Laman

Jumat, 04 April 2014

Ulasan Film The Raid 2: Ketika Ambisi Memutus Akal Sehat

Baru-baru ini Metro Tv memberitakan bahwa film “The Raid 2: Berandal” dilarang diputar di Malaysia. Saat diberitakan, belum ada alasan jelas mengenai pencekalan tersebut. Di sisi lain, seorang produser film Mengejar Setan yang juga ketua Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI) menyampaikan kekecewaannya karena pemerintah memberikan apresiasi terhadap film yang kaya akan muatan kekerasan itu. Dalam kutipannya, ia mengatakan, “Pemerintah selalu menuntut PPFI dan anggota di dalamnya memproduksi film yang berisi kebudayaan, pendidikan, dan kearifan lokal lain. Namun, tidak ada apresiasi. Kalau memang lewat kekerasan, tinggal saya bilang sama anggota untuk bikin”  (Lampost, 3/3/14).
Pertama saya ingin menanggapi pelarangan pihak Malaysia. Bagi yang  telah menonton film ini, tentu masih mengingat bahwa ada scene tentang kebudayaan Indonesia yang ditampilkan yaitu Reog Ponorogo. Saya menduga, negara yang sedang terbentur masalah tragedi pesawat hilang itu hanya “tengsin” karena ternyata Indonesia telah berhasil menyampaikan pada dunia bahwa Reog ada di Indonesia meskipun Malaysia pernah mengklaim bahwa itu kebudayaan mereka. Entahlah.
http://www.imdb.com/title/tt2265171/?ref_=rvi_tt
Kemudian, mengenai kekecewaan ketua PPFI. Jujur, di awal artikel saya sempat termakan dan setuju dengan argumennya, tetapi saat di akhir disampaikan bahwa dia adalah seorang produser dari film yang saya belum menonton tapi tayang hanya sebentar di bisokop, seketika apa yang telah ia paparkan jadi subjektif. Ya, lewat film The Raid 2, bagi yang mengenal Indonesia, mungkin akan agak terkaget-kaget sebentar. Bahwa Indonesia terlepas dari adanya keterlibatan negara lain—yang mungkin juga punya maksud lain dalam film ini—bisa menghasilkan film keren. Tapi setelah kekagetan itu, saya pikir penikmat film tidak lagi peduli pada hal-hal di luar ketakjuban dan apresiasi.
Saat menonton film-film Hollywood—dalam hal ini patokannya memang Hollywood—apakah hujatan terhadap negara pembuat film itu penting? Kecuali mengandung SARA, saya pikir, sama dengan sastra yang tak jarang memutarbalik fakta, nilai, dan norma, film juga suatu karya yang ketika ia dilempar ke masyarakat, maka ia menjadi sesuatu yang otonom, lepas dari segala keterikatan penulis, produser, sutradara, apalagi negara asal. Setelah produksi selesai, maka tugas selanjutnya ada pada audiens untuk mengapresiasi dan mengkritisi.
Saya akui, kekerasan yang disajikan dalam film The Raid 2 memang telah mencapai taraf ‘sadis’. Film sadis yang terakhir saya tonton adalah “The Pianist” yang digarap Roman Polanski tahun 2002 tentang kekerasan pada bangsa Yahudi. Seringnya penggunaan benda dan senjata tajam serta proses ‘pembunuhan’ yang selalu brutal membuat film The Raid 2 lebih mengerikan dari film horor. Bahkan saat menonton film ini, intensitas menutup mata dengan beberapa jari tangan jauh lebih tinggi ketimbang saat saya menonton film-film horor seperti Insidious, The Shelter dan Mama. Kengerian dalam film ini sungguh di luar ekspektasi sebagai orang Indonesia yang dikenal sebagai bangsa sopan. Atau jangan-jangan, melalui film ini, penggarapnya ingin menyadarkan bahwa sebetulnya sekarang sifat-sifat baik bangsa ini sudah tidak lagi seperti yang dulu begitu lekat. Nah lo.  
Hanya saja, penonton yang objektif, akan melepaskan hahal eksplisit bersifat pemanis dan justru masuk ke ranah implisit yaitu “nilai” dan pesan moral. Nilai positif yang saya dapatkan antara lain etika balas budi serta hubungan kekeluargaan. Bahwa seorang berandal, pembunuh sadis sekalipun, mereka tetap mengutamakan keluarga. Adegan-adegan di mana para tokoh yang juga seorang Ayah merindukan anak adalah bagian yang cukup berkesan di antara cucuran darah yang mengalir saat pembantaian. Apalagi, selain menampilkan salah satu kebudayaan Indonesia tadi, film ini juga memperkenalkan tentang hal-hal unik negeri ini yaitu tempe, bahasa gaul “elo gue”, dan seni bela diri.  
Termasuk ada juga kritik terhadap pemerintahan Indonesia. Suatu karya, sastra dan fiksi tidak lahir dari kekosongan, pendapat ini berlaku di sini. Ingatkah pada scene saat terjadi mediasi antara kelompok Indonesia dan Jepang yang tersandung konflik karena ada pihak lain yang ingin merebut wilayah kekuasaan mereka? Ada kesan, tokoh yang ditunjuk sebagai mediator adalah pemimpin Indonesia. Lebih jauh, pada bagian ini saya menangkap sindiran mengenai para penguasa negara yang suka sembarangan memperjualbelikan wilayah Indonesia secara sepihak demi keuntungan pribadi.
Ada dialog yang saya ingat begini, “Kita serahkan Menteng dan Sabang buat mereka”. Seolah negara Indonesia adalah milik pribadi yang bisa ia perjual-belikan seenaknya. Orang Indonesia mestinya paham masalah ini.  Ambisi, inilah tema besar yang disebarkan sepanjang film. Gara-gara ambisi, seorang anak sampai hati menembak kepala ayahnya di depan banyak orang. Ambisi juga bisa menguatkan seseorang meninggalkan keluarganya. Dan yang terparah, mengorbankan bangsa sendiri.
Di samping itu, saya dapatkan juga beberapa anomali atau hal di luar nalar dalam film The Raid 2. Pertama adalah latar salju. Dunia tentu tahu bahwa Indonesia adalah negara yang tak mengenal musim di mana salju akan turun. Jika bukan disengaja agar mendapat “perhatian” penonton, tentu ada pertimbangan lain yang melatarbelakangi keputusan dari penggarapnya. Yang jelas, latar salju itu membuat film semakin dramatis karena darah yang merah pekat yang mengucur tumpah di atas salju yang berwarna putih. Kedua, bagaimana tokoh utama bisa bertahan dalam pertempuran hebat menghabisi seluruh “penjahat” termasuk kelompok Bejo. Padahal saat diminta datang untuk menolong, ia sedang mengerang kesakitan karena baru saja selesai bertarung menghadapi serangan di taksi di mana tubuhnya terluka karena terkena benda tajam.
Namun, kembali pada ketua PPFI tadi, poitnya tidak terletak pada tema kekerasan atau bukan. Sebagai orang yang awam dengan sinematografi, saya sangat percaya bahwa sebuah film akan menemukan penontonnya masing-masing. Jadi, apresiasi tak bisa dibeli dengan apapun kecuali ‘kualitas’. 

***Saya pernah menyesal, karena sebelum menonton film The Raid sequel pertama saya terlanjur mendjudge bahwa film itu buruk dengan muatan kekerasan, nyatanya, setelah menonton di laptop dugaan saya langsung hambar tertutupi oleh dahsyatnya sound system. Jangan sampai kamu kelewatan menikmati sensasi sound bioskop ya! :) Grab the ticket now! Durasinya dua setengah jam, tapi gak akan terasa lama. Kecuali pas kamu bayar biaya parkir yang tiga kali lipat lol





Tidak ada komentar:

Posting Komentar