Laman

Sabtu, 25 Agustus 2012

Sketsa Petang --2

***
Sambil mengantarkan gerimis pulang, kususuri jalan setapak itu. Setelah sebelumnya meyakinkanmu bahwa akan baik-baik saja membiarkanku kembali ke kontrakan sendiri. Sebenarnya memang jarak antara galeri dan kontrakanku tidaklah jauh, hanya sekitar 1km. Petang itu, aku sedang berusaha mengingat peristiwa apa yang mengawali kebatuan kita tiga tahun belakangan. 

Aku tahu, ada sesuatu yang mengganjal dalam benakmu ketika mendengar ucapan terakhirku tadi. Saat kugunakan kata “juga” di depan kata “rindu”. Ya, kau memang tak mengatakannya, tapi aku bisa mendengar. Aku tak peduli kauterima atau tidak. Justru menurutku kau seharusnya berterima kasih karena aku telah membantumu mengungkapkan yang tak mampu kausampaikan.

“Aku tak peduli pada apa yang kau rasakan. Tapi, ya, aku juga tak bisa berbuat apa-apa jika ternyata selama ini kau menganggap setiap ajakanku adalah sesuatu yang spesial, misalnya sekadar ngopi di kafe.”
Tepat beberapa meter di depan sebuah kafe yang terakhir kali kita datangi, kalimat itu muncul di kepalaku. Ya, kau memang pernah mengatakannya padaku. Sejak saat itu memang aku semakin yakin bahwa kebersamaan kita adalah kesia-siaan. Adalah benar bahwa seharusnya memang aku menunggu saja seseorang yang tak juga kutemukan hingga sekarang. Dan menghindarimu adalah satu-satunya jalan, aku tak punya pilihan.

Gerimis yang tak sempat menjadi hujan telah benar-benar hilang. Petang pun telah berhasil mengantarkan senja tanpa diketahui siapa-siapa. Hanya saja aku bisa merasakan. Seperti getar ringan saat sebuah pesan singkat masuk ke ponselku. Pesan darimu. Aku tak mau berpikir apapun tentang apapun yang kau lakukan padaku, termasuk isi pesanmu yang menanyakan apakah aku sudah tiba di kontrakan atau belum. 

“Kau tak pernah konsisten.” Kataku waktu itu. Dan sepertinya itu akan terus berlaku sampai sekarang. Tak ada yang perlu diseriuskan dari setiap kata dan tindakanmu.

Belum. Di depan pintu kubalas pesanmu.

Tepat dugaanku. Hanya selang beberapa detik kau menelponku, sekadar bertanya kenapa aku belum tiba. Karena menurut perhitunganmu, seharusnya aku sudah sampai.

“Kau baik-baik saja kan?”
Entah itu hanya perasaanku atau tidak, aku bisa merasakan nada khawatir dari pertanyaanmu.
“Ya.”
“Hati-hati di jalan, kabari aku kalau sudah sampai ya.”

Tak perlu kutanggapi kalimat terakhirmu. Langsung kuputuskan hubungan telpon saat kubuka kunci pintu. Aku tak pernah lagi ingin peduli padamu.
Jarak. Hanya itu yang kuinginkan saat ini. Kita tak harus membicarakan apapun, apalagi tentang masa lalu.

Setelah kutemukan penyebab kebatuan kita, kini aku justru mencoba mengingat kenapa kita bisa saling bicara lagi? Meskipun terkadang akupun menginginkannya, tapi ketakinginan itu lebih besar. Hanya ketika rindu saja aku menginginkan pesan-pesan singkatmu, atau mendengar suaramu dari saluran bicara di ponsel. Selebihnya, aku muak padamu.
(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar