Laman

Kamis, 02 Februari 2012

Waktu, Ketika yang Kutunggu Hanyalah Saat yang Tepat untuk Mengatakannya.

00.01
             Malam baru saja mendekaplelapkan senja dalam peraduannya. Biasanya akan ditandai dengan warna-warni lampu jalan, berjejer pedagang kaki lima di sepanjang teras pertokoan, kafe mulai menyediakan layanan, pedagang jagung bakar dengan tikar yang sengaja digelar meremang, dan… seseorang.
            Ini adalah kisah yang kutuliskan untuk mengenang perjuangan seseorang, teman. Temanku tepatnya. Malam ini, selepas tadarus singkat ia memutuskan untuk segera naik ke perahu malam, dipan ukuran nomor 3 milik ibu kosnya. Ini bukanlah hal yang biasa. Malam-malam sebelumnya, setelah berniat akan menunaikan isya pada waktu lail, ia memilih sibuk dengan laptopnya. Entah menulis, menonton film , mengerjakan tugas, merapikan folder atau hanya sekedar mendengarkan lagu yang baru di donlod.
Malam ini, ketika senja sudah tak lagi bisa dinikmati pesonanya, seorang gadis, temanku, rebah di peraduannya
***
“Ada yang mau aku bicarain sama kamu, ada waktu?”
“Ada. Kapan?”
“Nanti, kelar kuliah”
Kuliah berakhir. Mereka berdua bergegas keluar untuk mendapatkan bis terakhir. Sejak menunggu bis yang memakan waktu sekitar 15 menit hingga berhasil naik, tak ada obrolan, mereka hanya diam. Ah, sungguh malang. Adalah suatu keberuntungan jika di bis terakhir bisa mendapatkan tempat duduk yang nyaman, atau bahkan sekedar berdiri dengan kondisi lapang.
Mereka masih dalam diam. Diam-diam langit pucat, mungkin menahan kesal pada mereka. Apa salahnya sih membuka obrolan? Ketika gerimis mulai berjatuhan, sebuah pesan masuk ke gsm temanku,
Hujan, mungkin lain kali aja kita omonginnya
Setelah membaca, sejenak ditengoknya sisi luar jendela. Cuma gerimis kok, pikirnya.
Belum hujan Bay, palingan pas nnt smp dpn gang gerimisny brnti. Gpp, lanjutin aja, nnt ak trun di dpn gang kos km, udah lama gak lewat sana J
Jgn Nda. Uda gausah, kpnkpn aja, masih ada wktu laen kok. Bayu segera membalas. Tapi bukan Winda jika tak sedikit keras kepala.
Ydh, tp ak ttp mau trun dpn gang kos km. titik.
Bis akhirnya berhenti. Winda yang ketika naik tadi melalui pintu belakang, turun melalui pintu yang sama, begitu pun Bayu, melalui pintu depan. Winda selalu ingin mencairkan suasana ketika keadaan sedang menyudutkan dirinya dan Bayu. Sepotong senyum jatuh ke mata laki-laki berambut keriting itu, raut di wajahnya sangat kusut.
“Kamu mau ngomongin apa, Bay?”
Sejenak Bayu diam. Ketika itu gerimis kelihatan semakin serius, membuat mereka berdua harus mempercepat langkah.
“Intinya, aku cuma mau tanya. Menurut kamu, yang seperti ini masih perlu atau enggak!” kalimat itu terdengar datar, pelan, tapi lebih tidak seperti pertanyaan, melainkan seruan atas suatu kekesalan. Mendengar itu Winda tersenyum lagi. Mereka masih terus berjalan dengan kecepatan yang kian meningkat, seperti degup jantung Bayu yang harap-harap cemas menantikan jawaban Winda.
Sampai akhirnya ketika mereka berdua sampai pada tikungan, Winda berhenti diikuti Bayu. “Aku butuh ruang lisan untuk menjelaskan ini, Bay” Winda bisa melihat wajah Bayu yang kian suram.
Dengan perasaan kecewa yang tak mampu disembunyikan, Bayu menyetujuinya. Sungguh, sekedar sepotong senyum pun tak mereka hadirkan untuk menyudahi obrolan itu. Gerimis telah berganti hujan. Mereka berdua memiliki harapan yang sama, semoga hujan tetap jatuh dari langit, tidak dari mata.
***
Malam semakin menua, guratannya kian pekat di langit-langit kamar. Tinggal sunyi mengusik sepi ‘tuk terjaga dalam ruang hampa, hati.
Baik Winda maupun Bayu, keduanya sama-sama terjebak pada malam yang terlanjur datang bertamu. Mereka sama-sama tak mampu memejamkan mata, terlebih setelah kejadian sore tadi.
Biasanya Bayu akan mengirimkan sepotong pesan singkat pengantar tidur,

Langit-langit kamarku melukis wajahmu
kini sampai pada lekuk indah di kedua sudut bibirmu
O, malam
Bergegaslah menjemput pagi

Namun, malam ini Winda hanya mungkin sebatas membaca ulang di kotak masuk.
*** 
(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar