Laman

Selasa, 23 Agustus 2011

Ingatan Laras

Rasanya ngeliat mantan punya pacar lagi ternyata lebih nyakit daripada diputusin ya.
“Emang kamu pernah diputusin?”
Lamunan Laras pecah. Kembali ia membasuh wajah yang sebelumnya telah dilumeri dengan krim pembersih wajah. Ini ketiga kalinya ia melamun saat melakukan sesuatu. Tadi pagi saat selesai sholat subuh, lalu saat ngobrol ditelpon dengan Agis siang tadi, dan ini yang ketiga.

Agis baru tiba dari kampung, ia sepupu Laras. Sudah sejak berbulan-bulan yang lalu ia bilang ingin sekali main ke rumah Laras. Maka setibanya Laras di rumah ia bersemangat sekali. Idul fitri tahun ini Agis akan berlebaran di rumah Laras, padahal biasanya keluarga Laraslah yang berkunjung ke rumah nenek, rumah yang bersebelahan dengan rumah Agis di kampung sana.

Keran air dimatikan lalu Laras keluar dari kamar mandi. Agis masih menggosok giginya di depan westafel. Wajah Laras memang nampak tak segar seharian ini. Ah, tapi ia juga tak tahu apakah ini akumulasi dari duka yang ditahan sejak sekitar sebulan lalu.

“Abis mandi lecek amat muka kamu?”, Agis menimpal pertanyaan yang sengaja belum dijawab, berharap ia lupa. Laras nyengir. Agis telah selesai menggosok gigi. Dari dulu Agis tak berubah, ia tidak menggosok gigi saat mandi tapi setelah selesai mandi di luar kamar mandi.

Sampai di kamar Laras langsung melempar tubuh ke kasur lagi, dilihatnya jam bergambar jerapah menunjukkan pukul 6 tepat. Sebentar lagi adzan maghrib, saatnya berbuka puasa, mungkin wajar kalau ia merasa begitu lemas. Meskipun sedang tak berpuasa, ia mengikuti pola makan orang yang berpuasa.

“Kaya orang pertama kali puasa deh kamu, lemes amat”, Agis ikut melempar tubuhnya ke kasur. “Kamu gak tadarusan Gis?”, tanya Laras datar. Agis diam saja, tapi Laras tahu ia sedang membuat jawaban, tepatnya alasan.

“Ntar aja abis buka puasa sekalian, atau gak abis tarawih. Eh, pertanyaanku tadi belum kamu jawab tau!”. Begitulah Agis. Meskipun dibesarkan oleh orang yang sama, yaitu nenek, tapi mereka tidak memiliki kebiasaan yang sama. Agis masih tak serius dalam beribadah.

“Pertanyaan yang mana?”, kembali Laras meraih laptop yang tadi disleep. Membaca status update walaupun sebenarnya agak malas. Pagi tadi secara tak sengaja ia membaca status seseorang yang sepertinya sedang jatuh cinta, dan itu membuatnya terluka.

Agis merebut laptop itu, dan Laras membiarkan. Laras sungguh tak bersemangat untuk melakukan apapun. Setelah seperti mencari-cari sesuatu Agis mengembalikannya, menunjukkan sesuatu, meminta penjelasan. Rasanya ngeliat mantan punya pacar lagi ternyata lebih nyakit daripada dipututusin ya. Itu postingan terakhir Laras di blog, pagi tadi. Mudah saja dijawab pertanyaan Agis, sekenanya. Tapi ia bukanlah orang yang mudah percaya pada apapun yang belum ada buktinya.

“Ya ampun Gis, kamu kaya baru pertama kali aja liat aku ngarang”, ujar Laras malas. Ia tahu kecuekannya justru membuat Agis semakin tak percaya.

“Laras, liat aku”, diluruskannya wajah Laras ke arah wajahnya. Laras tak sanggup menatap mata Agis, sebab ada kebohongan yang sedang ia sembunyikan. “Tuh kan, kamu gak berani liat mata aku. Jujur ke aku sekarang. Kamu pernah jadian? Kok aku gak tahu?”, nadanya mulai sedikit ketus.

Selama ini Agis memang tak pernah tahu bahwa Laras pernah menerima pernyataan cinta dari seseorang. Setiap kali menanyakan apakah ia punya pacar Laras selalu menjawab tidak, sebab memang ia tak pernah punya, kecuali setahun lalu. Itu adalah pertama kali dalam hidupnya memiliki seorang pacar. Sejak SD, SMP, dan SMA Laras adalah pemegang teguh anti pacaran, efek ikut rohis juga sebenarnya.

Setahun lalu, Laras masih semester 2 ada seseorang yang mengaku telah luluh hatinya, padahal mereka tak pernah mengenal secara personal. Mereka hanya teman satu angkatan yang baru 6 bulan mengikuti perkuliahan di kelas yang sama, setiap hari. Entah bagaimana ia memulai perasaan itu, yang jelas ia menyatakan perasaannya itu pada Laras, lewat kata-kata puitis. Kalimat terakhir yang membuat Laras akhirnya tak tega adalah saat ia bilang: Jika memang kuci itu telah berkarat, tunjukkan di mana letaknya. Akan coba kubuka perlahan. Laras sudah lupa kalimat persisnya, tapi kira-kira seperti itu. Malam itu mereka resmi ‘jadian’. Dan Laras masih ingat kalimatnya saat membalas sms pertamanya malam itu: gimana aku bisa tidur setelah ada kejadian luar biasa ini. Dan IA juga ingat Pria itu mengatakan kalimat yang sama saat mereka putus 2 minggu kemudian, nyaris sama.

Ya. Mereka putus di waktu yang teramat singkat. Laras merasa tak mampu menyeimbangkan perasaan cinta yang ia dapatkan. Ia begitu khawatir akan lebih menyakitinya jika melanjutkan itu dalam keterpaksaan. Satu minggu setelah mereka putus, pria itu menjadi begitu kacau. Ia sempat salah menyebut nama teman yang hampir sama dengan nama Laras, Naras.  Laras ingat ketika itu teman-teman satu kelas menyoraki: ihirr, ciyee, hadoh ada yang deg-degan nih. Sebab mereka menjalani backstreet. Laras yang memintanya. Ini adalah hubungan pacaran pertama dalam hidup Laras, ada perjuangan keras yang harus ia lewati untuk meyakinkan bahwa: Allah gak akan marah kamu pacaran, kamu udah dewasa. Sebenarnya itu kata-kata Agis. Tapi akhirnya Laras berusaha mengiyakan, meski tersendat di jalan.

Dua minggu pasca putus mereka jadian lagi. Dan bodohnya, lagi-lagi karena Laras tak tega melihatnya kacau seperti itu. Dibuat seolah ia begitu  merasa kehilangan. Sebenarnya memang Laras merasa kehilangan, sebab tak ada lagi yang mengiriminya sms sederhana namun penuh makna. Mereka kembali menjalani hubungan pacaran, meski hanya dua minggu karena mereka kembali putus. Untuk kali kedua ini Pria itu yang memutuskan Laras, sebab Laras terlalu lama menggantungkan hubungan mereka. Mereka tak pernah berkirim sms apalagi telpon, tak ada puisi-puisi di facebook apalagi ngobrol di kampus. Jelas karena mereka masih backstreet.

Mereka resmi putus di bulan ketiga sejak pria itu menyatakan cintanya pada Laras. Dan setelah itu mereka saling menjaga jarak, sama sekali. Tapi mereka saling paham bahwa ada semacam ikatan batin yang masih mengikat. Mereka akan saling mengupdate status jika sedang tiba-tiba rindu, Laras tak mengingkari ikatan itu. Sampai kini mereka telah semester 5, ikatan itu masih ada. Mereka masih saling merindukan walau dalam diam.

“Aku salut sama kalian. Setiap hari lahir puisi-puisi penuh makna. Sayang kalian cuma sebentar. Tapi sampe sakarang kalian masih bisa menjalin hubungan baik”, ujar teman Laras suatu ketika saat ia sedang curhat tentang pacarnya.  Memang, inspirasi selalu mengalir deras dalam kurun waktu satu tahun itu. Bahkan puisi-puisi tersebut tengah digarap menjadi sebuah antologi, untuk kenang-kenangan, pikir Laras.

Selama ini Laras seperti bisa membaca bahwa ia masih dicintai. Meski tak jarang mereka crush seperti orang yang masih menjalin hubungan. Banyak hal-hal kecil yang membuat mereka ribut, kemudian perang dingin. Padahal mereka satu organisasi, mereka sering bertemu, setiap hari selain di kelas.

“Aku juga gak tau. Kadang-kadang ngerasa pingin tahu aja kamu ngapain, kemana, sama siapa?”, ujar pria itu suatu malam. Itulah obrolan terakhir mereka sebelum akhirnya “duka” ini terjadi. Malam itu entah bagaimana sekenario yang Tuhan buat, mereka pergi ke sebuah kafe. Pergi berdua. Setelah hampir dua tahun, itulah pertama kalinya mereka secara dewasa pergi berdua ke sebuah kafe, hanya untuk ngobrol. Tapi begitulah mereka. Benar apa yang pria itu bilang, mereka memang menjalani hubungan yang aneh.

Malam itu mereka ngobrol panjang lebar, membicarakan berbagai hal kecil, hal tak penting untuk mereka yang berstatus mantan. Obrolan mereka mengalir ringan. Dan ini adalah satu dari beberapa hal yang disukai Laras dari mantannya itu. Ia begitu baik dalam beretorika, sambil mengaduk-aduk kopi Laras mendengarkan ceritanya, tentang dirinya, keluarganya, dan sedikit tantang masa lalu mereka.

“Kita tuh punya semacam siklus tau”, katanya. “Kangen-Ngobrol/sms/komen fesbuk/-konflik-dieman-trus kangen lagi”. Mereka tertawa lepas. “Haha. Iya bener banget. Dan aku yakin, abis ini pasti kita ribut lagi”, tambah Laras. “Makanya kita jangan terlalu banyak ngobrol”, pria itu menyeruput kopinya. Gak kebayang deh, bakal selama apa kita ribut sebagai efek dari lamanya kita ngobrol malam ini, batin Laras malam itu.

Dan hal itu sungguh terjadi! Ini tepat sebulan sejak kmereka ngobrol di kafe malam itu. Memang sih, selalu ada masalah-masalah yang hadir sebagai perantara crush mereka. Kemarin mereka sempat ribut gara-gara masalah organisasi. Hal sepele sebenarnya. Laras tahu, saat emosional mantan kekasihnya memang tak bisa mengendalikan diri. Itulah yang menjadi salah satu alasan mengapa sampai saat ini ia masih tak menggubris perasaannya. Laras begitu marah dengan sms itu, begitu juga yang lain. Dan Laras merasa ini adalah tindakannya yang sudah keterlaluan, sampai membuat teman-teman yang lain merasa tak terima. Jika sms itu hanya ia kirimkan pada Laras, mungkin ia telah melupakannya sekarang. Tapi sepertinya tidak.

Dua minggu terakhir Laras selalu tak sengaja melihatnya mengirim sebuah wall ke seseorang, berisi kata-kata puitis. Awalnya ia mengabaikan, tapi itu selalu dilakukan, bahkan mantannya itu tidak mengupdate status, hanya mengirim wall. Dari sana Laras tahu bahwa mereka sedang tak bisa sms-an.

Sejak mereka putus Laras memang tak jarang berdoa untuknya, semoga Tuhan menghadirkan seseorang yang lain, yang lebih lembut, yang lebih bisa mengendalikannya saat emosi. Dan sepertinya Tuhan mengabulkan doa Laras.

“Kamu sedih?”, Agis meledek, dari nada suaranya.
“Kelihatannya?”, Laras masih datar.
“Kamu sedih bahagia”, direnggutnya kepala Laras dalam pelukannya. “Kalau emang kamu tulus waktu berdoa minta dia menemukan pelabuhan cintanya yang lain, aku yakin, kesedihan kamu ini cuma efek, dan ini gak akan lama”, dieratkan pelukannya pada Laras.

“Kamu pernah diputusin?”, tanya Laras balik.
“Pernah”
“Ah, cowoknya gak gentle. Gimanapun juga, cewek harus mutusin cowok, gak etis kalo sebaliknya”.
Hening.
“Rasanya gimana?”, tanya Laras tiba-tiba.
“Kayanya emang gak lebih nyakit dari ketika liat mantan yang sayang banget sama kita, menemukan tambatan hatinya yang baru”. Mereka tertawa lepas.

Mulai sekarang Laras harus terbiasa untuk benar-benar tak dirindukan siapapun. Itupun saat ia telah yakin bahwa ikatan batin antara mereka ikut lenyap bersama lahirnya cinta baru dalam hidup pria yang pernah begitu mencintainya. Laras masih belum tahu apakah ia telah sungguh dilupakan atau hanya sekedar melarikan rindu yang tak bisa disampaikan karena mereka sedang dalam perang dingin.

Semoga ia benar-benar telah menemukan cintanya. Dan hal yang sangat Laras harapkan adalah, jika nanti pria itu sungguh melupakan semuanya, ia akan datang pada Laras dengan senyum penuh kebahagiaan, mengenalkan pada Laras seseorang yang telah mampu mengisi posisi di langit-langit kamarnya.

“Itulah puncak kebahagiaanku, ngelihat dia bahagia karena menemukan cintanya. Aku pingin kami bisa menjalin hubungan baik”. Ujar Laras lirih.

Suatu saat nanti, saat seseorang pun telah menemukannya, Laras akan menunjukkan padanya. Ia ingin mereka saling berbahagia dengan apa yang mereka miliki. Laras tak ingin hubungan ini selesai, justru ia berharap hubungan itu baru akan dimulai. Sebenar hubungan saling menyayangi dan saling mendoakan.

“Apa hal yang paling kamu suka dari dia dan masih kamu inget?”
“Aku paling suka kalo dia cerita. Suatu saat nanti aku pingin denger dia cerita lagi”, Laras tersenyum.
“Yakin? Trus kalo Mas Arsiteknya marah gimana?”
Hehe. Sejenak Laras melupakan dukanya. Sebentar mengingat masa depannya. Ia sangat ingin mengenal seorang yang ahli desain, seorang arsitek.
“Aku pernah bilang ke dia. Suatu saat nanti kalo kami udah gak sama-sama, dia bakal gampang dapet seseorang yang lain, kalo dia mau...”
“Kenapa?”
“Dia itu romantis...”
Agis menunggu kalimat selanjutnya,
“Dan setia”
Laras menutup wajahnya dengan bantal.
“Iya sih, buktinya pasca kalian putus kamu udah berapa kali coba fall in love sama yang lain, dia masih bertahan sama perasaannya ke kamu".
"Sayangnya dia galak!” sergah Agis.
"Selain itu, dia juga suka lebay. Terkadang juga childish, paling males kalo udah gitu", kenang Laras kemudian.

Laras membuka bantal dan tersenyum, seolah mengatakan: semoga kita cepet menemukan pelabuhan hati kita. Kalaupun kita jodoh, aku harap kita ditemukan sebagai pribadi baru yang bisa lebih saling memahami, bukan menyakiti. Ia juga tak pernah tahu kapan akan menghubungi atau sekedar menegur, sebab biasanya ialah yang dihubungi lebih dulu jika mereka sedang ribut. Laras sangat menyesalkan perang dingin ini, seperti sebuah dinding yang menumbuhkan jeruji peghalang di antara mereka berdua. 

Biarlah aku mengucapkan selamat dalam doa, semoga kamu pun ga berhenti berdoa. Kini seperigi doamu telah menemukan pemiliknya. 

~~~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar