Laman

Rabu, 20 Juni 2012

menghidupi masa lalu


Ada sesak yang perlahan nyaris menghentikan aliran udara di sekitar kita. Di ruangan yang hanya sebesar kotak telpon umum itu kita saling lupa pada setiap hal yang seharusnya diingat saat itu juga. Kita tak pernah tahu kapan hujan turun dan urung berhenti. Kapan kita tiba-tiba sudah berada di ruang sempit ini, hanya berdua. Yang kita tahu hanya, kita akan segera mati. Kita akan secepatnya meninggalkan semua yang ada di luar kotak ini.
Dingin. Saat diam-diam ada yang menyentuh telapak tangan kiriku, seketika perasaan itu menjalar di sekujur tubuh hingga ulu hati. Hati siapa? Kita ini sudah mati. Sudah mati dari masa depan masing-masing. Setiap hari kita hanyalah arwah yang berputar-putar di pelataran hari ini dan hari-hari kemarin sampai masa lalu. Mungkin itu yang mempertemukan kita. Dengan hujan yang menjadi kereta, kita bertemu untuk saling menyampaikan pesan-pesan pilu.
“Aku menyesal”, katamu sambil terus memegang tangan kiriku, tanpa melihat wajahku.
Aku hanya diam.
“Aku menyesal bertemu kamu”, katamu lagi.
“Aku menyesal harus merasakan dingin yang sebasah ini di sampingmu”, kau terus bicara.
“Bolehkah aku hidup kembali? Hidup di masa depan?” tanganmu kian erat. Ada rasa takut kehilangan yang sepertinya menjalar lewat nadi tangan kiriku ini.
Sejurus kemudian kau mulai kesulitan. Kau kesulitan menangkap udara yang terlalu tipis di kotak sempit ini. Dadamu tampak naik turun tanpa jeda. Perlahan, kulepas genggaman tanganmu. Aku tahu, meski kehabisan udara sekalipun, kau tak akan pernah mati dari masa lalu. Kau akan terus hidup hingga kehidupan di sana berakhir dan kau berhasil menghidupi masa depanmu lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar