Laman

Sabtu, 29 Maret 2014

Sastra Tikai

Kian bingung pada dunia sastra saat ini. Banyak tulisan bagus dihajar sedemikian rupa dianggap sebagai tulisan buruk. Sebaliknya banyak tulisan yang cuma gemremeng, sok melawan dengan teori yang tak kokoh dipuji-puji setengah mati oleh orang-orang yang mengaku penjaga sastra Indonesia. Benar kata Mbak Leila S. Chudori dunia sastra kita cuma berisi orang-orang yang suka bertikai.

Wah kalau begitu minta saran Wicaksono Adi bagaimana jadi penghuni dunia sastra yang tak banyak gontok-gontokannya, yakni di dunia hantu, dunia para dhemit.

Auuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu!
Beliau adalah guru yang telah mengajar, dan sempat membuat saya kesal karena pada suatu masa, setelah saya mengeluelukan teknik pengajaran beliau, justru memberi nilai yang ketika itu saya anggap tidak adil. Beberapa waktu kemudian, barulah saya tersadar bahwa yang beliau berikan pada saya itu paling pas. Selama ini saya terbiasa puas dengan nilainilai tertinggi. Padahal, tidak semuanya harus demikian. 
Tulisan di atas, terutama pada bagian "banyak tulisan yang cuma gemremeng, sok melawan dengan teori yang tak kokoh" kembali menjadi peringatan bagi saya agar terus belajar untuk menulis berdasarkan riset. Bahwa menulis fiksi bukanlah sekadar menuangkan ceracau hati, atau kritik sosial yang mentah. Melainkan juga menuangkan gagasan intelektual yang diwujudkan dalam sastra sehingga akan berkedudukan setara dengan bukubuku nonfiksi, hanya kemasannya saja yang beebeda. Itu adalah salah satu tanggung jawab saya.

Di Atas Tuhan

Tuhan memang telah memberikan kepada manusia satu keistimewaan yang dari dulu sampai sekarang terus disebutsebut itulah yang membedakannya dari makhluk lain. Otak membuat manusia bisa berpikir, menciptakan banyak inovasi untuk meningkatkan kualitas hidup baik bagi dirinya atau orang lain.

Saya pernah berpikir. Berdasarkan agama yang saya yakini, di akhirat nanti manusia akan menyaksikan seluruh amalannya selama di dunia terpampang dalam sebuah layar besar. Sedikit banyak saya bisa membayangkannya. Yang muncul dalam imajinasi saya adalah seperti Wall Street di US sana. Serba digital! Ya, seperti itu. Saya yakin, bahkan sangat yakin, segala digitalisasi di era modern ini hanya bagian terkecil dari teknologi Tuhan yang akan dimunculkan di akhir kehidupan nanti, saat manusia sedang samasama menunggu dimulainya kehidupan setelah mati.

Dari hal itu saya coba memahami, bahwa manusia punya tanggung jawab untuk memaksimalkan fungsi otak. Banyak pemikir-pemikir seperti filsuf, ilmuan, pakar teori, pendiri bisnis, motivator, dll muncul barangkali sebagai perwujudan hal tadi.  Dan merujuk pada pendapat seseorang, ini termasuk pemikir juga, mengatakan bahwa “Sebagai manusia, nilai yang saya anut bisa jadi salah, tapi nilai yang diajarkan Islam sudah pasti benarnya”. Sehebat apapun pemikiran seseorang, ide dan pemikiran Tuhanlah yang mutlak benarnya. Orang-orang seperti dia, seperti saya, sangat beryakin pada semua katakata dari Tuhan sekalipun belum semuanya mampu untuk dimengerti tapi selalu mencicil pemahanan.

Minggu, 23 Maret 2014

FIB BERBASIS EMPIRISME?

Opini | Lampung Post, Kamis, 20 Maret 2014 | Halaman 12

FIB Berbasis Empirisme?
Destaayu Wulandari
Alumnus FIB Universitas Diponegoro

DAHI saya berkerut kala membaca opini Lampung Post, 13 Maret 2014 bertajuk Urgensi FIB di Unila. Setidaknya dua hal saya garis bawahi dari tulisan tersebut. Sekilas, kedua gagasan yang dimaksud bukan masalah dan bahkan menjadi pemantik tambahan yang tersampaikan kepada masyarakat—selain diskusi-diskusi terkait yang tidak terpublikasi—demi terwujudnya rencana besar untuk masa depan budaya di Lampung ini. Namun, setelah dikaji lagi, ada hal-hal implisit yang menurut saya perlu untuk diperhatikan.
Pertama, rencana pewujudan yang cenderung lebih mengutamakan nilai-nilai empiris melalui fakultas ilmu budaya (FIB) yang kelak akan didirikan di Universitas Lampung (Unila). Kedua, pengerucutan fungsi yang secara tidak langsung dapat memicu disintegrasi dengan FIB di universitas lain yang lebih dulu ada di Indonesia.

Pada poin pertama, dalam artikel itu peran FIB secara teoretis memang tetap disebut dengan cakupan tepat menyentuh kemasyarakatan dan kemultietnikan budaya setempat. Akan tetapi, setelahnya lebih ditonjolkan paparan yang menimbulkan kesan pengabaian terhadap latar belakang keilmuan bakal dosen yang nantinya mengajar di FIB. Secara jelas disampaikan staf pengajar tidak harus lulusan magister apalagi doktor.
Ada hal yang tendesius saat kemudian penulisnya menunjuk beberapa nama tokoh seniman dan budayawan Lampung yang dianggap mumpuni untuk menduduki posisi dosen. Pada bagian ini, tentu saya bukan menolak ide tersebut, melainkan bermaksud melengkapinya. Kualitas sosok yang direkomendasikan memang tidak perlu diragukan. Mereka telah memiliki prestasi dan pengalaman yang jarang dimiliki masyarakat Lampung, termasuk bila nanti dimunculkan tokoh lain yang serupa. Beberapa sosok yang kapasitasnya dianggap mumpuni itu perlu, utamanya untuk mata kuliah yang sifatnya praktikal.

Sebut saja, sebagai contoh, Penulisan Kreatif, Dramaturgi (teater), serta Transliterasi Naskah pada Subjek Filologi adalah beberapa mata kuliah di FIB yang perlu staf ahli lapangan. Kehadiran mereka tentu penting di satu bagian. Pula, jangan sampai lupa ada bagian lain, yaitu teori yang juga harus diampu oleh ahlinya.

Apalagi Lampung merupakan peserta dalam ajang sastra Rancage. Oleh sebab itu, dengan memahami teori kritik sastra, karya-karya sastra berbahasa Lampung yang telah ada akan bisa dikritisi oleh para mahasiswa yang menaruh minat pada sastra Lampung secara khusus atau sastra secara umum yang ditulis oleh orang Lampung atau bukan orang Lampung. Ke depan, perolehan penghargaan sastra dari yayasan yang diketuai oleh Ajip Rosidi itu tidak lagi minimal dengan adanya kritik yang membangun.

Penekanannya, isu kesulitan (jika memang benar sulit) memperoleh staf pengajar sebaiknya tidak lantas disederhanakan sedemikian itu. Jangan sampai kabar baik bagi pegiat sastra dan budaya di Lampung justru menjadi barang antik yang aksesibilitasnya terbatas.

Semangat empirisme yang diusung dalam artikel tersebut ada baiknya tidak ditelan apa adanya. Bukankah tidak buruk merekrut yang bukan masyarakat Lampung seandainya sungguh tidak ada sama sekali di provinsi ini. Sarjana, magister, dan doktor yang memiliki latar belakang ilmu sastra atau humaniora tetap merupakan hal fundamental bagi fakultas yang masih dalam rencana pendirian itu.

Link and Mach

Selain semangat empirisme, pada poin kedua dibubuhkan pula semangat disintegrasi. Sebagai pembanding, Unversitas Gadjah Mada (Yogyakarta) mendirikan FIB pada 1946, Universitas Diponegoro (Semarang) 1965, Universitas Andalas (Padang) 1982, dan Universitas Airlangga (Surabaya) 1998.

Ingin tampil beda dengan FIB lain, sudahkah terpikirkan risiko yang muncul kemudian. Misalnya, dengan hanya mengandalkan tenaga dari intelektual berbasis empiris, mampukah nantinya FIB di Lampung menjalin kerja sama dengan para pendahulunya itu, yang meskipun concern-nya pada kebudayaan daerah, yaitu Jawa, tetapi juga mengutamakan kematangan pendidikan para pengajarnya.

Link and match yang saya pahami sebagai upaya awal untuk menyerap dasar-dasar pendirian FIB, bisa sekaligus dimanfaatkan untuk menatar para calon dosen yang berpengetahuan umum menjadi berpengetahuan khusus mengenai kelampungan, misalnya, aksara kaganga. Terlebih, hal mengenai guru bahasa Lampung yang nyaris kehilangan posisi, agaknya bisa dijawab dengan tercetusnya ide pendirian FIB. Ditambah lagi, sebelumnya LPPM IAIN Raden Intan Lampung telah memulai workshop mengenai manuskrip Lampung.

Perlu diingat gagasan perlunya pendirian FIB di Lampung ini bermula dari dikembalikannya naskah-naskah kuno yang semula disimpan oleh pihak Belanda. Jadi, saya pikir semangat yang ditularkan oleh pihak Erasmus harus diteruskan selurus-lurusnya, dengan mengutamakan penelitian atas naskah yang ada agar peradaban masa lalu Kota Siger ini terungkap, serta ada kesatuan visi dari semua pihak terkait.
Akhirnya, saya ingin mempertanyakan ke arah mana FIB ini akan dibawa. Apakah FIB yang berbasis ilmu murni atau pendidikan. Jangan sampai nantinya terjadi tumpang tindih antara FIB yang umumnya di dalamnya termasuk program sastra dengan FKIP Bahasa Indonesia yang berbasis keguruan.

Perlu ada pemisahan yang jelas di antara keduanya. Bila hanya mengkerdilkan FIB dengan fungsi empiris, tidak perlu sampai membangun fakultas baru. Gabungkan saja ke fakultas yang sudah ada dalam subjek peminatan baru. Sebab, ada perbedaan antara budaya sebagai ilmu dan budaya sebagai warisan


Rabu, 19 Maret 2014

KIBLAT DI KOTA Y

Setelah berbulan-bulan saya tersandung kepasrahan karena tersandera keadaan dan tidak tahu apakah bisa mempertahankan "perasaan", maka "panggilan" dari Yogya ini seperti suatu Gagal Move on. 
Holaaa, saya sudah ada di Kota Y lagi! Hehe. Kota ini belum pernah membuat saya bosan walaupun telah berkalikali didatangi. Malahan rasa senangnya selalu terbarukan tiap kemudian datang lagi dan lagi. Eits, tapi ada yang berbeda kali ini. Pertama, kedatangan saya untuk interview di sebuah perusahaan penerbitan. Kedua, oke, untuk poin kedua saya paparkan dulu beberapa hal.
Sejak pertama kali datang ke kota ini, telinga saya selalu terganjal dengan kebiasaan warga setempat yang lebih suka menyebut arah mata angin ketimbang arah lokasi. Misal, saat ada yang bertanya, "di mana lokasi rumah sakit x?" maka bukannya menyebut lokasi lain yang searah atau berdekatan, mereka justru menyebut arah mata angin. "Oh, ke arah barat. Oh ke arah selatan", dst.dst. Padahal kan belum tntu setiap orang selalu bawa kompas.
Jika biasanya saya selalu NB "numpang bangik" alias nebeng di kosan kawan ehehe, Si Duu, atau pernah juga di kos Mbak Ai, kali ini saya menginap di rumah teman yang lain. Seorang kawan yang saya kenal saat mengikuti workshop di Bentang Pustaka tahun lalu. Dia seorang nasrani yang telah memiliki dua orang putri. Sebentulnya ada beberapa alternatif yang mungkin saya usahakan, tapi berhubung rumah Mbak Dyah yang paling dekat dengan lokasi interview, saya pun mengusahakannya.
Daan, kesulitan yang saya dapatkan adalah perihal sholat. Untungnya, sebelum menanyakan, justru Mbak Dyah menawarkan duluan seandainya mau ke masjid dia gak keberatan mengantar. Daripada merepotkan malam-malam, maghrib sih, saya pun minta izin untuk sholat di ruangan rumahnya, dia mempersilakan. Kemudian saya bingung lagi,
"Tapi kiblatnya ke arah mana ya Mbak?" tanya saya.
Dia kelihatan berpikir, ada canggung yang tipis dari rautnya.
"Kiblat itu ke arah mana?" dia balik tanya, lebih pada mengkonfirmasi, sih.
"Barat." jawab saya yakin. Gak mungkin dong saya bilang bahwa kiblat ke arah Baitullah hhe.
"Oh, berarti ke arah sana." Mbak Dyah mengangguk anggukan kepalanya.
Well. Saya manut aja. Ini bukan kali pertama saya tersesat arah kiblat. Hari sebelumnya juga pas mau sholat di atas kapal, pengelolanya gak pasang instalasi arah kiblat. Jadilah saya sholat ke arah yang paling meyakinkan. Toh, Tuhan selalu bisa melihat perbuatan hambanya. Makanya, doakan supaya interview saya lancar supaya bisa tinggal di sini untuk waktu yang cukup lama demi belajar arah mata angin dari orang sini. Kalau perlu sekalian dapat jodoh dan jadi ORANG YOGYA, ups, hihi.

19 Maret 2014