Laman

Senin, 15 November 2010

“Ayah Tak Pulang, Nak”

#1

Senja bersiap pulang. Di teras rumah, seorang Ibu dan Anak Perempuannya duduk di kursi. Tatapannya kosong. Wajah sang ibu semakin gusar saat senja benar-benar pulang dan adzan maghrib berkumandang samar.

Ibu                  : (Memandang putrinya dalam, seperti menahan marah)
Gita                  : (Balik memandang ibunya, tak paham. Seolah dalam hatinya bertanya, ‘Ada apa denganmu , Ibu?’)
Ibu                  : Papa kamu itu memang keterlaluan!
(Tiba-tiba dari dalam Gina muncul sambil setengah berteriak, kepalanya terbungkus handuk)
Gina               : Ibu sama Gita ngapain sih? Maghrib-maghrib pada asik di depan pintu. Nyamuuuuuuk!!! (dengan perasaan kesal Gina kembali ke dalam).

#2
Di ruang makan.
Hampir malam. Seorang ibu sedang sibuk menyiapkan makan malam. Sementara putrinya sibuk memperhatikan pintu. Sebentar ia duduk, kemudian berdiri memperhatikan pintu, sebentar memperhatikan ibunya, kemudian duduk.
Ibu 2               : (Tetap konsentrasi menyiapkan makan malam, ia mulai mengisi dua piring di meja dengan nasi dan lauk, kemudian mulai menyantap makan malam. Melihat putrinya gusar, ia berhenti sebentar) Sekar…
Sekar              : (Tak menjawab, terus gusar di dekat pintu)
Ibu 2               : Sekar, kamu kenapa belum makan?
Sekar              : (Berhenti mondar-mandir, memandang ibunya) Ibu kenapa sudah makan?
Ibu 2               : Nanti makanannya dingin, Nak
Sekar              : Ibu tak menyiapkan satu piring lagi untuk ayah?
ibu                  : (Menghela napas, kemudian tersenyum getir) Malam ini Ayahmu tak pulang, Nak
Sekar              : Kenapa ayah tak pulang? Kemarin kan ayah sudah tidak pulang???
Ibu 2               : Sudah sudah, kamu makan saja dulu ya
Sekar              : (Menatap ibunya penuh tanya. Kemudian duduk di kursi makan).

Baru sebentar duduk, tiba-tiba terdengar ketukan pintu agak keras dan seperti yang mengetuk sedang tergesa-gesa, tanpa salam. Sekar turun dari kursi dan bergegas membukakan pintu.

Sekar              : (Sambil berlari kecil) Ayah pulang! (Kreek, suara pintu dibuka)
Bude Puri      : (Ingin bergegas ke dalam, namun tertahan olek ekspresi Sekar)
Sekar…
Sekar              : (Menatap kesal dan meninggalkan Bude Puri begitu saja)
Ibu 2               : (bertanya dari meja makan) Siapa yang datang, Nak?

Sekar kembali duduk di kursi makan. Tak menjawab pertanyaan Ibunya. Kemudian Bude Puri jalan tergesa-gesa mendekati Ibu Sekar
Bude Puri      : (Menggeser kursi dan duduk)Suamimu mana, Nduk?
Ibu 1               : (Mengerutkan dahi) Ada apa, Mbakyu?
Bude Puri      : (Memandangi sebentar ekspresi adiknya yang mencoba datar) Mbak mau pinjam duit, barusan petugas Bank mampir, Mas Yanto lagi sakit, karena belum punya duit, mbak bilang lusa baru bisa bayar tunggakan
Ibu 2               : Mbak sudah makan? (Datar, sambil terus mengunyah makan malam)
Bude Puri      : Mbak lagi serius, Nduk! (Menekan suara)
Ibu 2               : (Berhenti makan, memperhatikan putrinya yang diam memangku dagu) Sudah dua hari Sekar bersikap seperti ini mbak, dan saya masih bingung harus berbuat apa. Ayahnya pamit pergi ke rumah temannya dua hari lalu, mau cari pinjaman modal katanya. Mbak tahu sendiri kan, sudah hampir satu bulan Mas Aryo kehilangan pekerjaannya, gara-gara diberhentikan sebagai PNS
Bude puri      : (Memutar posisi duduk, menghadap meja, kemudian memandangi Sekar) Suamimu itu lo, Nduk. Udah mantep jadi PNS, kok ya malah mencla-mencle. Sibuk ngurusi bisnis sampingan (Terheran-heran, menggelengkan kepala)
Ibu 2               : (Berusaha tetap menutupi suatu hal) Aku sebagai istri ya sudah ngingeti Mbak, tapi suamiku itu keras kepalanya sudah akut…
Sekar              : (Memotong kalimat ibunya) Ibu ayah kapan pulang??? (teriak)

(Ibu 2 dan Bude Puri tercengang). 

#3
Di teras rumah, Gina sedang santai ngobrol dengan Yanti.
Gina               : (Sambil memegang setoples kudapan) Kamu nginep aja ya,  belakangan aku paleng di rumah. Mamaku itu lho, tiap hari uring-uringan melulu
Yanti               : (Membalik halaman majalah) Ya seharusnya kamu nenangin Mamamu, Gin
Gina               : (Menutup toplesnya) Nenangin gimana Yan? Aku sama Gita itu udah bosen. Lagian yang salah juga Mamaku sendiri

(Gita datang, pulang kuliah. Sejenak hening).
Gita                 : Kak Gina gak kerja? (Melepas sepatu)
Gina               :Libur Git. Kamu kok jam segini udah pulang?
Gita                 : Iya Kak. Dosennya mau kuliah juga katanya (menaruh sepatu di sudut teras) jadinya kita disuruh kuliah di rumah. Mama ada di dalam Kak?
Gina               :  (Melengos) Ya kamu tahu sendiri lah Git

Gita                 : (Menghela napas) Yaudah aku masuk dulu, yuk Kak Yan

Yanti       : Oh, iya Git (Tersenyum. Memperhatikan sampai Gita lenyap dari                                       pandangan)

(Tak lama setelah Gita masuk ke dalam, terdengar keributan kecil)
Ibu 1               : Kamu tahu gak, Mama itu malu sama tetangga, sama keluarga,
sama Koperasi bahkan sama Pemerintah!
(Hening)
Ibu 1               : (Terdengar isak tangis lirih)
Sekarang coba kamu bilang, Mama mesti gimana?

(Di luar, Gina dan Yanti saling pandang.)
Gina               : Sekarang coba kamu bilang Yan, gimana aku harus nenangin
Mamaku?
Yanti               : (Menghela napas) “Sabar ya, Gin… memang kalo boleh aku tahu,
ada masalah apa sebenernya?
Gina               : (Memandang kosong ke depan) Aku sebenarnya malu Yan cerita ke kamu, tapi setidaknya ini bisa mengurangi beban pikiranku (menunduk) Hampir sebulan… Papa menghilang (Jeda)

Hapenya jelas gak bisa dihubungi. Sebagai perantau, saudara Papa ada di seberang pulau sana, gak ada satupun yang bisa kami jadikan petunjuk (jeda).

Bahkan sebelum akhir-akhir ini Mama semakin kacau, kita uda sempet ke kantor polisi dengan membuat laporan orang hilang. Gila kan? Karena sebelum pergi, Papa kelihatan seperti orang linglung (berdiri, diam sebentar)

Hal parah yang kupahami adalah, Mama selalu menuntut Papa untuk menuruti Konsumerismenya. Kamu tahu Yan? Papa itu CUMA Pegawai Negeri! ( suaranya meninggi). Tapi sejak setahun lalu Mama terus menuntut dibelikan mobil (jeda, suara penjual bakso lewat. Ting… ting… ting… “bakso- bakso!")
Akhirnya, Papa nekat menjadikan Sertifikat- Kepegawaiannya ke Bank, untuk mengajukan pinjaman. Hasilnya, kamu tahu sendiri, Avanza yang sebulan lalu ditarik dealer karena kami telat bayar cicilan. Dan setelah itu Papa hilang entah kemana
Gita                 : Yaudalah Ma, nanti aku bantu semampuku (berusaha merendakan suara sejadinya) Aku akan cari kerja untuk bantu Kak Gina, aku akan ambil cuti kuliah se (tahun)…
Ibu 1              : (memotong) Kamu tahu, apa yang bikin Mama sampai stress begini? Bukan karena hutang-hutangnya papa, BUKAN! Ada hal lain yang bikin Mama hampir gila!!! (menekan kata gila)
#4
Di dalam Keremangan, keadaan begitu hening, hanya ada suara jangkrik yang mengiringi diskusi kecil antara dua orang pria.
Pria 1              : (Keluar dari mushola) Sampai kapan kamu mau sembunyi seperti ini?
Pria 2              : (Menyusul keluar. Membasuh wajah dengan tangannya) Saya belum tahu, Ki
Pria 1              : (Sudah duduk di teras) Setiap orang sudah punya jatah masalah masing-masing, berat atau ringan hanya tergantung pada sikap kita menghadapinya. Ingatlah, ini bukan lagi bagaimana perasaanmu, tapi juga orang-orang yang menyayangimu
Pria 2              : Ya Kyai, saya mengerti (duduk bersila di samping Pria 1) Lantas, saya harus melakukan apa Ki. Saya merasa belum sanggup menopang beban ini.
Pria 1              : (Melepas kopiah) Saya yakin, kamu pasti paham. Bahwa Tuhan sudah paham kapasitas kesanggupan kita untuk menghadapi setiap ujiannya (Kriik… kriiik, suara jangkrik)
Pria 1                  : (Melanjutkan) Tidak mungkin ada masalah yang tidak bisa diatasi. Yang penting kamu sudah mengakui kesalahan, selanjutnya adalah memperbaiki diri
Pria 2                 : (Bangkit dari duduk. Maju dua langkah, kemudian memegang tiang teras) “Setahun lalu, saya memutuskan untuk menikah lagi, secara syiri. Istri saya tidak tahu karena terlalu sibuk dengan urusannya. Dua anak gadis yang begitu saya sayangi, pun hanya terkungkung pada ketakberdayaan perang dingin orangtuanya (duduk di bangku)

Tapi jujur Ki, itu saya lakukan lantaran saya benar-benar tak tahan dengan perilaku istri pertama saya.Tapi akhirnya justru saya menyulitkan keadaan istri kedua saya. Saya sangat mencintai dia Ki. Ya, walaupun sebelumnya dia harus dipaksa menikah dengan pria lain, saya malu Ki belum bisa membahagiakan keluarga kecil saya. Ah! Sekar. Saya begitu merindukannya. Putri kecilku (pelan- pelan tubuhnya luruh ke lantai, meremas kepalanya)

(Suara Gitar Akustik lamat-lamat masuk, kemudian terdengar lirih lagu GIGI “Akhirnya”)

Kusadari akhirnya, kerapuhan imanku
Telah membawa, jiwa dan ragaku ke dalam dunia yang tak tentu arah
Kusadari akhirnya, Kau tiada duanya
Tempat memohon beraneka pinta, tempat berlindung dari segala mara bahaya
Oh Tuhan, mohon ampun atas dosa dan dosa s’lama ini
Aku tak menjalankan perintah-Mu, tak pedulikan nama-Mu
Tenggelam melupakan dirimu-Mu
Oh Tuhan, mohon ampun atas dosa dan dosa sempatkanlah
Aku bertobat hidup dijalan-Mu, tuk penuhi kewajibanku
Sebelum tutup usia kembali pada-Mu
O, kembali pada-Mu 
#5

Di lantai rumah, Sekar sedang bicara dengan bonekanya
Sekar              : Kapan terakhir kau bertemu  Ayahmu? (memandangi boneka)
Boneka          : (…)
Sekar              : Selama itu? dan kau tak merindukannya?
Boneka          : (…)
Sekar              : Semalam aku mimpi bertemu Ayah. Ia sedang sedih, wajahnya
murung. Tapi …
(Sekar mendekap bonekanya)
Sekar              :Apa kau tahu, kenapa ibu tak berusaha mencari Ayah?
Ibu 2               : (Pulang dari pasar, membawa sedikit belanjaan)
Sekar              : Ibu… apa ibu bertemu Ayah di pasar? (penuh harap)
Ibu 2               : (Meletakkan barang bawaannya, kemudian duduk disebelah sekar, mendekapnya, mengelus kepalanya)
            Sekar             :Kenapa ibu tak mengajak ayah pulang Bu?
            Ibu 2               : Sekar, jika waktunya tiba, Ayah pasti pulang Nak.
            Sekar             :Ayah bilang begitu? (polos)
Ibu 2               : Ayah pasti pulang. Bukan ibu tak ingin mencarinya, tapi justru karena  ibu tahu, Ayah pasti pulang pada kesederhanaan. Kepada kita, Nak. Ke rumah kita ini
Sekar              : Bu…(memandang lekat wajah sang Ibu)
Ibu                  : Ya, Nak?
Sekar              : Kapan ayah pulang?

Langsung masuk Reff, lagu “Ayah”

Ayah, dengarkanlah
Aku ingin bertemu walau air mata di pipiku
Ayah, dengarkanlah
Aku ingin berjumpa, walau hanya dalam mimpi
Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar