Laman

Selasa, 09 Maret 2010

==================pelangi senja

Guyuran hujan baru saja berlarian meninggalkan gang kecil di sebuah kampung yang bersebelahan dengan perumahan elite. Kini gerombolan gerimis kecil tersisa menghiasi gang itu, memamerkan tarian klasik dengan musik khas perkampungan kumuh, bak permadani yang memancarkan keindahan tak terukur, hasil cipta Sang Kuasa yang tak henti-hentinya mengirimkan rahmat kepada setiap hambanya yang meminta.

Masih dibalik tirai gerimis itu, seorang bocah tertegun memandangi polesan warna di ujung langit, Ia tersenyum, memangku dagunya dengan kedua tangan, seolah tengah menyaksikan bidadari menari, seperti yang dikatakan orang-orang terdahulu, jika ada pelangi yang muncul ketika hujan beranjak, berarti sekumpulan bidadari tengah menari di sana. Entahlah, yang penting kita wajib percaya bahwa ghaib itu memang ada, perkara ada tidaknya bidadari di pelangi itu nanti saja, jika tiba waktunya pasti terlihat juga apa yang sebenarnya ada di “lukisan” itu.

Ya, itulah yang saat ini tengah menjadi perbincangan hangat di benak seorang bocah yang biasa dipanggil Caci, nama yang terlabel begitu saja pada dirinya. Tak ada yang tahu siapa nama bocah itu, bahkan dirinya sendiri.

Tiga bulan yang lalu ia ditemukan oleh seorang pemulung yang baru pulang dari ‘bekerja’, didapatinya si bocah tengah meringkuk di gorong-gorong jembatan. Wajahnya oval dengan bola mata yang sangat indah, dua lesung pipit berbaris teratur di kedua pipinya, rambutnya hitam pekat dengan sebuah pita merah jambu yang tidak lagi pada tempatnya.

Laki-laki asing tersebut meletakkan karung rongsokan, lalu duduk di dekat si bocah, Ia menanyakan apa pun yang bisa ditanyakan, dan setelah dihujani berbagai pertanyaan yang mungkin tak ia pahami atau mungkin juga ia hanya bingung jawaban apa yang pantas ia berikan, bocah berusia empat tahun itu hanya melongo memandangi wajah pemulung. Sebenarnya jika dibandingkan si bocah, wajah pemulung itu jauh lebih menyeramkan, tapi anehnya bocah itu tak sedikitpun bergidik.

Pemulung itu kemudian tertegun sejenak, mengaduk-aduk isi kepalanya yang seperti kehilangan nutrisi, sebab jangankan multivitamin, makan nasi pun belum tentu setiap hari. Karena tak menemukan respon apapun dari mesin pikirannya, pemulung itu pun bangkit hendak pergi, tetapi bocah kecil di hadapannya mendongak, entah darimana mempelajari tekniknya, yang jelas kini wajahnya ‘lah tampak memelas. Tak tega meninggalkan bocah lugu itu, pemulung pun membawanya pulang, yang secara tidak langsung menjadi “oleh-oleh” untuk istrinya yang tak kunjung menjadi ibu.

“Ya udah, kamu ikut saya aja.”

Si bocah pun menurut saja ketika pemulung itu menggendongnya.

Sesampainya di “rumah”, istri pemulung menyambutnya dengan raut muka bingung. Biasanya ia akan memarahi dulu suaminya yang pulang terlambat karena ia sudah sangat kelaparan. Tetapi, tidak kali ini. Melihat suaminya menggendong seorang bocah, Tuti, istri pemulung itu, mendekat saat suaminya baru sampai di depan pintu.

“Anak siapa, Bang?” nadanya terdengar kaku, menahan lapar, tapi juga penasaran.

“Nemu di gorong-gorong, Ti” ujar pemulung itu, datar. Kemudian ia tersenyum harap.

“Serius Bang? Hmm. Cantiknya, sini ikut saya” tubuh bocah itu pun terenggut seketika ke dalam gendongan Tuti yang terlihat begitu “berselera”.

Sejak saat itu si bocah dirawat oleh mereka, tak peduli rahim siapa yang melahirkannya hingga tega membiarkan bocah itu terlantar di sebuah gorong-gorong, istri pemulung yang sering disapa Tuti itu sungguh menyayanginya. Diberinya ia selimut hangat dari karung goni lusuh dan sebuah tempat tidur hangat yang terbuat dari lipatan kardus bermerk serta dongeng pengantar tidur yang dibacakan oleh malam, melalui angin yang mengendus-endus tirai bergambar sobek-sobek, di jendela, ditambah musik klasik kolaborasi sungai dan jembatan reyot yang kisah cintanya telah berlangsung sejak lima kali usia Caci.

Tuti mengira bocah itu akan terpesona dengan semua fasilitas yang ia suguhkan. Ternyata, merk yang melekat pada “kasur”, hangatnya “selimut”, “gambar” pada tirai serta “musik” klasik itu tak berhasil membuat si bocah nyaman tinggal disana. Hingga suatu malam ketika suami-istri itu tengah lelap ditumpukan kardus, ia keluar dari “istana” pemulung itu. Menyusuri kegelapan dengan balutan kaos dalam lusuh dan celana pendek kumal. Ia terus berjalan tanpa khawatir ada setan, seperti yang dialami anak-anak seusianya, yang selalu dijejali pemahaman bahwa setan itu harus ditakuti, kenapa tak mereka katakan saja Tuhan-lah yang seharusnya mereka takuti, beruntung bocah ini tak sempat mengenyam “mata pelajaran mitos kurikulum balita” itu.

Malam itu caci keluar tepat ketika langit sedang mengatur barisan hujan, sangat berisik, dan Caci, matanya celingukan mencari-cari dari mana sumber suara itu, sejak tadi bergemuruh seolah memanggilnya untuk mengajak bermain di pelataran malam, gluduk … gluduk … duarr! Ctar… cter … begitu suaranya, semakin penasaran saja bocah itu, sesekali mendongak ke atas, pekat.

Tak ada apa pun di sana, hanya kadang-kadang ada “keris” bercahaya, dan itu membuat Caci terpesona. “Penghuni” langit sepertinya paham bahwa malam ini pasukan hujan akan turun, mengantarkan titipan rahmat dari Tuhan, pastilah mereka bersembunyi, karena terkadang kedatangan mereka mengejutkan.

Hingga pagi membiarkan malam beristirahat, si bocah tak juga menemukan sumber suara. Kini tubuhnya basah kuyup, menggigil seperti tikus got, meringkuk di bawah pohon beringin tua sebuah pemakaman. Tak ayal ia selalu mendapat perhatian khusus dari setiap mereka yang berlalu-lalang, pohon yang konon telah hidup setengah abad, bergeming di depan pemakaman umum.

Berhari-hari Caci menetap disana, dan ini bertepatan dengan hari ketujuh, wajahnya kini menghitam, dekil. Jika ada yang iseng mendekatinya untuk melihat lebih dekat, ia akan melirik seperti menyeringai, membuat mereka sontak lari terbirit-birit, “setan … setan” di siang hari bolong. Begitu seterusnya, setiap ada yang melintas, dilemparnya ia dengan cacian yang menggambarkan keadaan fisiknya, hingga diperolehlah gelar kehormatan itu, “Caci, si anak setan”.

***

Dibalik tirai hujan itu Caci meringkuk memandangi pelangi yang tersenyum menatapnya.

“Aku ingin kesana, menari diantara bidadari yang tersenyum manis tanpa lelah” Caci pun berpikir, bagaimana caranya agar ia bisa sampai kesana, tangannya sudah tak sabar ingin menyentuh “lukisan” indah itu, lalu memoleskan warna-warna itu ke tubuhnya yang terlihat kusam.

“Aku ingin berwarna, seperti benda itu” suara khas anak usia empat tahun yang terdengar kacau itu tersangkut di telinga seorang gadis berusia lima belas tahun, tanpa ragu disambanginya Caci yang seperti tak peduli dengan kehadirannya.

“Kamu lagi ngeliatin pelangi ya” ujarnya ramah.

“Pe … la … ngi “ Caci mengeja kata itu.

“Iya, pelangi memang indah banget ya” tambah si gadis, ia tersenyum.

Memori dalam kepalanya terus mengobrak-abrik data yang tersimpan disana, yang tiga bulan terakhir tak pernah di up-date, memori seorang bocah empat tahun. Ketemu! Ya, Caci menemukan data itu dalam memorinya, PELANGI, Ia ingat, ada yang sering mengajaknya kesebuah taman di sebuah rumah mewah ketika hujan berpamitan, melihat pelangi! Ya, pelangi itu ciptaan tuhan yang sungguh mengagumkan, kalau kamu lagi sedih, liat aja pelangi, pasti perasaan kamu akan ceria kembali sayang, kalimat itu kini terngiang di kepalanya, siapa yang pernah berkata seperti itu padaku? Benaknya mengajukan tanya, namun tak menemukan jawaban.

“Kamu sering ya liat pelangi dari sini?” gadis itu menanyainya, tentu saja tak ‘kan ada jawaban dari Caci, bocah itu hanya memandangnya datar.

“Aku mau pelangi, mau pelangi” tergopoh-gopoh Caci berlari meninggalkan orang asing disampingnya, terus berlari mengejar pelangi yang kini hanya terlihat ujungnya, sungguh ia tak beruntung, baru sampai di tepi jembatan, pelangi ‘lah lenyap, meninggalkannya tanpa sepatah kata pun. Kemudian pandangannya berbelok kearah cahaya raksasa, MATAHARI. Begitu bencinya ia melihat matahari yang menyeringai seperti menertawakannya,

“Dasar bocah tolol! Kau pikir pelangi mau bermain dengan bocah dekil sepertimu!” mungkin itu yang dikatakan matahari,

“Aku benci matahari! Kamu udah mengusir pelangiku!” Ia mengutuki cahaya yang semakin menertawakannya itu, memaksanya menyingkir karena cahayanya semakin terang dan kini tepat di atas ubun-ubunnya.

***

Kini hidup Caci hanya digunakan untuk menemukan cara untuk sampai ke pelangi, setiap kali hujan reda ia berlari mengejar pelangi, berlari dan terus berlari tak peduli lapar, haus, lelah ia terus berlari mengejar pelangi, mengejar tumpukan warna-warni yang terus memanggilnya untuk mengajak bermain bersama.
Di sela pengejarannya, Caci justru merasa di kejar-kejar. Entah apa itu namanya, yang jelas sesuatu yang sedang mengejarnya itu kini masuk ke kepala, memaksa ingatannya untuk kembali. Namun, Caci tak tahu harus kembali kemana, ingatannya terus di tarik ke belakang, sementara kakinya semakin jauh ke depan.

Hingga suatu senja, ketika langit “berpakaian” coklat keemasan, hujan reda dan membiarkan pelangi memamerkan keelokannya, Caci termangu di atas jembatan tua, tiba-tiba matanya terbelalak, jika saja ia sudah diberi tahu apa yang seharusnya dikatakan ketika menyaksikan kebesaran Tuhan, pastilah sudah ia lafadzkan SUBHANALLAH, namun sampai detik ini ia belum pernah mendengar kalimat itu.

Di belakang sana, ingatannya telah sampai di suatu tempat yang seperti di kenalnya. Gerbang setinggi kira-kira dua meter bercat putih, senada dengan tembok yang menjulang, memaparkan keangkuhan. Lalu memasuki sebuah halaman berumput hijau, rapi, menjadikan beranda didekatnya nampak semakin cantik. Caci masuk kedalam rumah yang memang pintunya tidak di kunci, beberapa kursi tamu seperti menyambut kedatangannya, tapi bocah ini tak peduli karena ingatannya terus di tarik tak tahu hendak kemana. Terus melangkah melewati berbagai ruangan; kamar tidur, kamar mandi, ruang keluarga, ruang makan, dan akhirnya sampailah ia di sebuah taman belakang rumah.

Di sana, di taman itu, Caci melihat seorang bocah yang wajah dan perawakannya sungguh mirip dengan dirinya, di kirinya seorang lelaki dengan wajah nanar tengah menghujamkan telunjuknya ke arah perempuan yang tertunduk menjarang air mata, Caci jelas tak paham apa yang tengah mereka lakukan. Ketika itu gerimis sedang bersenandung, seperti menyenandungkan mantra pemanggil pelangi. Dan benar saja, tak lama langit yang pucat itu terpoles berbagai warna yang nampak begitu indah. Caci terkesima menyaksikan pemandangan itu, sementara dua orang tadi tengah memainkan sebuah “drama halilintar”, bocah kecil di sana mulai melangkah meninggalkan taman belakang, berjalan pelan hendak menemui pelangi, mungkin ia ingin mengadukan sesuatu kepada pelangi. Bocah itu terus berlalu, dan kini langkahnya telah sampai di sebuah perkampungan kumuh yang bersebelahan dengan kompleks perumahan orang tuanya yang tadi tengah “bermain drama taman belakang rumah”.

“Whaaw…” bibir tipisnya mengembang, dan seketika pelangi itu menghilang, diusir oleh matahari. Bocah itu, yang sungguh mirip dengan Caci, tak terima, kemudian menangis.

“Hei bocah, cepat menyingkir! Aku akan berbagi sedekah hari ini!” hujat matahari.
Ingatan Caci mengikuti lagi kemana bocah itu melangkah, tiba-tiba di ujung sana, terdengar suara BRAKK!... aaaaaaakk. Sebentuk tubuh wanita tumbang di depan truk, wanita itu, yang tadi ada di taman belakang rumah, gagal mengejar bocah yang kini bersembunyi di sebuah gorong-gorong jembatan. Beberapa waktu nanti, seorang pemulung akan menemukannya.

***

Caci tengah khusyuk mengamati langit yang berwarna coklat kuning keemasan di sebuah senja, berpadu dengan goresan pelangi. Kemudian matanya menoleh ke arah matahari yang tengah bersembunyi di ujung langit, ia heran kenapa hanya punggungnya saja yang terlihat. Ingatan Caci telah di kembalikan.

“Kenapa kau disana? Kenapa kau menyembunyikan sebagian tubuhmu? Kau malu ya melihatku bisa menyaksikan pelangi di senja ini, tunggu disana! akan ku beri kau hadiah tinju dariku”

Seperti ketakutan mendengar ucapan sang bocah, matahari pun buru-buru memejamkan matanya, mengubur diri dengan siraman jingga keemasan, padahal Caci tengah mengejarnya. Terus mengejar hingga memasuki pelataran senja yang mulai bersenandung kepada Tuhan. Di tengah lantunan adzan maghrib itu, Caci berusaha mengejar matahari yang pernah menertawakannya. Sayang, ketika sampai di jembatan reyot, jembatan yang pernah menghiburnya dengan musik klasik sewaktu ia tinggal di “istana’’ pemulung, tubuhnya terhempas ke sungai, dan itulah awal kehidupan barunya. Kehidupan yang telah lama dinantikan, karena sejak saat itulah ia bisa berlari-lari di atas pelangi, menari bersama bidadari yang selalu tersenyum, tanpa matahari yang kerap menertawakannya.

***

Ternyata Caci benar, memang ada bidadari di pelangi, dan bidadari itulah yang telah mengantarnya untuk sebentar menilik dunia yang penuh dengan keironisan, dunia yang penuh dengan kefanaan, dunia yang penuh dengan kehipokritan, dunia yang penuh dengan keanehan dan semua ketidakmungkinan yang di paksa-paksa agar menjadi
mungkin.

Jika ada yang mengatakan bahwa: dunia itu seperti pagi, keindahannya adalah sepi yang bergerak, maka bagi Caci, dunia itu ibarat senja, keindahannya baru akan nampak di akhir cerita, ketika segala upaya ‘lah dilakukan, dan berakhir dengan kebahagiaan, seperti upaya untuk meraih pelangi. Caci masih tak percaya bahwa kini ia bisa dengan mudah berlari-lari di taman pelangi, dan dalam senyum kekagumannya pada Ia Yang Maha Pencipta, gadis kecil yang beberapa waktu lalu pernah mengajaknya berbincang, datang menghampiri, menemani Caci untuk menikmati pelangi di tepi senja. Ternyata, gadis itu adalah bidadari yang mendengar harapan-harapan Caci selama ini, harapannya untuk bisa bermain di pelangi. Mereka berdua merasa damai di balik tirai hujan yang kini rintiknya masih berlarian. Menghiasi sebuah panggung perkampungan kumuh yang meskipun jarang disambangi penonton, dari waktu ke waktu, “panggung” itu tak pernah berhenti mementaskan berbagai drama kehidupan.

Selesai.

5 komentar:

  1. hmm... keren ceritanya.. konfliknya juga bagus..
    tp gaya penceritaan km, mnurutku, kaya lagi baca dongeng... setiap detailnya alurnya diceritakan.. dipersingkat aja. g perlu diceritakan detil alurnya...
    penggunaan tnda petik utk kata2 yg punya penekanan tertentu kayaknya g harus dipake. biarkan pembaca merasakan tekanan itu.
    trs, walaupun cerpen itu karya imajinatif, saya lbh stuju klo unsur2 realita logikanya ttp nyata.. mksdnya.. di sini km bercerita tntang anak kecil.. di dalam karyamu km juga hrs bersikap, berkata, berkelakuan sperti anak kecil.. biar feelnya bisa lebih mngena..
    ada yg aneh juga nih..
    “Aku ingin kesana, menari diantara bidadari yang tersenyum manis tanpa lelah” Caci pun berpikir.
    menurutku itu bkn kata2 anak kecil seumuran caci.. apalagi di kalimat2 selanjutnya diceritakan klo caci itu g tau apa itu pelangi, mgkn lbh tepatnya ia lupa.. darimana dia tau klo warna2 itu adalah bidadari yg tersenyum manis tnpa lelah? mgkn jg ia masih asing dgn kata bidadari.. krn melihat settingnya, dia "anak jalanan", beda halnya klo dia anak rumahan yg selalu dapet dongeng pngantar tidur dari ibunya..

    - jangan menjelaskan mksd cerita, biar pembaca penasaran dan bertanya2 tntang siapa gadis yg menemani caci selama ini? dan hal-hal lainnya.

    -ttp, ejaan dan tanda baca jgn diacuhkan.. coz itu penting.

    -hmm.. apa lagi ya? oya, penggunaan gaya bicara yg kurang umum sebaiknya dikurangi.. kata 'lah mgkn sebagian org ngerti klo itu dari kata "telah", tp sebagian yg lain mgkn menganggap itu partikel "lah" yg menekankan mksd tertentu.. sperti "makanlah atau biarlah.. kau lah.. dsb"

    hmm.. cukup aja deh.. yg laen km cari sendiri. hehehe..

    salam
    editor (amien)hehehe

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. ehehe.

    aku memang terobesesi bikin karya surealis Ar. padahal uda beberapa kli diingetin bahwa karya surealis berawal dari karya karya realis.
    mungkin aku memnag harus belajar banyak dari kamu :)

    semua komen aku terima sbg kekurangan spy nantinya bisa jadi lebih baik.
    makasi yaa ^^

    aminnnn :)

    BalasHapus
  4. gpp des.. apapun aliranmu, buatlah. jgn terlalu terpengaruh katakata orang.. ini duniamu. km yg pegang kendali penuh..

    tetap semangat ya..

    BalasHapus