Laman

Jumat, 04 April 2014

Opini Tanggapan

Tulisan saya tempo hari yang bermula sebagai tanggapan atas opini seseorang sebelumnya, kini mendapat tanggapan dari orang lain.  Bang Andre Saputra, poin ini, saya suka dan ini sebetulnya yang ingin juga saya sampaikan dalam artikel sebelumnya. Walaupun masih jauh dari kata sempurna, senang rasanya mendapat tanggapan dan bahkan 'maksud'nya ditangkap dan diperjelas. Semoga apapa yang sudah dan akan lahir sebagai opini bisa makin mempermudah proses pelahirhadiran FIB di Lampung. Ini kalimatnya: "sehingga kebudayaan Lampung kelak di FIB menjadi kajian yang menarik bila dikomparasikan dengan budaya di luar Lampung

Opini | Lampung Post, Jumat, 4 April 2014

Harmonisasi Empiris dan Teoretis
Andre Saputra
Pengamat budaya, tinggal di Bandar Lampung

ANTISIPASI Destaayu Wulandari (Lampost, 20 Maret 2014) terhadap opini Hardi Hamzah, Urgensitas FIB di Unila (Lampost, 14 Maret 2014), sungguh menarik. Penulis menangkap, Hardi Hamzah lebih mendahulukan empiris, sedangkan Desta menekankan pada science. Keduanya tidak ada yang salah. Hardi tidak keliru karena ia melihat urgensitasnya, Desta lebih berhati-hati karena menginginkan epistemologi didahulukan, dan penulis anggap Desta lebih induktif pendekatannya.

Menurut hemat penulis, bila dosen yang diambil adalah mengutamakan empiris, ini semata karena Bung Hardi ingin FIB, berdiri sajalah dulu. Sementara Desta lebih melihatnya sebagai usaha membangun fondasi FIB, harus dengan kerangka dan sistem yang terencana dan teoretis. Penulis katakan keduanya tidak ada yang keliru, mengingat kalau merujuk ke Desta, bisa saja kita mendapatkan dosen terbang yang qualified.

Hardi ingin sesegera mungkin karena sulitnya mendapatkan dosen, walaupun hal ini sumir, penulis lebih ingin melihat adanya harmonisasi antara empiris dan epistemologi sains sosial. Artinya, kita mulai sajalah dulu, lalu formulanya akan terumus, dalam arti kalau sudah dimulai dengan dasar keberanian menafikan sarjana (baca S-1 empiris), kelak segala sesuatunya menyusul, seperti mendatangkan dosen tamu, dosen LB, dan lain lain yang keduanya bervisi sama, FIB segera saja dimulai.

Dalam konteks lain, secara substansial, penulis justru tertarik bila FIB didirikan, kelak FIB lebih memprioritaskan pada aspek antropologi budaya, meskipun tidak harus melupakan antropologi ragawi sebagai instrumen lampunologi. Toh, dulu pada dasawarsa 1980-an, UGM memasukkan Fakultas Antropologi di Fakultas Sastra. Ini artinya, sudut pandang atau subject matter-nya beresensi pada sosiologi perilaku, katakan demikian.

Tawaran antropologi budaya lebih diprioritaskan karena indikator budaya Lampung akan lebih impresif bila ada esensi pembuktian antropologi sehingga kebudayaan Lampung kelak di FIB menjadi kajian yang menarik bila dikomparasikan dengan budaya di luar Lampung.

Antropologi budaya juga simultan merespons usaha-usaha merekatkan antara, pencarian tentang fakta-fakta kelampungan, pun juga sebagai rujukan atau kompromi terhadap disparitas sosial Lampung yang multietnik. FIB kelak, menurut hemat penulis, mampu menjadi sentral kegiatan antarkebudayaan dan arkeolog dalam dimensi antropologi tadi.

Mengingat variabel budaya sebagai postulat ide cemerlang dan gagasan yang hidup serta kesejarahan yang bermakna perspektif. Oleh sebab itu, bila FIB menekankan pada antropologi sosial, selain tentu tidak menafikan ruh FIB yang mempunyai premis-premis dasar tersendiri.

Lebih lanjut, bila aksentuasi pada antropologi budaya, kelak kita akan sampai pada diskusi tentang, adakah peninggalan Lampung yang sophisticated, misalnya saja, misteri kerajaan Tulangbawang, tidak akan berhenti pada Megow Pak saja, tetapi FIB bisa menjadi penerang bagi pencarian nilai-nilai budaya dan kesejarahan.

Walaupun penulis memahami atau lebih tepatnya memaklumi, fakultas ilmu budaya adalah fakultas yang mengandung banyak variabel penting, baik secara teoretis, apalagi secara empiris. Harmonisasi antara teoretis dan empiris, seperti yang penulis ajukan di atas, semata-mata untuk mendorong kekuatan FIB dalam implementasinya karena tidak mungkin FIB Unila di tengah multietnik akan berada di ruang hampa.

Vacum space, hanya bisa terjadi bila, pertama, FIB hanya mengkristalkan teori. Kedua, bila dosennya merupakan dosen sisa, dalam arti FIB mendapatkan dosen S-2, tetapi energinya sudah terkuras di tempat lain, ini soal administratif tersendiri.

Namun, kalau FIB mau tidak mau akan mengalami hal di atas, tentu FIB membutuhkan stimulasi empiris dari staf pengajarnya. Emha, misalnya, budayawan yang hanya empat bulan di Fakultas Ekonomi UGM itu, mumpuni sekali untuk mengisi ruang hampa itu, selain yang telah disebut Hardi Hamzah pada opininya.

Ekslarasi berdirinya FIB, seyogianya tidak terjebak pada pemikiran birokrat atau menara gadingnya kampus, tetapi cobalah, semangatnya lebih praksis tanpa harus meninggalkan kaidah dan hakikat dasar berdirinya FIB. Ini ingin penulis tekankan, mengingat sering kita terperangkap dengan birokrasi, administrasi, dan yang lainnya sehingga FIB bisa saja sampai sepuluh tahun lagi tidak berdiri, ini tentu tidak kita harapkan.

Penulis menyadari, dua opini Hardi Hamzah dan Destaayu Wulandari merupakan respons positif, tetapi lebih patut disadari lagi mengaktualisasikan FIB setelah berdiri di dalamnya harus ada rajutan-rajutan pemikiran esensial, baik tentang kelampungan itu sendiri maupun kepiawaian dosennya untuk masuk ke suasana kebatinan multietnik, sehingga dinamika yang ada di FIB kelak mampu mengembangkan realitas sosial yang ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar