Laman

Jumat, 24 Agustus 2012

Sketsa Petang



Sudah cukup lama rasanya, kubiarkan malam tak pulang dan pagi selalu saja tersesat karena lupa ke mana harus berbelok saat tiba di persimpangan. Padahal, di teras rumah itu aku tak pernah tak ada selepas petang. Senja yang kini lebih memilih untuk sakit berkepanjangan telah menitipkan rindunya yang kerap bertunas saat kemarau bahkan berjuang habis-habisan agar setidaknya ada titik gerimis yang menemukan debu di jalanan.
Di teras itu, aku terus melanjutkan sketsa siang yang urung selesai. Ada sebuah warna yang sampai sekarang tak juga kudapatkan. Telah kucari ke sekian banyak toko cat, tetap saja warna itu tak ada.

“Jika nanti sketsa itu telah selesai, berilah warna pada setiap tepi kanvasnya.” Aku kerap mengingat permintaan yang lebih seperti pesan terakhir sebelum ketiadaan menggantikanmu di bingkai itu. Memang, hanya satu warna yang harus kuusapkan ke kanvas yang kian usang itu. Namun, akhirnya kuberpikir bahwa satu-satunya warna yang tak juga kutemukan itu seolah memang tak mau muncul sekarang.
***

“Kapan kau berhenti berpikir bahwa sebuah ujung jalan akan mengantarmu pada tujuan?”

Di sela gerimis siang itu, kau tiba-tiba bertanya. Sebuah pertanyaan yang menjadi awal pembicaraan setelah bertahun lamanya kita seperti dua tikungan di persimpangan. Kita selalu bertemu, tapi tak pernah bisa menyapa. 

“Sampai aku tak lagi punya tujuan.” Sambil terus melanjutkan sketsa itu, kujawab kau sekenanya. Ah, kapan kuselesaikan sketasa busuk ini. Prak! Sebentar kau menoleh ke arahku. Mungkin kau heran kenapa kuas yang semula kupegang kini telah tergeletak di lantai, di bawah bingkai.

Gerimis yang masih berlanjut di luar jendela diam-diam merayap ke dinding pipiku. Terjadi lagi. Setiap kali ingatanku sampai pada ketiadaan, kuas itu memang selalu terlempar. Setiap itu pula, bertahun-tahun lalu kau selalu mengatakan bahwa aku tak akan pernah mungkin bisa berhasil menyelesaikan sketsa itu. Dengan sedikit sunggingan di bibirmu, kau mendekapku. Dan hingga kini, aku tak pernah bisa merasakan dekapanmu.
“Kau terlalu toleran pada mimpi. Sebuah mimpi yang lebih menyerupai obsesi berkepanjangan. Aku lelah melihatmu seperti ini...”

Aku muak mendengar ucapan semacam itu darimu. Tapi coba kutahan perasaan itu, mengingat ini adalah hari pertama sejak kita tak saling bicara sama sekali. Hanya sekadar kugigit bibirku sendiri. Ada getar tangisan yang perlahan menderas. 

“Pulanglah” katamu lagi. Dekapanmu kian mengendur. Kedua tanganmu yang sejak tadi mengusap bahu dan kepalaku, menarik mundur kepalaku. Kini, mata kita saling beradu. Butir-butir air mata yang terus bergulir kauusap dengan jari telunjuk. Kau memang tak mengatakan apa-apa. Tapi percayalah, aku baru saja mendengar ucapan dari matamu.
“Aku juga rindu, tapi sebaiknya lupakan saja. Sebentar lagi petang akan tiba."
***
 (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar