Laman

Minggu, 06 April 2014

RELAwan?

Prolog: Saya sedang mencari pekerjaan? Salah! Saya mencari Kesibukan yang Resmi #KR itu baru betul. 

Suatu hari seseorang menawari apakah saya mau menjadi salah satu relawan Pemilu tanggal sembilan April 2014. Sontak saya bilang, "Mau sih. Tapi kemungkinan tanggal segitu aku gak di rumah. Barusan dikabari salah satu perusahaan tentang sinyal positif. Kalau aku tetap daftar tapi nanti gak jadi ikut, bermasalah ga?"

Dia jawab," Ya daftar aja dulu. Nanti ada upahnya Rp 100.000." katanya sambil menyodorkan formulir pendaftaran dan pergi. 

Kalau boleh jujur, saya merasa terhina dengan informasi mengenai upah itu. Tapi sudahlah, memikirkan halhal yang sifatnya "pemanis tambahan" sering jadi awal buruk dalam pewujudan niat baik. Formulir saya lengkapi dan saya serahkan langsung ke ybs.

Waktu bergulir dan sinyal positif itu belum juga jadi kenyataan sampai waktu menjelang masa pencoblosan. Saya pun bertanya, sebab tak ada pula gaung lanjutan dari hal relawan itu.

"Relawannya gimana?"

"Gak jadi. Gaada duitnya. Dibatalin semua." Jawaban itu muncul dalam ekspresi datar yang cenderung kecewa. Saya hanya ber"oh".

Di hari yang lain, seseorang yang punya kewenangan lebih mengenai birokrasi desa menanyakan sesuatu.
"Kemarin daftar jadi relawan pemilu ya?"
"Iya. Tapi katanya gak jadi kan..."
"Ya gimana. Namanya relawan kan tetap butuh uang transport."

Sejenak saya terdiam menghentikan aktivitas saya. Kalau saja dia tak berusia sepantaran orangtua saya, pasti sudah saya sembur dia dengan kejengkelan. Tapi saya akhirnya justru mengatakan,

"Mungkin terlalu banyak yang daftar sebagai relawan. Lagi pula, yang namanya R E L A wan itu ya mestinya kan nyatanyata rela melakukan sesuatu untuk oranglain secara ikhlas tanpa pamrih."

Satu yang saya ingin tanyakan, apakah fenomena "RELAWAN" macam ini hanya terjadi di Indonesia atau negara lain juga? Sebagaimana kasus "Kampanye Uang" yang marak terjadi jelang Pemilu, saya percaya bahwa masyarakat bukanlah inisiator dari kebusukan ini. Adanya kondisi dan situasi di bawah ratarata secara finansial menjadikan mereka yang punya kepentingan dan kekuasaan telah mendidik orang awam untuk selalu jadi seperti lemari soft drink yang baru akan terbuka saat dijejali koin. 

Ada perubahan raut wajah dari orang itu setelah mendengar pernyataan saya. Agar suasana tak jadi rusak, dia menambahkan,

"Bisa jadi. Sebetulnya ya gak batal. Hanya dikurangi. Semula direncanakan ada relawan di tiap Tempat Pemungutan Suara #TPS jadi hanya terbatas dua orang tiap desa."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar