Laman

Minggu, 25 Maret 2012

Musim

“Lalu apakah disebut kesalahan jika aku ingin tinggal di suatu tempat yang memiliki 4 musim, bersamamu?”
Tak ada jawaban yang meluncur dari bibirku, hanya kelu. Kulihat seketika hening menghampiri matamu yang biasanya teduh. Ini bukan pertama kalinya kau membuatku larut dalam kebingungan yang tak bisa kulerai.

Kemarau. Kita baru saja sampai di pintu depannya. Dari jendela kita sama-sama mencoba menuliskan apa-apa yang tak sempat kita wujudkan selama musim hujan kemarin.

“Kenapa tempat kita tinggal sekarang ini, hanya punya 2 musim ya...”
Itu pertanyaan pertamamu saat kita tiba 3 jam yang lalu, saat pelayan membawakan menu yang semuanya hanya kopi dan teh. Beberapa saat kemudian kau sedikit kecewa karena tak menemukan ice cream dalam daftar menu, dan akhirnya memesan ice tea.

Di kemarau semacam ini, harus kuakui bahwa pilihanmu memang jauh lebih tepat dibanding pilihanku. Secangkir vanila coffe yang kupesan bahkan kini merenung tanpa asap yang awalnya mengepul. Kau sempat protes kenapa aku tak memilih seperti yang kau pesan. Tapi kau akhirnya diam juga saat kukatakan bahwa aku tak peduli pada musim yang sedang berlangsung, yang kutahu, aku lelah merasakan kepayahan sepanjang musim hujan kemarin. Aku ingin sejenak lelap dalam ketaktahuan dan kemasabodohan. Tapi aku sadar bahwa itu adalah wujud dari keegoisan. Maka aku harus bertahan dari rasa kantuk yang tak henti menyerang, bahkan hingga detik ini.

Hampir setahun lalu, aku ingat bagaimana pertama kalinya kutemukanmu sedang khusyuk memainkan hujan sendirian. Tak ada duka atau luka memang, itulah mengapa aku memberanikan diri untuk duduk dan memerhatikanmu dari dekat. Kau memang tak lantas menyambutku. Aku harus rutin mengunjungimu yang tengah bermain hujan, tanpa ada sepatahpun ucapan, atau skeedar sambutan untuk orang yang belum kau kenal.

Kini hujan telah selesai, di musim pancaroba aku, sepertinya, berhasil meyakinkanmu bahwa keberadaanku didekatmu bukanlah kesia-siaan. Hingga menjelang musim kemarau, aku benar-benar kau izinkan untuk berada didekatmu, dengan obrolan-obrolan ringan, terkadang penuh makna juga romantika sederhana.
Namun, ada yang sampai saat ini tetap tak mampu kumengerti.

“Musim hujan telah selesai, apakah kau akan mencintai kemarau seperti mencintai hujan?”
Jujur saja, itulah akumulasi dari kerisauan yang selama ini kutahankan. Jika diminta menggambarkan bagaimana kecintaanmu terhadap hujan, maka jawabanku singkat saja. Hujan adalah cairan yang selalu lekat di dua bola matamu. Hujan memang bukanlah simbol kepedihan, setidaknya dalam hidupmu. Kau memerlakukan hujan dengan begitu indah, dengan penuh keceriaan dan kebersyukuran. Yang kutahu, itu adalah sebuah anomali.

Sendiri, aku terus berpikir. Jika itu perlakuan yang diterima hujan, lalu bagaimana nasib kemarau? Entahlah. Terkadang aku beku dan tersesat dalam pikiranku sendiri. Aku terlalu takut kau memerlakukan kemarau justru speerti orang-orang memerlakukan hujan.

“Entahlah.” Jawabmu singkat, dan meragukan.

Setelah itu kau mulai bercerita seandainya suatu saat 2 musim yang selama ini ada, berbiak menjadi 4 seperti di tempat lain. Kau bilang, mungkin akan bahagia menikmati salju atau daun-daun gugur dari pepohonan di halaman rumahmu yang begitu luas.

Hingga saat ini, aku masih kesulitan untuk memahami jalan pikiranmu. Di jendela, kulihat satu dari sekian harapan yang kau tuliskan, dan aku tak tahu harus bersikap seperti apa.


Aku ingin merasakan musim di mana kau tak lahir pada musim itu. Aku hanya ingin, kita, hidup di musim lain yang sama sekali tak kita kenal. Agar tak ada yang bisa teringat pada kehidupan pada musim sebelumnya, seperti yang kualami sepanjang musim kemarin, hingga saat ini.
Semarang, 25 Maret 2012  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar