus ada kesudahan. Padahal kita sangat mencintai pekerjaan itu. Begitupun sebaliknya. Bila kita sudah tertekan di awal karir, pasti berakhirnya kontrak kerja ibarat terbukanya sebuah penjara yang selama ini mengekang.

Poin pentingnya, hidup adalah pilihan: bahagia di awal atau di akhir. Bila pada satu magnet hanya punya satu sisi daya tarik, artinya pada sisi yang lain kita harus menyiapkan diri untuk ditarik. Satu saat kita membahagiakan orang lain, dan pada saat yang lain kita akan dibahagiakan. Dengan catatan, saat  membahagiakan berarti kita siap berjuang untuk sesuatu, bergerak, penuh semangat. Sementara dibahagiakan adalah berarti rela untuk diperjuangkan oleh sesuatu, pasrah, tak punya daya. Dan akhirnya kita sadar bahwa untuk bahagia, kita harus bisa mempertemukam sebuah kutub magnet, dengan kutub magnet yang lain agar terjadi tarik-menarik. Agar terjadi hubungan sosial antara satu dengan yang lain.

So, are you happy, or pretend to be?