Laman

Sabtu, 22 Desember 2012

Ketika Melupakan Harus dengan Menemukan



Di suatu pemberhentian dalam jalan hidup manusia
Seorang laki-laki turun dari kereta. Ia kemudian bersandar di pagar pembatas menunggu kereta selanjutnya. Langit tampak kemerahan. Mata laki-laki itu memperhatikan sekitar. Ada orang lalu-lalang, pengamen membenahi gitar dan seorang perempuan berkaca mata di seberang. Keesokan harinya kejadian yang sama terulang. Bedanya, ia menemukan potongan kertas bertuliskan “Lupakan”.
Di hari yang lain, saat sedang menunggu kereta laki-laki itu melihat perempuan berkacamata tengah bertengkar dengan seorang laki-laki yang tak lain adalah dirinya. Mereka berpisah berlawanan arah. Laki-laki itu memperhatikan perempuan berkaca mata yang bergegas pergi dengan kemarahan. Tampaknya pria itu tak menyadari bahwa perempuan lain justru sedang memperhatikan dirinya.
Bukanlah tanpa kesengajaan jika film pendek berdurasi sekitar limabelas menit ini dibuat tak berdialog sama sekali. Sebagai sutradara yang merangkap produser, editor sekaligus penulis naskah, Radian “Jawa” Kanugroho punya maksud tersendiri lewat film berjudul “Lupakan” ini.
Berlatar sebuah stasiun kereta, film ini hanya menyuguhkan potongan-potongan peristiwa yang dialami seorang laki-laki saat sedang menunggu kereta. Sepatah kata pun tak dimunculkan dari tiga orang yang ada. Hanya dengan ekspresi wajah dan gestur tubuh, penonton dibiarkan dan dipaksa untuk menerka-nerka apa yang ada dalam pikiran para pemainnya.
Seni melupakan. Hal itulah yang mendominasi makna muatan dalam film ini. Banyak cara yang umumnya dilakukan orang untuk melupakan. Misalnya saat putus cinta, mereka akan membuang setiap benda bernilai kenangan. Selain itu bisa juga dengan pergi ke suatu tempat yang bisa menghindarkannya dari pertemuan-pertemuan tak sengaja dengan orang yang ingin dilupakan. Ada pula yang memaksakan diri agar tak memikirkan, tapi justru semakin teringat.
Seni melupakan yang ditawarkan Radian adalah dengan cara menemukan orang lain. Seperti yang dilakukan laki-laki penunggu kereta tersebut. Saat  menemukan orang lain yang siap untuk mengisi kekosongan hati, secara perlahan kenangan yang tersimpan dalam ingatan akan tersisih. Meskipun ingatan itu tidak benar-benar lenyap, tetapi ada proses laten yang terus mengikiskannya tanpa tekanan yang dipaksakan sebagaimana cara-cara umum melupakan sesuatu.
Banyak hal bisa dilupakan dengan cara ini. Saat kehilangan seseorang, kehilangan benda kesayangan, kehilangan kesempatan berharga, dan semacamnya. Yang jelas, melupakan bukanlah membuang atau melenyapkan sesuatu secara instan. Ada proses yang harus dijalani yaitu kesabaran. Sebab jika mau menyadari, kenangan—pahit atau manis—tercipta untuk hidup di dimensi tersendiri tanpa harus dipermasalahkan keberadaannya. ***

--Dibuat dalam rangka pemenuhan tugas mata kuliah Penulisan Kolom.

Rabu, 26 September 2012

Sepasang Sayap yang Tak Lagi Punya Angin



Di sebuah petang yang lengang kudapati samar-samar jejak yang tak habis tersapu angin
Tak jauh dari kerangka bangku taman yang nyaris runtuh, sepasang sayap tergeletak
Sekadar mencari dan menemukan yang tak lagi dianggap ada, sayap itu setengah bicara
Kirinya menangis. Ada ratap yang tak sempat diterbangkan
Kanannya hanya diam. Ia lupa bagaimana cara mengepakkan pesan
Sayap yang bisu, nyaris mati.
Ke mana harus dibawanya risau yang pelan-pelan mengiris setiap ingatan
Ke mana perginya tubuh yang menopang?
Ia tak lagi tahu harus menyampaikan apa
Angin tak lagi mengenali sosok yang cukup tua untuk ditinggalkan
Bahkan mungkin, langit telah menemukan sepasang sayap lain yang lebih kokoh yang tahu ke mana harus membawa pesan bagi hidup
Bahwa hidup memang tak pernah menjadi sama
Cinta bisa berbelok sesuka angin
Dan sayap, tak punya kuasa jika tak ada yang lagi menginginkannya
Diam-diam kusempurnakan penghapusan jejak yang semula samar sambil menguburkan sayap yang tak lagi punya angin.

Semarang, 26 September 2012

Sabtu, 25 Agustus 2012

Sketsa Petang --2

***
Sambil mengantarkan gerimis pulang, kususuri jalan setapak itu. Setelah sebelumnya meyakinkanmu bahwa akan baik-baik saja membiarkanku kembali ke kontrakan sendiri. Sebenarnya memang jarak antara galeri dan kontrakanku tidaklah jauh, hanya sekitar 1km. Petang itu, aku sedang berusaha mengingat peristiwa apa yang mengawali kebatuan kita tiga tahun belakangan. 

Aku tahu, ada sesuatu yang mengganjal dalam benakmu ketika mendengar ucapan terakhirku tadi. Saat kugunakan kata “juga” di depan kata “rindu”. Ya, kau memang tak mengatakannya, tapi aku bisa mendengar. Aku tak peduli kauterima atau tidak. Justru menurutku kau seharusnya berterima kasih karena aku telah membantumu mengungkapkan yang tak mampu kausampaikan.

“Aku tak peduli pada apa yang kau rasakan. Tapi, ya, aku juga tak bisa berbuat apa-apa jika ternyata selama ini kau menganggap setiap ajakanku adalah sesuatu yang spesial, misalnya sekadar ngopi di kafe.”
Tepat beberapa meter di depan sebuah kafe yang terakhir kali kita datangi, kalimat itu muncul di kepalaku. Ya, kau memang pernah mengatakannya padaku. Sejak saat itu memang aku semakin yakin bahwa kebersamaan kita adalah kesia-siaan. Adalah benar bahwa seharusnya memang aku menunggu saja seseorang yang tak juga kutemukan hingga sekarang. Dan menghindarimu adalah satu-satunya jalan, aku tak punya pilihan.

Gerimis yang tak sempat menjadi hujan telah benar-benar hilang. Petang pun telah berhasil mengantarkan senja tanpa diketahui siapa-siapa. Hanya saja aku bisa merasakan. Seperti getar ringan saat sebuah pesan singkat masuk ke ponselku. Pesan darimu. Aku tak mau berpikir apapun tentang apapun yang kau lakukan padaku, termasuk isi pesanmu yang menanyakan apakah aku sudah tiba di kontrakan atau belum. 

“Kau tak pernah konsisten.” Kataku waktu itu. Dan sepertinya itu akan terus berlaku sampai sekarang. Tak ada yang perlu diseriuskan dari setiap kata dan tindakanmu.

Belum. Di depan pintu kubalas pesanmu.

Tepat dugaanku. Hanya selang beberapa detik kau menelponku, sekadar bertanya kenapa aku belum tiba. Karena menurut perhitunganmu, seharusnya aku sudah sampai.

“Kau baik-baik saja kan?”
Entah itu hanya perasaanku atau tidak, aku bisa merasakan nada khawatir dari pertanyaanmu.
“Ya.”
“Hati-hati di jalan, kabari aku kalau sudah sampai ya.”

Tak perlu kutanggapi kalimat terakhirmu. Langsung kuputuskan hubungan telpon saat kubuka kunci pintu. Aku tak pernah lagi ingin peduli padamu.
Jarak. Hanya itu yang kuinginkan saat ini. Kita tak harus membicarakan apapun, apalagi tentang masa lalu.

Setelah kutemukan penyebab kebatuan kita, kini aku justru mencoba mengingat kenapa kita bisa saling bicara lagi? Meskipun terkadang akupun menginginkannya, tapi ketakinginan itu lebih besar. Hanya ketika rindu saja aku menginginkan pesan-pesan singkatmu, atau mendengar suaramu dari saluran bicara di ponsel. Selebihnya, aku muak padamu.
(Bersambung)

Jumat, 24 Agustus 2012

Sketsa Petang



Sudah cukup lama rasanya, kubiarkan malam tak pulang dan pagi selalu saja tersesat karena lupa ke mana harus berbelok saat tiba di persimpangan. Padahal, di teras rumah itu aku tak pernah tak ada selepas petang. Senja yang kini lebih memilih untuk sakit berkepanjangan telah menitipkan rindunya yang kerap bertunas saat kemarau bahkan berjuang habis-habisan agar setidaknya ada titik gerimis yang menemukan debu di jalanan.
Di teras itu, aku terus melanjutkan sketsa siang yang urung selesai. Ada sebuah warna yang sampai sekarang tak juga kudapatkan. Telah kucari ke sekian banyak toko cat, tetap saja warna itu tak ada.

“Jika nanti sketsa itu telah selesai, berilah warna pada setiap tepi kanvasnya.” Aku kerap mengingat permintaan yang lebih seperti pesan terakhir sebelum ketiadaan menggantikanmu di bingkai itu. Memang, hanya satu warna yang harus kuusapkan ke kanvas yang kian usang itu. Namun, akhirnya kuberpikir bahwa satu-satunya warna yang tak juga kutemukan itu seolah memang tak mau muncul sekarang.
***

“Kapan kau berhenti berpikir bahwa sebuah ujung jalan akan mengantarmu pada tujuan?”

Di sela gerimis siang itu, kau tiba-tiba bertanya. Sebuah pertanyaan yang menjadi awal pembicaraan setelah bertahun lamanya kita seperti dua tikungan di persimpangan. Kita selalu bertemu, tapi tak pernah bisa menyapa. 

“Sampai aku tak lagi punya tujuan.” Sambil terus melanjutkan sketsa itu, kujawab kau sekenanya. Ah, kapan kuselesaikan sketasa busuk ini. Prak! Sebentar kau menoleh ke arahku. Mungkin kau heran kenapa kuas yang semula kupegang kini telah tergeletak di lantai, di bawah bingkai.

Gerimis yang masih berlanjut di luar jendela diam-diam merayap ke dinding pipiku. Terjadi lagi. Setiap kali ingatanku sampai pada ketiadaan, kuas itu memang selalu terlempar. Setiap itu pula, bertahun-tahun lalu kau selalu mengatakan bahwa aku tak akan pernah mungkin bisa berhasil menyelesaikan sketsa itu. Dengan sedikit sunggingan di bibirmu, kau mendekapku. Dan hingga kini, aku tak pernah bisa merasakan dekapanmu.
“Kau terlalu toleran pada mimpi. Sebuah mimpi yang lebih menyerupai obsesi berkepanjangan. Aku lelah melihatmu seperti ini...”

Aku muak mendengar ucapan semacam itu darimu. Tapi coba kutahan perasaan itu, mengingat ini adalah hari pertama sejak kita tak saling bicara sama sekali. Hanya sekadar kugigit bibirku sendiri. Ada getar tangisan yang perlahan menderas. 

“Pulanglah” katamu lagi. Dekapanmu kian mengendur. Kedua tanganmu yang sejak tadi mengusap bahu dan kepalaku, menarik mundur kepalaku. Kini, mata kita saling beradu. Butir-butir air mata yang terus bergulir kauusap dengan jari telunjuk. Kau memang tak mengatakan apa-apa. Tapi percayalah, aku baru saja mendengar ucapan dari matamu.
“Aku juga rindu, tapi sebaiknya lupakan saja. Sebentar lagi petang akan tiba."
***
 (bersambung)

Selasa, 07 Agustus 2012

Memulai hari baru di Desa Slagi

Senin, 16 Juli 2012 TIM II KKN-PPM Universitas Diponegoro 2012 akhirnya resmi dilepas oleh rektor ke 4 kabupaten di Jawa Tengah yaitu Jepara, Demak, Kendal, dan Batang. Masing-masing kabupaten kedapatan 4 kecamatan yang memiliki jumlah desa tertentu.

Slagi merupakan satu dari delapan desa yang ada di Kecamatan Pakisaji Kabupaten Jepara. sebanyak 13 mahasiswa Undip dari berbagai jurusan siap menjalankan sekitar 39 program yang telah dimuat dalam Laporan Rencana Kegiatan (LRK).

Minggu-minggu awal selain digunakan untuk sosialisasi program juga dimanfaatkan dengan mendatangi perangkat desa untuk sekadar silaturahim dan memperkenalkan diri, atau yang dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah kulonuwon.

Berikut ini beberapa kegiatan Tim KKN Slagi di minggu pertama

barang-barang yang siap dibawa ke Slagi pada tanggal 15 Juli 2012
mahasiswa saat jalan-jalan sore sekaligus survei dan sosialisasi program  mengelilingi desa Slagi yang memiliki 19 RT

DI AWAL MINGGU SUDAH MELAKUKAN UJI COBA SALAH SATU PROGRAM PEMBUATAN BIOPORI

saat mengunjungi SDN 2 Slagi untuk sosialisasi program
meninggalkan salah satu lokasi pabrik tahu di Slagi. ada sekitar 8 pabrik tahu yang memproduksi tahu di Slagi


membantu persiapan Safari Jumat yang dihadiri oleh Bupati Jepara

Bupati Jepara disambut oleh Carik Slagi



sejenak refreshing sebelum benar-benar terjebak dalam padatnya aktivitas program

Design Balai Pertemuan Kelompok Tani "Bendo Tani"

Kepada TIM II KKN-PPM Undip 2012 Desa Slagi kecamatan Pakisaji Jepara, pengurus kelompok tani "Bendo Tani" RT 2 Desa Slagi  meminta bantuan untuk pembuatan design balai pertemuan. Permintaan dilakukan pada tanggal  31 Juli 2012 dan diserahkan pada tanggal 4 Agustus 2012. Design dibuat oleh Afifah Rahma Ilmita, mahasiswa Arsitektur 2009.

tampak depan

tampak samping

Sabtu, 04 Agustus 2012

Gebrakan Dua Anak Lebih Baik dan Pendaftaran Akta Kelahiran Desa Slagi



            
Pentingnya kesadaran warga untuk ikut serta dalam program BKKBN menjadi alasan utama Tim II KKN-PPM Undip Desa Slagi untuk mengadakan sosialisasi “Dua Anak Lebih Baik dan Pendaftaran Akta Kelahiran”. Sosialisasi ini membidik kelompok ibu-ibu PKK. Kelompok ini terdiri dari hampir seluruhnya ibu rumah tangga sehingga sangat cocok untuk memaparkan keuntungan masa depan yang akan diperoleh apabila mencanangkan program dua anak lebih baik dalam keluarga.
Program sosialisasi yang dilaksanakan pada hari Senin, 30 Juli 2012 ini menunjukkan antusiasme ibu-ibu PKK desa Slagi yang terbukti dari banyaknya pertanyaan yang dilontarkan kepada mahasiswa tim KKN-PPM Undip seputar program BKKBN. Dengan terlaksananya program sosialisasi Dua Anak Lebih Baik ini diharapkan akan berdampak pada kemajuan perekonomian keluarga khususnya di Desa Slagi. Segenap kru tim II KKN-PPM Undip berharap setelah memperoleh penyuluhan dua anak lebih baik, seluruh ibu-ibu PKK mencanangkan program ini dengan hanya memiliki 2 orang anak guna menjamin masa depan anak-anaknya. Selain penyuluhan dua anak lebih baik, tim II KKN-PPM Undip juga memberikan materi tentang pentingnya pendaftaran akta kelahiran anak guna mempersiapkan status hukum anak dengan baik. Akta kelahiran sangat penting diperhatikan dan dipaparkan pada warga desa karena rendahnya kesadaran warga desa tentang perlunya akta kelahiran anak yang terbukti dari banyaknya anak desa Slagi yang tidak memiliki akta kelahiran. Melalui kedua program yang bertemakan BKKBN ini harapannya warga desa dapat membantu pemerintah dalam pengendalian tingkat kelahiran anak setiap harinya juga membantu pemerintah dalam mengumpulkan data sipil warga sejak dini.

LOMBA MEWARNAI DAN MENGGAMBAR SD N 1 DESA SLAGI



Kamis, 2 Agustus 2012, merupakan hari yang sibuk bagi tim KKN desa Slagi. Pada hari itu tim KKN memiliki acara program bantu bagi SD N 1 desa Slagi, yaitu lomba mewarnai dan menggambar, sekaligus mengadakan pameran untuk hasil lomba tersebut. Kegiatan di mulai dengan apel pagi pada pukul 7. Pada apel pagi itu perwakilan dari tim II KKN-PPM undip, Budi Septiyanto, memberikan sambutan dilanjutkan dengan sambutan dari bapak kepala sekolah SD N 1 Desa Slagi, Bapak Nur Salim. Kemudian pembawa acara mengumumkan tentang susunan acara lomba. Susunan acara tersebut adalah sebagi berikut: 1. Lomba mewarnai dan Menggambar 2. Menonton film edukasi 3. Pameran lukisan hasil lomba.

Peserta lomba mewarnai terdiri dari seluruh kelas 1, 2, dan 3. Sedangkan lomba menggambar di ikuti oleh beberapa siswa kelas 4, 5 dan 6. Secara keseluruhan acara ini berjalan dengan lancer, sampai pada puncak acara yaitu pameran lukisan. Pemenang dari lomba ini di ambil juara 1, 2, dan 3 lomba mewarnai, juara 1, 2 dan 3 lomba menggambar, serta lukisan terfavorit. Penjurian unruk lomba ini dilakukan oleh beberapa anggota tim II KKN-PPM Undip desa Slagi yang sudah dipilih untuk memilih juara 1, 2 dan 3 lomba mewarnai dan menggambar, sedangkan untuk lukisan terfavorit dilakukan dengan cara voting oleh siswa-siswa SD N 1 Desa Slagi.  
  

Sabtu, 28 Juli 2012

MAHASISWA KKN-PPM UNDIP MENGGALI POTENSI UNGGULAN YANG TERLUPAKAN DI DESA SLAGI, JEPARA


Slagi (23/7) Senin siang sudah menjadi kegiatan rutin bagi ibu-ibu PKK desa Slagi, Kecamatan Pakisaji, Kabubaten Jepara untuk berkumpul di Balai Desa. Mereka biasa menghabiskan waktu di sana untuk arisan, melakukan simpan pinjam, bahkan untuk sekedar mengobrol.
                Namun hari itu berbeda. Sejak pukul 1 siang, Balai Desa sudah diramaikan oleh tiga belas mahasiswa KKN-PPM (Kuliah kerja nyata-Pembelajaran dan Pemberdayaan Masyarakat) Universitas Diponegoro, Semarang yang ingin mengadakan pelatihan pembuatan keripik dan kerupuk ampas tahu. Di desa Slagi, tahu merupakan produk unggulan. Desa yang terdiri dari 4 dukuh ini memiliki 7 pabrik tahu yang hasil produksinya sudah dipasarkan ke beberapa daerah di Kabupaten Jepara.  Namun, masyarakat Desa Slagi belum banyak yang memanfaatkan tahu menjadi olahan-olahan makanan dan belum melihatnya sebagai peluang usaha. Kebanyakan masyarakat Slagi mengolah tahu sebagai makanan pokok sehari-hari tanpa melihat adanya banyak peluang dari diferensiasi produk tahu.
                Mahasiswa KKN-PPM melalui program “Pelatihan Pembuatan Keripik dan Kerupuk Ampas Tahu” berusaha memberi edukasi dan keterampilan mengolah tahu menjadi beberapa produk sekunder melalui demo masak dan pemberian resep diferensiasi produk olahan tahu seperti nugget tahu, pepes tahu, dan steak tahu. Melalui program ini, diharapkan ibu-ibu PKK mendapat ketrampilan baru untuk mengolah produk tahu dan menciptakannya sebagai peluang usaha dan mengembangan potensi unggulan desa tersebut.
                
               

Antusiasme peserta pelatihan terlihat sejak awal demo masak dilakukan. Keripik tahu sendiri sudah menjadi hal yang akrab di telinga masyarakat Desa Slagi. Namun mereka belum mengetahui langkah dan teknik pembuatan keripik tahu tersebut. Sementara kerupuk ampas tahu masih menjadi hal yang asing di telinga para ibu PKK desa Slagi. Menurut pengetahuan mereka, ampas tahu biasa digunakan untuk membuat tempe gembus atau pakan ternak. Mereka tidak mengetahui bahwa ampas tahu juga bisa diolah menjadi kerupuk aneka rasa yang enak dan menjual.
                Dengan memanfaatkan tahu menjadi berbagai olahan makanan dapat meningkatkan penghasilan masyarakat Desa Slagi. Selain kesediaan bahan baku yang melimpah, mudah didapat, dan terjangkau, pemasaran olahan tahu juga luas. Untuk melengkapi keterampilan mengolah tahu, mahasiswa KKN-PPM Universitas Diponegoro juga memberikan contoh desain packaging produk olahan tahu  dan penyuluhan pendaftaran merk serta sertifikasi dari dinas kesehatan, sehingga produk olahan tahu lebih menarik, tahan lama dan dipercaya konsumen.

Tak


Tak ada yang tersisa dari setangkai jalanan yang terbelah menjadi dua helai ketiadaan
Saat pagi memang telah cukup renta untuk sekadar menuangkan embun dari matanya yang tuli tertutup dingin
Tak ada yang mampu memahami
Bahkan kita hanya saling membodohi diri dengan memetik akar yang menggantung di pucuk perjalanan
Kita lupa bagaimana cara menyirami kuncup yang tak juga mekar
Kita hanya tahu bahwa ada pisau yang kerap bertunas di setiap menjelang akhir malam
Tak ada kah yang mampu kita ingat?
Atau setidaknya berpura-pura mengingat.

Jepara, 28 Juli 2012

SOSIALISASI DISLEKSIA SEBAGAI LANGKAH AWAL MENGENALI GANGGUAN BACA PADA ANAK


Jepara—TIM II KKN-PPM Undip 2012 sambangi SDN 1 Slagi Kecamatan Pakisaji Jepara untuk menyosialisasikan beberapa program yang berkaitan dengan kesehatan. Kegiatan yang merupakan program minggu ke-2 tersebut dibagi menjadi beberapa program, yaitu sosialisasi program cuci tangan, sosialisasi disleksia, dan sosialisasi budaya makan ikan. Jika kebanyakan program yang dijalankan tersebut memiliki sasaran siswa SD, maka program sosialisasi disleksia justru ditujukan kepada para guru.


Disleksia merupakan suatu gangguan baca pada anak yang berupa kesulitan memahami kata-kata. Program tersebut dibuat dengan tujuan untuk memberikan pengetahuan kepada para guru yang mungkin belum begitu memahami disleksia pada para siswa. “Saya ingin adik-adik bisa mendapatkan pendidikan dengan cara yang sesuai porsi mereka”, ujar Desta selaku pemateri sekaligus pemilik program.
Meskipun dilaksanakan di tengah kesibukan para guru yang memang sedang sibuk dengan persiapan akreditasi sekolah, program tersebut berjalan baik. Para guru tidak hanya disuguhkan materi-materi teoretis tetapi juga diajak menyaksikan sebuah film tentang disleksia berjudul “Every Child is Special”. Film tersebut dipilih karena isinya memiliki kesamaan dengan materi yang telah disiapkan sebagai bahan presentasi dalam sosialisasi. Sehingga, pemateri yang merupakan mahasiswa jurusan sastra Indonesia tersebut merasa terbantu.
Masih di hari yang sama, program sosialisasi cuci tangan dan budaya makan ikan juga berhasil dilaksanakan. Selain mempraktikkan langsung cara mencuci tangan yang baik, para siswa kelas 1 juga diajak menyanyikan jingle cuci tangan yang liriknya diciptakan sendiri oleh Ochi selaku pemilik program. Sementara program sosialisasi budaya makan ikan dilangsungkan selama 2 hari oleh Gunawan dengan membagikan dua buah kapsul berisi minyak ikan dan stiker kepada para siswa kelas 5.



Sabtu, 21 Juli 2012

POSYANDU LANSIA AL MA’RUF


Slagi, 18 Juli 2012 - Warga desa Slagi sangat memperhatikan kesehatan, terutama bagi para warga lansia. Mengingat lokasi desa Slagi yang cukup jauh dari kota serta masih kurangnya praktek dokter di desa, setiap satu bulan sekali warga Slagi mengadakan posyandu khusus bagi warga lansia. Berada di salah satu rumah warga, posyandu lansia Al Ma’ruf dijalankan demi meningkatkan kesadaran warga akan pentingnya kesehatan. Dibantu oleh seorang bidan, para lansia bisa melakukan cek kesehatan mulai dari mengukur berat badan, tekanan darah, serta gula darah. Selain itu lansia-lansia tersebut juga bisa berkonsultasi mengenai permasalahan kesehatannya dan lebih mudah mendapatkan obat-obatan yang mereka butuhkan. Dengan adanya posyandu ini para lansia diajak untuk selalu peduli dengan kesehatannya. Ditambah dengan pemberian makanan tambahan, para lansia dapat lebih terpantau asupan gizinya.

Safari Jumat Bupati Jepara ke TPQ An Nida I


Jumat, 20 Juli 2012. Bupati Jepara Bapak Ahmad Marzuki, S.E. melakukan safari jumat di desa Slagi Kecamatan Pakisaji, Jepara. Acara ini dilakukan oleh Bapak bupati setiap minggu ke desa-desa yang ada di kabupaten Jepara. Kunjungan bapak bupati kali ini bertepatan sehari sebelum bulan ramadhan. Kali ini bapak bupati berkunjung ke salah satu TPQ di Slagi yaitu TPQ An-Nida` 1 untuk memberikan donasi untuk TPQ ini sekaligus menjalin silaturahmi dengan masyarakat setempat. Dalam pidatonya bapak bupati mengajak orang tua dan para ustadzah untuk senantiasa memotivasi anak-anak untuk selalu bersemangat dalam membaca dan mempelajari Al-Qur`an karena pendidikan Al-Qur`an sangat penting dimulai sejak dini. Beruntungnya kunjungan kali ini bertepatan dengan kegiatan Tim II KKN-PPM UNDIP Semarang, sehingga Tim KKN ini bisa bertegur sapa dan berfoto bersama dengan beliau. Selanjutnya beliau menjalankan sholat Jumat di Masjid Al Jami` Nggranggan, Slagi yang merupakan masjid pertama yang didirikan di desa Slagi bersama dengan masyarakat.

Rabu, 20 Juni 2012

menghidupi masa lalu


Ada sesak yang perlahan nyaris menghentikan aliran udara di sekitar kita. Di ruangan yang hanya sebesar kotak telpon umum itu kita saling lupa pada setiap hal yang seharusnya diingat saat itu juga. Kita tak pernah tahu kapan hujan turun dan urung berhenti. Kapan kita tiba-tiba sudah berada di ruang sempit ini, hanya berdua. Yang kita tahu hanya, kita akan segera mati. Kita akan secepatnya meninggalkan semua yang ada di luar kotak ini.
Dingin. Saat diam-diam ada yang menyentuh telapak tangan kiriku, seketika perasaan itu menjalar di sekujur tubuh hingga ulu hati. Hati siapa? Kita ini sudah mati. Sudah mati dari masa depan masing-masing. Setiap hari kita hanyalah arwah yang berputar-putar di pelataran hari ini dan hari-hari kemarin sampai masa lalu. Mungkin itu yang mempertemukan kita. Dengan hujan yang menjadi kereta, kita bertemu untuk saling menyampaikan pesan-pesan pilu.
“Aku menyesal”, katamu sambil terus memegang tangan kiriku, tanpa melihat wajahku.
Aku hanya diam.
“Aku menyesal bertemu kamu”, katamu lagi.
“Aku menyesal harus merasakan dingin yang sebasah ini di sampingmu”, kau terus bicara.
“Bolehkah aku hidup kembali? Hidup di masa depan?” tanganmu kian erat. Ada rasa takut kehilangan yang sepertinya menjalar lewat nadi tangan kiriku ini.
Sejurus kemudian kau mulai kesulitan. Kau kesulitan menangkap udara yang terlalu tipis di kotak sempit ini. Dadamu tampak naik turun tanpa jeda. Perlahan, kulepas genggaman tanganmu. Aku tahu, meski kehabisan udara sekalipun, kau tak akan pernah mati dari masa lalu. Kau akan terus hidup hingga kehidupan di sana berakhir dan kau berhasil menghidupi masa depanmu lagi.

Rabu, 06 Juni 2012

mengantar jenazah

bunga dan merah tanah
menyatu atas debu
doa rabu
mengurapi udara

kusandang duka
diam-diam
ada yang pergi dalam
diam
ada yang lebih basah dari air mata

--acep zamzam noor--

di sebuah rabu, saya temukan sajak ini di halaman pertama buku kumpulan sajak acep zamzam noor yang saya pinjam sebentar dari seorang teman. entah kenapa, saya langsung ingin menjadikan sajak ini sebagai salah satu sajak paling duka --yang lebih perih dari luka--
saya hapal tiap larik sajak ini, hari ini juga.
untuk membuktikannya, biar saya ulang kembali menuliskannya tanpa mencontek.

mengantar jenazah
bunga dan merah tanah/ menyatu atas debu/ doa rabu/ mengurapi udara
kusandang duka/ diam-diam/ ada yang pergi dalam/ diam/ ada yang lebih basah dari air mata//
--acep zamzam noor--

rabu, 6/6/2012

kepada entah


aku benci ketika dalam pusaran hidup ini akhirnya tiba di suatu titik yang entah di mana, yang jelas ketika sampai di sana aku langsung merindukan seseorang yang entah siapa, atau sesuatu yang entah apa. aku benci pada remang yang entah bagaimana, pedih yang entah mengapa, jauh yang entah seberapa, dan segalanya yang tak berbetuk apa-apa.

aku tak pernah gagal untuk gagal mengingat dan merasakan apa yang disebut dengan ketaktahuan pada apapun yang tiba-tiba datang menyampaikan sebuah paket dari entah siapa, kotak air mata yang entah seberapa. aku gagal membuangnya kemudian nyaris mati berdiskusi dengan entah apa dan siapa di sudut ruangan.

aku memang bukan siapa-siapa. mungkin tak (lagi) memiliki apa-apa yang bisa diapa-apakan. aku hanyalah apa (?) apa yang terus menjadi tanda tanya dan terus bertanya-tanya tentang siapa dan apa.

Selasa, 22 Mei 2012

Memaknai Kemudian Mendefinisi-i

Ada yang coba saya ingat-ingat saat berpikir 'kenapa sih kelas penulisan kreatif dengan Triyanto Triwikromo selalu menyenangkan?' Ternyata, saat sekitar semester 3 yang lalu (sekarang saya semester 6) saya sudah membayangkan betapa akan menyenangkannya mengikuti perkuliahan dengan dosen pengampu seorang sastrawan sekaligus redaktur surat kabar terkemuka di Semarang (Suara Merdeka).

Ekspektasi saya tidak salah. selama hampir satu semester mengikuti kelas tiap minggunya, selalu ada hal-hal baru dan menyenangkan yang saya dapatkan. Meskipun materi yang disampaikan sangat sederhana, tetapi Pak Triyanto memiliki teknik pengajaran yang menurut saya selalu berusaha agar para mahasiswanya berpikir keras, mengeksplore imajinasi dan benar-benar berpikir secara kreatif. Banyak hal-hal tak terduga yang kerap muncul di setiap perkuliahan kami, misalnya hari ini.

Selasa pekan ini (22/5/2012) materi kami adalah tentang puisi. Saya memang datang terlambat sekitar 10 menit, tetapi masih sangat bisa mengikuti perkuliahan secara penuh. Salah satu hal yang menurut saya menjadi poin plus dalam kelas Pak Triyanto adalah 'santai' dan longgar. Mahasiswa yang terlambat tidak akan dikomentari, ia akan terus melanjutkan tuturannya saat mahasiswa yang terlambat tiba-tiba masuk kelas. selain itu beliau juga tidak pernah 'menyalahkan' setiap pendapat.

Materi kami pekan ini tentang puisi. Pak Triyanto meminta kami mendefinisikan puisi dengan cara kami masing-masing. Namun, sayaratnya definisi tersebut tidak boleh merujuk pada makna harfiah, misalnya puisi adalah untaian kata yang disusun berdasarkan rima, asonansi, aliterasi, dst...

Dan inilah hasil pendefinisian kami. Kebetulan saya mendapat giliran pertama. Menurut saya, definisi puisi (sajak) adalah malam yang kesepian, hujan yang kedinginan dan gelap yang teramat sungsang. Sesekali senyum dalam ketiadaan tapi selalu hidup dalam kematian.

Kemudian mahasiswa lain mendefinisikan puisi (sajak) adalah:
  • dewi nafisa prabawati: sajak adalah teknologi. Pak Triyanto mencoba memaknai definisi ini dengan menggambarkan bahwa sajak adalah kesatuan mesin yang di dalamnya ada skrup dll.
  • achmad dwi afriyadi: sajak adalah perselingkuhan. Ini dimaknai bahwa sajak lahir karena adanya perasaan was-was, karena pelaku perselingkuhan biasanya kerap dihinggapi perasaan was-was dan semacamnya.
  • imam muchdi: sajak adalah aturan. Meskipun Pak Triyanto memaknai definisi ini mengacu pada aturan seperti jumlah larik, rima akhir, asonansi, aliterasi dsb, menurut saya kata 'aturan' yang dicetuskan imam lebih mengacu pada suatu aturan yang lahir dari masing-masing penyair terhadap sajaknya. Jadi, ketika ia menulis sajak dengan berbagai diksi, tipografi, metafora dan kombinasi lainnya, itu semua mengacu pada aturan si penyair yang menuliskan sajaknya. Terlepas dari pemaknaan yang dilakukan orang lain, yang penting puisi tersebut dibangun oleh aturan-aturan (ego) penulisnya
  • galih wisnu pribadi: sajak adalah media curahan hati
  • sri debby marpaung: sajak adalah jeroan, gado-gado dan air beriak. Menurut Pak Triyanto definisi ini memandang sajak sebagai sesuatu yang tidak beraturan. Ada lompatan-lompatan yang terjadi di dalamnya.
  • moch. taher agus prasetyo: sajak adalah orang kulit hitam (negro) di pulau Albino.
  • zen marten nurullah: sajak adalah futsal. Berapa orang yang mati karena futsal? tanya Pak Triyanto menanggapi definisi ini. Akhirnya ia menyimpulkan bahwa definisi ini mengarah pada suatu anggapan bahwa puisi adalah kematian.
  • diana novita sari: sajak adalah ruangan dan warna
  • tri sena surya anggara: sajak adalah lamunan kamar mandi yang membantu proses keluarnya tai. Definisi ini mengarah pada bahwa sajak adalah kesia-siaan. Tapi menurut saya, definisi ini mengarah pada suatu pemaknaan bahwa sajak adalah kebutuhan yang tidak bisa diabaikan.
  • anggun prestiani: sajak adalah nada-nada jiwa. Pak Triyanto coba menganalogikan bahwa melaui definisi ini ia membayangkan di dalam jiwa manusia ada semacam piano yang membunyikan nada-nada.
  • riko yulianto: sajak adalah 4 ekor hewan berbeda yang berduel
Setelah pendefinisan sajak tersebut, sesi diskusi pun berlangsung meskipun singkat. Satu pertanyaan yang saya lontarkan adalah bagaimana bapak menanggapi pembedahan puisi yang sepertinya adalah suatu keisa-siaan karena sebagaimanapun puisi dimaknai oleh sekian orang maka sekian makna akan diperoleh? Menanggapi ini dengan uraian yang cukup lebar, tetapi pada akhirnya Pak Triyanto menyampaikan bahwa dalam kesia-siaan pun ada penemuan yang didapatkan yang mengarah pada suatu eksistensialisme.

Selanjutnya, potongan sebuah puisi yang disampaikan Debby cukup membuat kami berpikir mengenai maknanya, sebab menurut Debby, ia mendapat beberapa hujatan dari bebebrapa pihak yang menilai puisinya sudah melewati batas kewajaran. Berikut ini potongan sajaknya:

dan tuhan tak urung tersenyum
melihat kami nyaris berkelamin

Untuk mencoba menyimpulkan beberapa pemaknaan yang kami buat, Pak Triyanto menutup kuliah hari ini dengan sebuah idiom yahudi yang berbunyi: "saat manusia berpikir, Tuhan tertawa"

Jumat, 18 Mei 2012

Rumah



Malam hampir menua
Wajahnya yang penuh kerutan kian pucat menelan angin yang mampir ke jendela
Di sebuah lubang, di balik sebatang kerinduan yang sungsang di halaman belakang
Di getirnya kesepian di ketiadaan
Aku tinggal jendela
Setiap malam kutelan diam-diam pesanmu yang sesenggukan menahan angin
Setiap diam kutikam jarak yang menjauhkanmu dari kenyataan
Semu. Semua yang kau kirimkan adalah kepura-puraan yang memaksa
Pakaianmu, makananmu, pekerjaanmu, pikiranmu...
Semu. Omong kosong
Tinggal aku jendela
Di pintu, pernah pesanmu meringkuk sendiri dilayati angin yang kedinginan
angin yang kepayahan
Pesanmu tak bisa sampai lewat pintu depan. Pintu yang sudah mati kehilangan kunci
Lalu kupungut. Kupungut lalu kumasukkan lewat jendela. Aku jendela
Tapi pesanmu tak bisa terbaca
Jendela tinggal aku
Tinggal aku yang sesekali sempoyongan menahan angin.
Aku tinggal. Tanpa pintu tanpa ruang tengah
Di jendela, pesanmu tak pernah sampai. Tak ada suara di ruang tengah
Pesanmu seharusnya sudah sampai di sana, dan kau baca:
Tak ada lagi rumah. Tak usah pulang.

Semarang, 18 Mei 2012

Kamis, 19 April 2012

kepada kartini. kartini yang telah mati...

sumber gambar: tumblr.com

Kepada Kartini. Kartini yang telah mati...
Kartini. Itu namamu kan? Aku tak ingat kapan pertama kalinya mengenal namamu. Ya, sekadar mengenal namamu. Mungkin saat aku masih duduk di SD. Aku lupa. Dan aku sangat tak peduli. Kau tahu tidak apa yang kupedulikan? Ah, aku yakin kau sama sekali tak tahu. Yang kau tahu pasti hanya mengenai para perempuan yang ada di barisanmu, yang berdiri sambil memegang bendera bertulis EMANSIPASI WANITA. Kau tak tahu apa-apa tentang aku, tentang kami, apalagi tentang bangsa ini, sekarang!

Apa yang kau pikirkan saat berkoar memperjuangkan emansipasi? Kau sedang memperjuangkan dirimu sendiri, bukan? Ah, terserahlah. Yang jelas, padamu ingin kukatakan bahwa emansipasi yang kau gadang-gadangkan di masa lalu telah menjadikan kaummu lupa diri.

Kenapa kau merasa begitu hebat hingga harus kami peringati? Ah, oke. Mungkin maksudku, kenapa kami, tepatnya kaummu--aku tidak--menganggap kau begitu berjasa? Apa jasamu? Coba saja kau tanyai mereka satu persatu, semoga bisa kau dapati mereka mengerti apa makna perjuanganmu. Mereka hanya melakukan selebrasi, tanpa makna tanpa apa-apa. Ya. Seperti selebrasi-selebrasi lainnya di negeri  ini. Sia-sia. Tak ada kesadaran yang timbul dari kedalaman hati. Sebatas mengenakan kebaya, apa maknanya? Kau menyukainya? Hei, jawab!

Maaf. Aku tak tahu harus mengeluh kepada siapa lagi di sini. Sejarah yang menceritakan perihal hidupmu di masa lalu, bukanlah alternatif untukku percaya. Sejarah di sini adalah manipulasi. Pemilik sejarah adalah penguasa di masa itu. Jadi, jika hari ini aku menjadi penguasa, aku berhak atas sejarah, aku berhak menuliskannya semauku.

Aku menyesalkan keberadaanmu di masa lalu. Jika memang kau pernah ada!
Aku, perempuan yang tak mampu mengenalimu itu.
Semarang, beberapa hari menjelang hari peringatanmu.

Minggu, 25 Maret 2012

Musim

“Lalu apakah disebut kesalahan jika aku ingin tinggal di suatu tempat yang memiliki 4 musim, bersamamu?”
Tak ada jawaban yang meluncur dari bibirku, hanya kelu. Kulihat seketika hening menghampiri matamu yang biasanya teduh. Ini bukan pertama kalinya kau membuatku larut dalam kebingungan yang tak bisa kulerai.

Kemarau. Kita baru saja sampai di pintu depannya. Dari jendela kita sama-sama mencoba menuliskan apa-apa yang tak sempat kita wujudkan selama musim hujan kemarin.

“Kenapa tempat kita tinggal sekarang ini, hanya punya 2 musim ya...”
Itu pertanyaan pertamamu saat kita tiba 3 jam yang lalu, saat pelayan membawakan menu yang semuanya hanya kopi dan teh. Beberapa saat kemudian kau sedikit kecewa karena tak menemukan ice cream dalam daftar menu, dan akhirnya memesan ice tea.

Di kemarau semacam ini, harus kuakui bahwa pilihanmu memang jauh lebih tepat dibanding pilihanku. Secangkir vanila coffe yang kupesan bahkan kini merenung tanpa asap yang awalnya mengepul. Kau sempat protes kenapa aku tak memilih seperti yang kau pesan. Tapi kau akhirnya diam juga saat kukatakan bahwa aku tak peduli pada musim yang sedang berlangsung, yang kutahu, aku lelah merasakan kepayahan sepanjang musim hujan kemarin. Aku ingin sejenak lelap dalam ketaktahuan dan kemasabodohan. Tapi aku sadar bahwa itu adalah wujud dari keegoisan. Maka aku harus bertahan dari rasa kantuk yang tak henti menyerang, bahkan hingga detik ini.

Hampir setahun lalu, aku ingat bagaimana pertama kalinya kutemukanmu sedang khusyuk memainkan hujan sendirian. Tak ada duka atau luka memang, itulah mengapa aku memberanikan diri untuk duduk dan memerhatikanmu dari dekat. Kau memang tak lantas menyambutku. Aku harus rutin mengunjungimu yang tengah bermain hujan, tanpa ada sepatahpun ucapan, atau skeedar sambutan untuk orang yang belum kau kenal.

Kini hujan telah selesai, di musim pancaroba aku, sepertinya, berhasil meyakinkanmu bahwa keberadaanku didekatmu bukanlah kesia-siaan. Hingga menjelang musim kemarau, aku benar-benar kau izinkan untuk berada didekatmu, dengan obrolan-obrolan ringan, terkadang penuh makna juga romantika sederhana.
Namun, ada yang sampai saat ini tetap tak mampu kumengerti.

“Musim hujan telah selesai, apakah kau akan mencintai kemarau seperti mencintai hujan?”
Jujur saja, itulah akumulasi dari kerisauan yang selama ini kutahankan. Jika diminta menggambarkan bagaimana kecintaanmu terhadap hujan, maka jawabanku singkat saja. Hujan adalah cairan yang selalu lekat di dua bola matamu. Hujan memang bukanlah simbol kepedihan, setidaknya dalam hidupmu. Kau memerlakukan hujan dengan begitu indah, dengan penuh keceriaan dan kebersyukuran. Yang kutahu, itu adalah sebuah anomali.

Sendiri, aku terus berpikir. Jika itu perlakuan yang diterima hujan, lalu bagaimana nasib kemarau? Entahlah. Terkadang aku beku dan tersesat dalam pikiranku sendiri. Aku terlalu takut kau memerlakukan kemarau justru speerti orang-orang memerlakukan hujan.

“Entahlah.” Jawabmu singkat, dan meragukan.

Setelah itu kau mulai bercerita seandainya suatu saat 2 musim yang selama ini ada, berbiak menjadi 4 seperti di tempat lain. Kau bilang, mungkin akan bahagia menikmati salju atau daun-daun gugur dari pepohonan di halaman rumahmu yang begitu luas.

Hingga saat ini, aku masih kesulitan untuk memahami jalan pikiranmu. Di jendela, kulihat satu dari sekian harapan yang kau tuliskan, dan aku tak tahu harus bersikap seperti apa.


Aku ingin merasakan musim di mana kau tak lahir pada musim itu. Aku hanya ingin, kita, hidup di musim lain yang sama sekali tak kita kenal. Agar tak ada yang bisa teringat pada kehidupan pada musim sebelumnya, seperti yang kualami sepanjang musim kemarin, hingga saat ini.
Semarang, 25 Maret 2012  

Senin, 12 Maret 2012

Di Kotak Mimpi



Kemarin malam aku menemukan sekotak mimpi
Di dalamnya kutemukan sketsa-sketsa wajahmu yang memang kukenal
Dari gurat senyum hingga letih yang menyemakin
Tapi, kenapa kita tak saling kenal?
Seolah kau lupa siapa aku dan akupun kesulitan menerjemahkan kelakuanmu
Masih di kotak yang sama, malam yang telah berubah siang
Aku kian kehilangan
Kau pergi tak hanya sebatas raga
Ayah, lekas keluar dari sana
Ada rindu yang rasanya ingin kuretakkan hingga pecah tak berbilang
Ini hanya mimpi, dan aku percaya

Semarang, 12 Maret 2012

Minggu, 11 Maret 2012

Perpisahan




Mulai hari ini kita akan menanam rindu di halaman waktu tak berbatas
Dengan hujan yang tersendat-sendat kita siap menanti tunas pertama
Entah kapan
Sambil menunggu, kau mengambil kanvas dan aku mulai menggambar sketsa
Tapi mengapa titik-titik gerimis justru menghapusnya?
Dalam jarak, kita saling mencipta ketiadaan

Semarang, 11 Maret 2012, 23.54

Hujan dan jarak




Ingatkah kita pernah menuang hujan bersama
Malam itu bahkan dingin seolah selimut yang mendekap kita
Meneguk satu, lalu dua, dan seterusnya
Di gelasmu ada rindu yang tak bisa tumpah
Di bibirku jarak menjadi gelegar yang bisu
Lalu kita mengeja meja
Hujan kini menggerimis
Kita masih dengan gelas masing-masing
Tak bisa berbagi.

11 Maret 2012

Sabtu, 03 Maret 2012

"mengalir" oleh privat harmony

kusentuh kamu dengan hatiku
mengalir deras cinta untukmu
rasakanlah begitu hebat, memujamu, aku
mengalirlah mencintai aku
jangan berhenti hei
seperti diriku mencintaimu
selama kita bisa menjaga cinta ini
mengalir bersamaku

lantunkan semua kata cintamu
yang tersusun rapi dalam hatimu
kurasakan begitu hebat
memujaku, kamu

Minggu, 12 Februari 2012

hujan pertama

banyak yang mengatakan bahwa wajahku selalu seperti hujan yang baru reda, ada sisa-sisa gerimis yang seolah tak mau pergi. mencintai jendela dan kesunyian. apakah aku makluk asing yang berbeda, yang tak berhak diperlakukan sama? aku sudah bosan menanyakn ini pada tuhan. tiap kali bertanya, aku hanya diberi jawaban dengan guyuran hujan yang menyisakan gerimis. mungkin tuhan tak suka aku bertanya seperti itu. dan akhirnya sejak itu aku hanya berkawan dengan jendela yang selalu lembab karena hujan dan gerimis.

setiap hari ibuku akan masuk ke kamar, sekedar memeriksa keadaanku, apakah sedang tidur atau melakukan hal lainnya. hal yang tak lupa dilakukannya adalah menyediakan makan untukku. sesekali jika dikiranya aku sedang mood bicara, ia akan menanyakan hal yang sama setahun belakangan ini
kapan kamu mau balik ke kampus lagi? hari ini si anu nelpon ibu, si anu dateng bawain kamu ini, si anu, dan seterusnya dan seterusnya. seringnya pertanyaan itu tak pernah kujawab, atau sekedar aku sedikit bergerak menggeser kursi di depan jendela.

***

tok tok tok
pintu kamarku diketuk,
"rara, adit datang nak. kamu mau nemuin ga?"
"iya bu, sebentar aku ke sana"

hari ini cerah. adit memang telah sejak seminggu lalu mengajakku untuk keluar menghabiskan hari minggu bersama. dan hari ini rasanya begitu bersahabat karena tak ada hujan yang turun bahkan sekedar gerimis.
kucek sekali lagi wajahku di cermin, sudah pas. kusambar tas kecil hasil buruan di yogya . sebelum keluar kamar kuhampiri jendela, dari sana matahari begitu ceria. yes!

"untung ya hari ini ga hujan", adit membuka obrolan di jalan.
jilbab abu-abu yang kukenakan bergoyang-goyang terbawa angin.
"iya dit, kita beruntung", dengan suara yang kukerasan karena tertahan helm.
hari ini kami akan pergi ke pantai, sesuai permintaanku yang memang telah merindukan suasananya.
adit sengaja tak membawa honda jazz kakaknya, ia hanya membawa honda beat miliknya agar kami lebih bisa menikmati angin jalanan.

hanya sekitar 15 menit kami sudah sampai di tempat tujuan. setelah kubayar tiket masuk, adit memarkirkan motornya. berhasil merasakan udara pantai membuatku sejenak menghela napas dengan kebersyukuran yang sungguh. kupejamkan mata sambil terus berjalan perlahan. adit memperhatikanku dengan seksama, tatpannya begitu lembut.
"kenapa?"
"kamu bahagia banget keliatannya?" adit mengucapkan tersenyum
aku hanya balas senyum.

kami masih hanya berjalan-jalan di pinggir pantai, belum ada spot  yang kami temukan untuk duduk di atas pasir. kurogoh saku jaketku karena mulai merasakan kencangya angin. sementara adit terus mencari-cari tempat yang nyaman untuk kami singgah. jarinya menunjuk ke suatu titik. sesampainya di sana, suasanya begitu klik. aku berlari kecil menuju joglo kecil di atas pasir. adit tersenyum dan tetap berjalan santai.
"ayo buruan", kataku saat telah sampai dan duduk di joglo. ia mengangguk lembut.

dari joglo kini kami berdua memandangi hamparan laut yang begitu luas. pantulan biru langit menjadikannya semakin cantik dipandagi dari bibir pntai. lapis-lapis warna air memunculkan satu pertanyaan,
"dit, lucu kali ya kalo tiba-tiba hujan deress banget"
adit menoleh ke arahku sebentar, lalu menatap langit.
"kalo mendadak ujan deres, kamu pingin ngapain?" tanya adit yakin
"semoga kita sempet lari ke parkiran untuk pulang, dan hujan-hujanan di jalan"
HA HA HA
tawa kami menyatu dengan debur ombak yang menabrak karang. perlahan kupeluk dua lututku sambil berpikir lagi,
"kalo kamu, pingin apa dit?"
desau angin menyusup di antara duduk kami. adit masih diam memikirkan jawaban, ah tepatnya memikirkan apakah akan mengatatakan sesuatu yang sepertinya telah lama ia persiapkan.
"aku malah gak pingin..."
"kenapa?" kutabrak kalimatnya
"aku gak pingin hujannya reda. supaya kita bisa lama-lama di sini"

mendengar jawaban adit seperti ada yang membuatku tersedak dan ingin tertawa, namun tatapan adit yang menahanku untuk menghindari tatapannya justru membuatku hanya diam. aku salah tingkah.
tiba-tiba hujan turun begitu deras. kami saling pandang, kemudian tertawa.
"katanya mau ke parkiran?" ledeknya
aku hanya tersenyum. aku benar-benar salah tingkah.
siang itu kami hanya duduk terpaku tanpa satu katapun yang terlontar. kami menunggu hujan reda tanpa melakukan apapun.

***

gerimis sudah tiba sejak subuh. malam tadi petir menyambar di tengah derasnya hujan. aku diam di balik selimut. dalam gelap membayangkan bagaimana dua orang yang sedang menyusuri jalanan di tengah hujan. mereka baru pulang dari pantai. entah apa yang terjadi ketika itu pria yang mengendarai honda beat terpelanting dan melepaskan setir. wanita yang melihat sendiri kejadian itu tak bisa melakukan apapun. ia hanya terbawa sisa tarikan gas. ia tak tahu lagi apa yang harus dilakukan. matanya terus menoleh ke belakang melihat pria yang tumbang ke tepi jalanan aspal, sementara ia jatuh ke semak.

"ra, dari siang kamu belum makan. ayo buka pintunya"

*** selesai***

Kamis, 09 Februari 2012

marah vs tawa

mengulas secara keseluruhan malam yang saya lalui sampai pukul 0:00 membuat saya menyadari satu hal. bahwa segala sesuatu yang dilakukan secara berlebihan memang selain mubazir, juga akan menghilangkan esensinya. banyak hal bisa dijadikan contoh. tapi, saya akan ambil satu sampe; yang baru saya dapatkan maalm ini.

sepanjang saya berkicau di twitter pada malam 8 februari 2012 saya membaca banyak sekali kicauan dari teman-teman saya. satu dari sekian yang ada kelihatannya sedang 'emosi berat'. melihat orang emosi di twitter meman perkara lumrah buat saya, wajar, biasa saja. sebab terkadang meluapkan kemarahan adalah kebutuhan yang tidak baik jika ditahan. tapi ada yang tidak biasa dengan teman saya itu. saya pernah melihat dia marah dengan tweet-nya, tetapi biasanya hanya satu-dua tweet dan ia akan menghilang. sedangkan malam ini ia terus meluapkan kemarahannya sampai saya merasa ia benar-benar sedang marah. saya coba mementionnya, dia reply  dengan nada yang tenang, dan memang, setelah itu dia membuat tweet yang lebih tenang bahkan meminta maaf kepada para tweps. saya tidak tahu ketika itu memang emosinya sudah mereda atau karena hal lain.

kembali pada bahasan awal mengenai sikap berlebih-lebihan, kemarahan yang dilakukan secara berlebihan oleh teman saya itu tidak lagi membuat saya ikut emosi justru saya 'tertawa'. saya tertawa karena, manusia saat marah ternyata begitu lugu bahkan sangat polos dalam meontarkan kata-kata yang mungkin selama ini ditutup-tutupi.

saya termasuk orang yang akhir-akhir ini ketika marah (sudah memuncak) akan meluapkannya dengan gelegar. membentak, membanting, dan akhirnya menangis. saya akan memarahi siapaun yang saya pikir akan bisa memahami bahwa "saya sedang marah". malam ini saya sadar. pantas saja ada orang yang ketika saya menjadikannya pelampiasan kemarahan saya, ia justru sabar dan meladeni saya sampai akhirnya saya mereda, mungkin ketika itu ia sambil tertawa-tawa melihat kemarahan saya HA HA HA

Rabu, 08 Februari 2012

dua penunggu di kereta


ada yang tertinggal di kereta kita menyusuri ingatan
kau, dengan diam yang kian terbata-bata seolah ingin katakan
bahwa perjalanan tak lebih dari penungguan yang bernyawa
diam-diam kita menyusun cerita di jendela yang basah oleh sisa hujan kemarin sore
"tak perlu berhenti menunggu, teruslah berjalan dengan rindu-rindu yang selalu tunas pasca jarak yang menua"
kulihat bibirmu terbakar oleh kemarau yang tiba-tiba menyusup lewat jendela


kita akan terus menunggu
hingga waktu benar-benar mati
hingga apa yang menghidupi kita habis oleh kemarau yang tak pernah sampai ke matamu itu

sebab di perjalanan ini, kita adalah 2 penunggu yang tersesat di gerbong yang sama
saling menulis cerita di jendela
aku dengan rindu retak di saku
kau dengan kemarau yang terbawa-bawa

hujan kembali tiba di luar jendela
membawa kita pada kemarin yang begitu rapuh
kita hanya bertemu dalam penungguan tak bertuju
di kereta kita saling menunggu masa lalu kita sendiri-sendiri

lampung selatan, 8 februari 2012

Kamis, 02 Februari 2012

Waktu, Ketika yang Kutunggu Hanyalah Saat yang Tepat untuk Mengatakannya.

00.01
             Malam baru saja mendekaplelapkan senja dalam peraduannya. Biasanya akan ditandai dengan warna-warni lampu jalan, berjejer pedagang kaki lima di sepanjang teras pertokoan, kafe mulai menyediakan layanan, pedagang jagung bakar dengan tikar yang sengaja digelar meremang, dan… seseorang.
            Ini adalah kisah yang kutuliskan untuk mengenang perjuangan seseorang, teman. Temanku tepatnya. Malam ini, selepas tadarus singkat ia memutuskan untuk segera naik ke perahu malam, dipan ukuran nomor 3 milik ibu kosnya. Ini bukanlah hal yang biasa. Malam-malam sebelumnya, setelah berniat akan menunaikan isya pada waktu lail, ia memilih sibuk dengan laptopnya. Entah menulis, menonton film , mengerjakan tugas, merapikan folder atau hanya sekedar mendengarkan lagu yang baru di donlod.
Malam ini, ketika senja sudah tak lagi bisa dinikmati pesonanya, seorang gadis, temanku, rebah di peraduannya
***
“Ada yang mau aku bicarain sama kamu, ada waktu?”
“Ada. Kapan?”
“Nanti, kelar kuliah”
Kuliah berakhir. Mereka berdua bergegas keluar untuk mendapatkan bis terakhir. Sejak menunggu bis yang memakan waktu sekitar 15 menit hingga berhasil naik, tak ada obrolan, mereka hanya diam. Ah, sungguh malang. Adalah suatu keberuntungan jika di bis terakhir bisa mendapatkan tempat duduk yang nyaman, atau bahkan sekedar berdiri dengan kondisi lapang.
Mereka masih dalam diam. Diam-diam langit pucat, mungkin menahan kesal pada mereka. Apa salahnya sih membuka obrolan? Ketika gerimis mulai berjatuhan, sebuah pesan masuk ke gsm temanku,
Hujan, mungkin lain kali aja kita omonginnya
Setelah membaca, sejenak ditengoknya sisi luar jendela. Cuma gerimis kok, pikirnya.
Belum hujan Bay, palingan pas nnt smp dpn gang gerimisny brnti. Gpp, lanjutin aja, nnt ak trun di dpn gang kos km, udah lama gak lewat sana J
Jgn Nda. Uda gausah, kpnkpn aja, masih ada wktu laen kok. Bayu segera membalas. Tapi bukan Winda jika tak sedikit keras kepala.
Ydh, tp ak ttp mau trun dpn gang kos km. titik.
Bis akhirnya berhenti. Winda yang ketika naik tadi melalui pintu belakang, turun melalui pintu yang sama, begitu pun Bayu, melalui pintu depan. Winda selalu ingin mencairkan suasana ketika keadaan sedang menyudutkan dirinya dan Bayu. Sepotong senyum jatuh ke mata laki-laki berambut keriting itu, raut di wajahnya sangat kusut.
“Kamu mau ngomongin apa, Bay?”
Sejenak Bayu diam. Ketika itu gerimis kelihatan semakin serius, membuat mereka berdua harus mempercepat langkah.
“Intinya, aku cuma mau tanya. Menurut kamu, yang seperti ini masih perlu atau enggak!” kalimat itu terdengar datar, pelan, tapi lebih tidak seperti pertanyaan, melainkan seruan atas suatu kekesalan. Mendengar itu Winda tersenyum lagi. Mereka masih terus berjalan dengan kecepatan yang kian meningkat, seperti degup jantung Bayu yang harap-harap cemas menantikan jawaban Winda.
Sampai akhirnya ketika mereka berdua sampai pada tikungan, Winda berhenti diikuti Bayu. “Aku butuh ruang lisan untuk menjelaskan ini, Bay” Winda bisa melihat wajah Bayu yang kian suram.
Dengan perasaan kecewa yang tak mampu disembunyikan, Bayu menyetujuinya. Sungguh, sekedar sepotong senyum pun tak mereka hadirkan untuk menyudahi obrolan itu. Gerimis telah berganti hujan. Mereka berdua memiliki harapan yang sama, semoga hujan tetap jatuh dari langit, tidak dari mata.
***
Malam semakin menua, guratannya kian pekat di langit-langit kamar. Tinggal sunyi mengusik sepi ‘tuk terjaga dalam ruang hampa, hati.
Baik Winda maupun Bayu, keduanya sama-sama terjebak pada malam yang terlanjur datang bertamu. Mereka sama-sama tak mampu memejamkan mata, terlebih setelah kejadian sore tadi.
Biasanya Bayu akan mengirimkan sepotong pesan singkat pengantar tidur,

Langit-langit kamarku melukis wajahmu
kini sampai pada lekuk indah di kedua sudut bibirmu
O, malam
Bergegaslah menjemput pagi

Namun, malam ini Winda hanya mungkin sebatas membaca ulang di kotak masuk.
*** 
(bersambung)

Rabu, 25 Januari 2012

kampung primitif (kah) ini?

*sepertinya perang dan parang memang satu kesatuan, ya.

1:00 am
saya masih belum lelap, mungkin jam ngantuk saya sudah lewat (begitulah biasanya, kebiasaan saat di kos). tapi saya masih terjaga sekarang bukan tanpa alasan. saya terjaga karena sejak tadi ada yang bergemuruh dalam dada, tak tenang memikirkan petaka kecil yang sedang menimpa lingkungan tinggal keluarga saya di kecamatan katibung, lampung selatan ini. saat pukul 21.00 tadi sebuah mobil berkeliling sambil mengingtakan warga agar bersiap siaga karena ada kabar akan ada serangan ke wilayah kami, yang sama sekali tak ada sangkutpautnya.

kerusuhan di sidomulyo hari ini (menurut sumber yang tidak meyakinkan kerusuhan ini sudah berakar sejak lama, seperti juga dimuat dalam kompas.com bahwa ada konflik antarkampung yangmelatarbelakangi kerusuhan kemarin (24/1/2012). bukan masalah kerusuhan lampung selatan yang ingin saya paparkan di sini, melainkan dagelan teman saya beberapa waktu lalu, dan beberapa saat peristiwa ini terjadi.

teman saya, qur'anul hidayat pernah bercanda, saat saya akan pulang kampung ke lampung, ia bilang bahwa asal mula nama lampung adalah "kampung", saya hanya tersenyum kecut menanggapinya. tapi, saat peristiwa ini terjadi kemarin, ia mengulangi guyonannya di grup kami, katanya,
"wah semoga Lampung tak benar benar jadi Kampung.. wkwkwkaaboooor" 
ada pula komentar achmad dwi afriyadi yang mengatakan bahwa tindakan tersebut primitif. ya, saya akui itu memang tindakan primitif.

saya jadi teringat status adik saya yang berusia 17 tahun,

"Kapankh peperangn di negriku ini berahr,setelh mesuji mereda knpa sidomulyo memuncak,peperangan antr penduduk asli(lampung) dg pendatang (bali). dimana rasa persaudaran kalian. betapa sdhny pahlwan kita dlu melhat tngkah laku penerusny seperti ini,
saya benci membicarakan sara, terutama rasis. tapi saya tetap tidak bisa menyangkal bahwa karakter warga pribumi (asli lampung) memang keras. sebagai orang jawa yang lahir dan besar di lampung saya memang sudah paham bagaimana karakter orang sumatra ini. dulu, saat saya SD perang antarkampung masih sangat marak. terutama saat usai pertandingan bola. jika ada yang merasa tidak puas, maka parang yang bicara. ini bukan isapan jempul, ini benar-benar terjadi. untungnya sejak saya SMP tindak primitif tersebut tidak lagi mencuat. kami semua hidup damai sebagai warga pendatang yang sudah nglampungi (istilah njawani).

lalu apa maksud kejadian kemarin? warga yang juga pendatang (bali) membuat keributan dengan warga pribumi (dalam hal ini saya belum tahu kepastiannya mana yang lebih dulu mencari masalah). tapi setidaknya pahamilah bahwa sebagai pendatang (yang mungkin juga telah nglampungi) sebaiknya jagalah kesopanan, ada warga pribumi yang tentunya pantas untuk dihargai dan kita saling menghargai pula. dan yang paling saya muakkan dalam kejadian ini adalah, bahwa pemicu masalah ada para pemuda. orang-orang labil tersebutlah yang membakar arang diperapian.

siang tadi, saat saya dan ayah saya sedang "jalan" tiba-tiba ibu saya menelpon untuk hati-hati karena sedang ada perang di sidomulyo antara orang bali dan orang pribumi, kami diminta berhati-hati karena perang tersebut berlangsung secara kejar-kejaran. ibu saya khawatir saat kami pulang, perang sedang berlangsung di jalan kami pulang. dan nyaris benar. saat kami tiba di desa babatan, jalan lintas sumatra tersebut mengalami kemacetan. saya pikir perang sudah sampai di desa yang bersebelahan langsung dengan desa saya (pardasuka), ternyata bukan.

kemacetan terjadi karena ada pemuda-pemuda labil yang entah apa maksudnya menghentikan paksa truk, fuso dan bis antar propinsi yang menuju ke arah bakauheni (melewati sidomulyo). mereka menghentikan paksa seolah berwenang (bahkan polisi yang ada di lalu lintas hanya seperti orang dungu yang hanya mengatur lalu lintas yang trlanjur macet). para pemuda itu masuk ke dalam bis, entah apa yang ia lakukan (sok pahlawan saya pikir). baagaimana tidak, orang-orang di dalam bis pasti ketakutan mendapati mereka masuk dengan wajah ganas seperti itu.


saya dan ayah saya memilih jalan di tepi, tepatnya di pekarangan rumah warga yang mereka sudah berhamburan keluar. kami memilih melanjutkan perjalanan ke rumah meskipun seorang pemuda berteriak "motor minggir!". saat kami berhasil keluar dari kerumunan, saya melihat seorang laki-laki berdiri dengan parang diselipkan di badan belakangnya.

haaah, melelahkan.
sekarang pukul 1:27. saya sudah merasa lebih tenang, dan insyaallah di luar juga begitu tenang, hening. semoga semua ini sudah berakhir. ohya, ini hanya tindakan segelintir pemuda labil, masih banyak orang-orang waras yang melepaskan diri dari tindakan primitif. dan, ini lampung, bukan kampung!