Laman

Jumat, 16 Agustus 2013

Kata Selingkung

Belakangan, selain kosakata alay, bermunculan pula kosakata yang tampaknya baru, yang dipakai oleh masyarakat umum khususnya pengguna sosial media. Yang lumayan kerap muncul ialah penyederhanaan salah satu proses dalam morfologi yaitu repetisi. Repetisi merupakan bentuk kata ulang misalnya kupu-kupu, tali-temali, pepohonan, dll. Bentuk yang terakhir inilah yang secara serampangan banyak digunakan oleh masyarakat. Pepohonan berasal dari kata pohon-pohonan. Contoh lain bentuk ini adalah rerumputan, jejadian, dll. Namun betulkah bentuk-bentuk seperti ‘gegara’, ‘rerupa’, lelama’? Dee bahkan pernah mengkultwitkan perihal ini di akun twitternya. Ia pun heran.

Dalam workshop editor di Bentang Pustaka yang saya ikuti Mei 2013 lalu di Yogyakarta, saya mengenal adanya “kamus selingkung”. Awalnya yang saya dengar adalah kamus “selingkuh”, sebab itulah kali pertama saya mendengarnya. Kamus selingkung ialah sejenis “buku putih” di suatu penerbitan yang digunakan selain KBBI. Kamus ini berfungsi sebagai “kitab suci” acuan yang sifatnya mengikat hanya ke dalam intern penerbitan. Misalnya penggunaan kata “gegara”, dalam KBBI tidak ada kata ini. Berbeda dengan penggunaan kata "sekadar" yang memang bentuk baku dari kesalahkaprahan "sekedar". Atau kata "selebriti" yang belakangan telah mulai digantikan dengan yang baku yaitu "selebritas".

Salah satu penerbit menggunakan istilah pengin (ada yang menggunakan kata ‘pingin’) meskipun yang ada dalam KBBI adalah ‘ingin’, berdasarkan suatu alasan. Diantaranya karena adanya lebih dari satu versi, maka untuk “menyudahi” kegalauan penerbit pun menetapkan satu kata yang mereka pilih untuk digunakan secara konsisten. Pun bila di kemudian hari diharuskan adanya revisi tentu penyesuaian akan senantiasa dilakukan.

Hal tersebut memang tidak sepenuhnya baik. Bahkan bisa jadi melangkahi KBBI. Namun, (menurut saya) penggunaan yang terlanjur marak oleh masyarakat menjadi tuntutan pembaharuan terhadap buku-buku yang baru diterbitkan di suatu era tertentu. Hanya saja, beberapa masyarakat awam yang membaca buku-buku terbitan mereka seringkali menjadi salah kaprah dan menganggap kata tersebutlah yang paling benar. Padahal tidak demikian. Sebab tiap penerbitan memiliki kamus selingkung masing-masing. Asas penggunaan suatu kata dalam kamus selingkung adalah konsistensi.Jadi, sebagai pembaca sebaiknya kita lebih bijak dalam memilih kosakata-kosakata yang memang sudah umum tetapi belum dibakukan dalam KBBI.