Laman

Selasa, 20 September 2011

“Melaripagikan Hati”



Aku baru saja terjaga. Kuperhatikan isi kamar yang sudah 4 hari kubiarkan, kutinggal pergi. Aku belum tahu pukul berapa sekarang ini. Lampu kamar masih padam, hanya ada suara benda kecil yang bertuliskan angka melingkar. Pikiranku mungkin belum sepenuhnya kembali dari alam sana. Tapi aku ingat, keterjagaanku ini karena sebuah sms yang baru saja masuk.
Kuraba sebentar bagian bawah bantal dan segera kutemukan benda mungil itu. Ternyata masih pukul 3 pagi. Siapa yang kurang kerjaan mengirimiku sms sepagi ini? Tapi sudah ada satu orang yang muncul dalam benakku, mungkin itu sms darinya, semacam sms membangukan sahur atau tahajud.
Deg!
Instingku masih bekerja dengan baik, entah kenapa aku masih terlalu peka untuk setiap hal yang berkaitan dengannya. Selesai membaca sms yang tak lebih dari 3 kata itu, kembali kurengkuh guling yang beraroma apek. Sambil lelap aku berpikir.
Meski hanya 3 jam, tapi aku merasa tidur nyenyak setelah terbangun karena sebuah sms. Tepat pukul 6 aku lompat dari kasur tipis menuju kamar mandi, aku kesiangan lagi untuk sholat subuh.
Jogging, Dan?” tanya Mas Yudi saat kubuka kunci pintu depan.
“Eh, Mas. Iya nih, duluan ya!”
Matahari baru muncul di Timur sana, kupacu sekenanya langkahku yang berlari kecil sebagaimana orang lari pagi. Aku menuju Graha Pura (GP). Tentu hari ini akan ramai di sana, inikan akhir pekan. Lapangan kampus yang telah menjadi fasilitas umum itu memang salah satu spot yang tepat untuk berolah raga atau sekedar ngobrol santai.
Sekitar 10 menit aku akan sampai di GP. Dalam perjalanan sebenarnya aku masih melanjutkan pikiran 3 jam lalu. Tiga kata dalam pesan yang kuterima masih belum sepenuhnya bisa kucerna. Besok jogging yuk! Kenapa tiba-tiba ia mengajakku, padahal selama ini kami tak pernah sekalipun “jalan”.
Ponselku berdering lagi, firasatku mengatakn itu sms darinya. Aku baru ingat belum membalas smsnya. Sibuk ya? Yaudah lain waktu aja. 2 bulan lagi jg gpp, setelah kamu balik dr kampung. Aku memang mulai berkeringat karena berlari-lari kecil menuju lapangan kampus. Dan sms darinya membuat keringatku semakin deras, bercampur gugup. Segera kubalas dengan singkat, ak udh di gp. Terkesan naif memang.
Kuperhatikan sekeliling GP dengan seksama, mencari-cari siapa tahu iapun sedang mencariku dari sudut yang lain. Sementara di sisi kiri matahari telah naik sebatas bahuku.
“Maaf ya lama, abisnya kamu ga ngasih kepastian tadi pagi”, tiba-tiba ia sudah duduk disampingku, dengan senyum yang sepertinya telah disiapkan sejak dini hari tadi. Aku paham. Sudah biasa.
“Ganggu orang aja sms jam segitu”, ujarku ragu.
“Oh, keganggu ya. Trus kenapa kau udah ada di sini duluan?” nada suaranya mulai meledek. Aku senang mendengarnya. Kutatap lekat-lekat beberapa tiang bendera yang berdiri kokoh di seberang jalan tempat kami duduk. Padahal aku lebih ingin menatap lekat wajah yang telah lama kurindukan matanya, dan mungkin akan menjadi lebih lama jika nanti aku pulang saat libur akhir semester.
“Ya memang aku mau ke sini dari kemaren”, entah kenapa aku seperti termakan gengsi, padahal ingin sekali kukatakan bahwa aku merindukannya setelah seminggu tak bertemu di kampus pasca ujian akhir semester.
Ia menyelonjorkan kakinya sambil ber-huh. Aku tahu ia mulai kesulitan. Sebab biasanya aku langsung terbujuk oleh usaha-usaha kecilnya seperti ini. Tapi maaf jika aku telah bosan. Aku lelah menjadi orang “bodoh” di depannya.
Sejak hampir setahun lalu kami tak lagi berhubungan khusus, ia memang kerap menarik ulur perasaanku. Mungkin ia tahu betul bahwa aku sungguh-sungguh dengan perasaanku yang sampai saat ini kuendapkan sekenanya di kubangan tak berdasar. Sampai sekarang aku masih tak memahami alasannya memutuskan hubungan kami. Yang kutahu, aku masih menyayanginya, terlepas dari segala tindakannya yang kerap menyakitkanku.
“Kamu jadi pulang lusa?” bukanya lagi.
Aku mengangguk saja. Kulihat ia melihatku dengan tatapan putus asa. Tapi kubiarkan saja. Mungkin benar apa yang ia katakan di akhir hubungan kami waktu itu, kita itu sama-sama keras.
“Kamu tahu kenapa aku ngajak kamu ke sini?”
“Tahu” jawabku datar.
“Apa?” ia bersemangat.
“Kamu kangen sama aku tho?”senyum simpul tak bisa kubendung lagi. Segera kutangkap ekspresi wajahnya yang tersipu menahan senyum. Aku suka melihatnya pura-pura tak paham begitu. Kini mimiknya dibuat datar. Aku sudah menduga.
“Kalo diem berarti bener”
“Kamu kok sok tau gitu sih!”
“Iya apa enggak, udah bilang aja”
“Paling juga kamu yang kangen sama aku”, bibirnya mulai bersungut-sungut manja.
Ada angin yang tiba-tiba melintas di antara kami. Seolah tak tahan melihat kekonyolan kami menahan rindu, berpura-pura tak tertarik dengan obrolan. Sejenak kepergian angin membuat suasana hening. Aku menikmati getar-getar yang telah sejak tadi merambat dalam hati.
“Trus kenapa kamu ngajak aku ke sini?” kali ini aku serius, kuberanikan diri untuk berputar 90 derajat ke arahnya. Ia salah tingkah.
“Ada hal penting yang mau aku bilang ke kamu, sebelum kita ga ketemu 2 bulan, sebelum kamu pulang”
“Hal penting apa?” sebisa mungkin kubuat biasa pertanyaanku.
“Tapi kamu janji dulu, kamu ga akan marah”
“Tergantung”
“Yaudah kalo gamau janji aku ga usah bilang aja”
Ah! Lagi-lagi ia menyudutkanku di posisi yang tak mengenakkan. Tentu aku penasaran. Bisa berdua dengannya dalam posisi sdekat ini saja aku sudah tak tahu bagaimana menggambarkan kebahagiaan. Akhirnya aku mengiyakan permintannya. Aku janji tidak akan marah. Sebab kusadari memang, aku kerap tak mampu menguasai diri saat perasaanku dibuat tak nyaman oleh sikap dan kata-katanya.
Aku pernah terbakar cemburu saat melihatnya begitu akrab berkomentar di facebook dengan temannya. Sementara denganku ia tak serespek itu. Bahkan beberapa wall  yang kukirimkan padanya tersia-sia, dan pernah kuhapus sendiri karena merasa diabaikan. Apalagi jika membaca statusnya yang beraroma cinta, jatuh cinta tepatnya. Tapi ia bukanlah seorang yang picisan. Aku paham betul, ada kode-kode tertentu dalam status yang dibuatnya, dan anehnya aku kerap menangkap pesan dibaliknya. Beberapa waktu lalu kulihat ia menuliskan Teknik  Arsitektur di  statusnya.
“Menurutmu, kenapa sih kita sering tiba-tiba berantem trus akur, berantem lagi, akur lagi”
“Maksud kamu?”
Ia diam, seperti memikirkan kata-kata yang tepat untuk dikatakan. Sambil menunggunya menjawab, pikiranku terus berjalan mundur mengingat beberapa kelakuannya yang sempat membuatku sesak. Aku ingat betul ia beberapa kali sliweran dengan temannya, laki-laki, dengan sepeda motor. Padahal denganku, sekalipun kami tak pernah. Aku tahu ia punya basic anak rohis yang katanya harus jaga jarak dengan pria, api melihat kenyataan seperti itu? Ah, tak hanya satu dua kali aku dibuat berpikir keras begini menyaksikan keanehannya. Tapi entah kenapa ia selalu bisa menunjukkan bahwa ia bisa membedakan mana konteks agama dan mana hubungan sosial.
“Kamu nyadar ga sih, seminggu lalu tuh kita diem-dieman sampe smsku ga kamu bales, padahal itu penting banget. Aku ga ngerti ya. Mungkin aku emang nyebelin, tapi please bedain kondisi antara masalah pribadi dan hubungan sosial kita, apalagi menyangkut organisasi”.
Kata-katanya mulai melebar, nyamber sana-sini. Aku mulai tersulut emosi, tapi kutahan karena janji.
“Sekarang kamu lagi ngomongin konteks apa? Ya, biar aku ga salah nanggepin”, aku berhasil bersikap biasa.
Ia diam. Aku tahu ia bingung dengan kata-katanya sendiri. Aku tahu ke mana arah pembicaraannya, tapi kubiarkan saja. Aku sedang tak berminat membicarakan hal itu.
“Aku cuma capek bolak-balik berantem sama kamu hanya untuk masalah sepele”.
Kamu lagi ngomongin apa sih!
“Aku pingin kita akur”.
Aku mulai tak paham dengan kata-katanya.
“Sekarang kamu lagi deket sama siapa?”
Spontan kulihat wajahnya, siapatahu kutemukan kode-kode tertentu dari sana.
“Deket sama kamulah”, masih kuperhatikan wajahnya.
“Aku serius, Danu”
“Loh. Bener kan? Sekarang aku tanya, kamu lagi deket sama siapa? Jujur!”
“Aku gak lagi deket sama siapa-siapa”, kulihat ia mengambil ponselnya yang tadi diletakkan di antara kami, baru saja benda itu bersuara.
Bahkan kamu gak nganggep aku di sini? Setidaknya kamu jawab kalo kamu lagi deket sama aku!
“Trus kenapa kamu nanya aku lagi deket sama siapa?”
“Ya aku cuma pingin tahu, siapa tahu kamu lagi deket sama seseorang dan aku ga tau. Aku cuma pingin ngingetin bahwa dulu, kita punya semacam kesepakatan. Bahwa setelah kita ga bareng lagi, kita harus cerita kita lagi deket sama siapa, sebagai tanda bahwa kita akur. Aku pingin kita jadi temen deket, Dan. Aku gamau kita jadi orang yang saling menjauh. Aku pingin kita  jadi yang paling tahu apa yang terjadi dengan kita”.
Benar. Kesanalah arah pembicaraannya.
Kuputar posisi dudukku ke arah semula. Aku sudah tak sanggup membayangkan kata-kata apalagi yang akan ia keluarkan, kata-kata yang mengingatkanku pada posisi paling menyakitkan sepanjang usiaku. Posisi dimana ia membuatku jatuh saat baru saja sampai di puncak kebahagiaan menemukan cinta.
Seandainya perasaan ini bisa hilang, sebagaimana ia yang begitu mudah melupakan semuanya. Aku tak tahu kenapa masih juga bertahan pada perasaan ini. Jika Kau buat ia siap bersama dengan yang lain, kenapa tak Kau buat siap pula aku menerima kebersaman mereka, Tuhan. Aku tahu setelah perpisahan kami ia memiliki semacam perasaan ke banyak orang lain. Aku tau ia tipe wanita yang mudah jatuh cinta, tidak sepertiku.
“Trus sekarang mau kamu apa?”
“Kok pertanyaanmu jadi ketus gitu?”
“Hah!”
Hah-ku membuatnya tertunduk.
Aku benar-benar tak mampu mengerti apa maksud semua ini. ia seperti masih saja mempermainkan perasaanku. Sudah kutimbun perasaan ini di kedalaman sana, walau terkadang aku khilaf membukanya lagi. Mungkin ia paham bahwa aku telah berusaha untuk melepaskan semua ini, tapi pasti ia lebih paham bahwa ini bukan hal mudah.
Aku tahu bukan orang yang sempurna, tapi adakah keempurnaan lahir dari kesempurnaan itu sendiri? Omong kosong! Kesempurnaan hanya akan tercipta jika ada bagian-bagian yang saling menyadari kekurangan. Aku menyadari, kenapa ia tidak, Tuhan?
“Aku pingin punya teman dekat anak arsitektur...”
Plak! Seperti ditampar dari kejauhan, tepat di wajahku. Apalagi ini!
“Udah dapet kan?”
“Belum...”
“Trus aku mesti gimana...?” nada suaraku melemah.
“Kamu ga mesti gimana-gimana, Dan. Aku cuma pingin kita saling melepaskan. Kamu masih inget ga MP3 yang aku kasih ke kamu. Bahwa melepaskan bukan berarti melupakan. Aku pingin, kamu lepasin aku, relain aku pergi dari kamu. Aku ga tega lihat kamu sesak tiap aku deket dengan orang lain, Danu. Terserah kamu mengakui ini atau enggak, tapi itu yang selama ini aku rasain. Kamu pikir aku tenang tiap kamu meracau di status dan blog? Aku merasa terbebani Dan. Aku merasa salah. Tapi aku bisa apa kalau ternyata perasaanku ke kamu ga sekuat apa yang kamu rasain ke aku. Maaf kalau aku sok tahu...”
Matahari memang belum tiba di puncaknya, tapi batinku sudah seperti tersengat cahaya tengah hari. Aku tak mungkin melanjutkan pagi ini di sini. Mungkin lebih baik kuselesaikan barang bawaanku untuk pulang kampung lusa. Tak ada lagi yang bisa kukatakan. Aku bangkit, bergegas menuruni tangga dengan mata yang begitu panas.
Ia memanggilku lemah, aku tahu ia telah menangis lebih dulu. Aku tahu! Sekali lagi ia memanggilku, menahan langkahku di tengah tangga. Kakiku melemah dan kembali terduduk. Aku sudah janji tak akan marah, aku harus menahan diri. Tapi aku tak mungkin menanmpakkan kelemahan ini.
“Aku juga pingin ngelepasin kamu, aku pingin banget...”
“Maafin aku, Danu”

Banyak hal yang mungkin belum ia sampaikan pagi ini, aku tahu. Tapi aku sudah tahu.
***

Kafe Senja, Juli 2011

1 komentar:

  1. wah, udah lama nggak mampir ke cafe senja nih.. tambah keren aja tampilannya.
    oya, fontnya kecil banget, bacanya capek.. digedhein donk.. hehe..
    semangat ya mpok..

    BalasHapus