Bisa jadi alasan terbesar yang mendorong seseorang untuk
menonton COMIC 8: CASINO KINGS PART 2 adalah penat. Setelah sepekan tertekan dalam
aktivitas kerja, otak butuh selingan untuk penyegaran. Sayangnya, satu-satunya
film bergenre komedi yang ready to watch di bioskop adalah sequel Comic 8:
Casino Kings. Kenapa disayangkan, sebab pada tanggal 20 Maret 2016, penonton
yang hadir di Teater 5 Mega Mall Bekasi tidak hanya orang dewasa, tetapi juga
anak-anak di bawah umur. Padahal, film itu tidak seharusnya disaksikan oleh
para penonton yang belum sepenuhnya memahami kondisi saat ini. Dalam hal ini dituntut
peran preventif bagi para orangtua yang mungkin awalnya berniat untuk hiburan
keluarga. Misalnya mencari review mengenai film yang akan ditonton.
Awalnya saya berpikir positif
bahwa film ini akan memberi hiburan. Sampai kemudian dimulailah scene-scene
yang memang tidak tersurat, hanya tersirat, mengarah pada propaganda LGBT dan
pornografi. Di antaranya: Dialog antara Kingkong (diperankan oleh Sophia
Latjuba) dan dr. Pandji, selain keduanya melakukan undercensor kissing,
disiratkan bahwa Sophia Latjuba menampakkan bagian sensitif dari tubuhnya
kepada Pandji. Sambil berkata bahwa dia telah mengubah semuanya kecuali satu:
bagian sensitif itu. Artinya, dalam film itu Sophia Latjuba memerankan sosok
seorang Transgender. Kingkong yang pada sequel pertama adalah laki-laki, kini
di sequel kedua telah melakukan operasi plastik menjadi wanita yang begitu
anggun dengan harapan Dr. Pandji akan tertarik padanya.
Scene lain adalah saat Ence
berada di atas tubuh Indro (keduanya dalam posisi sama-sama tertelungkup)
lantaran sebuah bom yang diledakkan dari atas mercusuar. Bahkan scene itu
diperjelas dengan dialog. Selain itu, ada satu hal yang membuat saya risih yaitu
saat dimunculkannya sebuah benda bernama vibrator, tapi disebut remote bom.
Bentuknya aneh. Jika umumnya remote control adalah lonjong normal, tapi di situ
remote bom dibuat menyerupai alat kelamin pria.
Hal terparah yang akhirnya
membuat saya nyaris mual adalah ketika Nikita Mirzani berpose melahirkan. Di
saat sedang terjadi baku hantam antara kelompok Comic 8 dan dr. Pandji CS,
Nikita yang merupakan tim dr. Pandji mendadak mengalami kontraksi. Melihat kondisi
genting itu, Ernest pun refleks membantu proses persalinan. Tanpa kain penutup.
Apresiasi
Seandainya tidak disusupi oleh scene-scene kotor seperti itu,
saya yakin film ini akan tetap bisa menghibur masyarakat. Toh, sudah banyak
scene mahal yang pure komedi. Di antaranya saat Hanna El Rasyid (sebagai Bella)
meminum racun untuk menyusul kematian kekasihnya, lalu diputar backsound lagu
Isabella yang merupakan lagu dari Malaysia. Kelucuan dipicu selain karena aneh
ada lagu Malaysia di film Indonesia, juga karena Isa dan Bella adalah pasangan
yang unik, Isa bergigi tonggos (hanya peran) sedangkan Bella wanita yang
cantik. Agaknya disispkannya unsur Ke-Malaysiaan
dalam film Comic 8 (bahkan dalam credit tittle tampak ucapan terima kasih
kepada pihak Malaysia atas penggunaan salah satu lagunya) merupakan strategi
pemasaran yang bagus untuk menggaet penonton lintas negara.
Saya juga mengapresiasi film ini
karena kebisaannya menunjukkan bahwa Indonesia tetap selangkah lebih maju dibandingkan
Malaysia dalam hal kekayaan bahasa. Hal itu bisa tampak dari ujaran-ujaran dari
seorang Interpol (diperankan oleh Prisia Nasution). Secara umum, banyak
kosa-kata Malaysia (bahasa Melayu) bisa dimengerti oleh orang Indonesia,
meskipun konteksnya tidak persis sama, tapi tidak sebaliknya. Terbatasnya variasi
kosa-kata Malaysia membuat ujaran mereka kerap terdengar janggal. Misalnya saat
Indro mengucapkan “Ulur Waktu”, justru dipahami menjadi “Ulu Watu”. Setelah diulang-ulang,
barulah ia mentranslete menjadi “distract”.
Interpol cantik itu tidak
mengalihbasakan ke dalam bahasa Malaysia, melainkan bahasa Inggris. Apakah itu
disebabkan karena memang dalam keseharian mereka berbahasa campuran (Melayu
Indonesia), atau justru percampuran itu disebabkan oleh terbatasnya kosa-kata
mereka. Entahlah. Kadang perasaan dan dugaan semacam itu seketika saja muncul
bila ingat berulang kali Malaysia mengkalim ini dan itu dari Indonesia sebagai
milik mereka. Meskipun sesungguhnya apa-apa yang sudah sangat melekat pada diri
bangsa Indonesia tidak akan pernah bisa dicuri hanya lewat klaim.
Masih soal bahasa, satu hal yang sering saya perhatikan di film-film Indonesia adalah penggunaan kata ganti “lu-gue”. Selain terus menggalakkan bahasa Indonesia yang baik dan benar, penggunaan “lu-gue” di film Indonesia terutama yang berpotensi diputar secara internasional saya pandang perlu. Ini terlepas dari persoalan bahasa Indonesia. Sebab “lu-gue” cenderung melekat pada konteks budaya Indonesia. Di mana kebiasaan berbahasa “lu-gue” lahir dari adanya percampuran antara etnis Tionghoa dan etnis Betawi di masa lampau.
Masih soal bahasa, satu hal yang sering saya perhatikan di film-film Indonesia adalah penggunaan kata ganti “lu-gue”. Selain terus menggalakkan bahasa Indonesia yang baik dan benar, penggunaan “lu-gue” di film Indonesia terutama yang berpotensi diputar secara internasional saya pandang perlu. Ini terlepas dari persoalan bahasa Indonesia. Sebab “lu-gue” cenderung melekat pada konteks budaya Indonesia. Di mana kebiasaan berbahasa “lu-gue” lahir dari adanya percampuran antara etnis Tionghoa dan etnis Betawi di masa lampau.
Tidak hanya soal bahasa, ada
nilai budaya khas Indonesia yang juga ditunjukkan dalam Comic 8. Itu terlihat saat Ge Pamungkas melontarkan
kata “beliiii” saat ia menemukan sebuah warung di tengah hutan. Sontak itu
mengingatkan kita pada masa kanak-kanak yang sangat lekat dengan kebiasaan
jajan.
Di samping itu, ada pula muatan
soal etika, dan justru itu pula yang membuat film ini sarat komedi. Di mana
Babe Cabita dan Ge Pamungkas menahan diri untuk tidak ikut melawan Barry Prima
karena alasan takut kualat. Pada scene ini, saya dan penonton dalam bioskop
bisa tertawa beberapa kali selama adegan berlangsung.
Bila akan ada sequel lanjutan
dari Comic 8, semoga propaganda kotor semacam LGBT tidak perlu lagi disisipkan.
Sebab tanpa hal-hal seperti itu, film Indonesia (tidak hanya Comic 8) sudah
bisa menampilkan tontonan yang tak hanya menghibur tetapi juga sarat nilai
budaya.