Laman

Rabu, 23 Maret 2016

Are You Happy, or Pretend to be?


http://expertelevation.com/wp-content/uploads/2014/07/lead-magnet-pic.jpg
Jika diibaratkan sebuah benda, mungkin gambaran terbaik dari hal bernama bahagia adalah ‘magnet’. Pertama, magnet memiliki dua kutub yang berbeda sifatnya, positif dan negatif. Kedua, perbedaan kutub itu mengakibatkan satu kutub memiliki daya tarik, sedangkan satu kutub lainnya justru harus ditarik agar menghasilkan pergerakan.

Ingat ga kapan terahir kali kamu merasa sangat bahagia ketika melakukan sesuatu dari awal hingga akhir? Mungkin waktu lulus kuliah, diterima bekerja, dilamar oleh kekasih, atau apapun itu. Yang jelas, inti dari pertanyaan tadi adalah apa hal yang membuat kamu bahagia dari awal sampai akhir. Bukan hanya bahagia di awal tapi sedih di akhir, ataupun sebaliknya. Sebab, bahagia itu seperti magnet, tidak mungkin kedua ujungnya sama rasa. Atau lebih tepatnya, jangan sampai sama rasanya.

Coba diingat-ingat, lebih bahagia mana saat kamu masuk SD dan lulus SD? Ketika pertama kali masuk SD, pasti sudah lebih dulu merasakan sedihnya kehilangan masa-masa bahagia di TK bukan? Hari-hari pertama di sekolah baru juga kerap menjadi suatu kondisi yang hening bahkan angker. Penyebabnya beragam: dari mulai belum punya kawan, bayangan guru kelas yang mungkin saja galak, pelajaran-pelajaran baru yang bisa saja sulit untuk dimengerti, dsb. Kemudian hari berangsur lunak. Tahun-demi tahun dilalui dengan berbagai rasa. Apalagi bila sudah punya kawan akrab, rasanya setiap hari ingin selalu ada di sekolah untuk bermain bersama.

Akhirnya tibalah masa kelulusan. Masihkah kamu ingat apa perasaan yang dominan saat lulus dari Sekolah Dasar? Tentu jawabannya akan beragam. Tapi mestinya, menurut teori magnet tadi, bila kamu cenderung tidak bahagia saat masuk SD, maka kamu akan bahagia saat lulus. Karena ada orang yang justru bahagia saat masuk SD, dan ia lulus dengan rasa sedih. Siklus itu akan berlangsung, bahkan berulang sampai kapanpun. Jadi, akan menjadi sebuah pertanyaan besar, bila ada seorang Mahasiswa Baru merasa begitu bahagia di tahun-tahun awal kuliahnya, tapi ia juga bahagia saat lulus sebagai sarjana. Apakah dia benar-benar bahagia, atau hanya berpura-pura?

Logikanya, kebahagiaan di awal kuliah, tentu dirangkai dengan kebahagiaan saat menjalani masa-masa kuliah. Entah itu selalu mencapai nilai sempurna pada perkuliahan, terlibat dalam berbagai kegiatan sosial, atau bisa menjadi asisten dosen. Klimaks dari kebahagiaan itu terletak saat dinyatakan LULUS SKRIPSI oleh dosen pebimbing. Kemudian, kebahagian itu mau tak mau akan menjadi sebuah antiklimaks ketika wisuda.

Sebaliknya, perasaan tertekan di awal kuliah (mungkin karena salah jurusan, atau dipaksa untuk mengambil jurusan yang tidak sesuai minat), akan menjadi sebuah bom waktu. Hari-hari di setiap perkuliahan menjadi beban yang semakin hari semakin berat. Tapi di sisi lain tetap ada perjuangan. Sama, klimaks dari perasaan tertekan itu ada saat dinyatakan LULUS SKRIPSI. Ujungnya, saat wisuda timbulah perasaan lega. Bahagia.

Kedua perbedaan itu bisa juga menjadi ukuran seberapa sukses kita mengerjakan sesuatu. Katakanlah kita merasa bahagia saat diterima bekerja. Itu menjadika kita bekerja dengan totalitas dan loyalitas. Bertemu banyak orang baru dengan berbagai watak dan latar belakang. Tentu akan menjadi sebuah kesedihan jika kemudian kontrak kerja berakhir. Harus ada perpisahan. Harus ada kesudahan. Padahal kita sangat mencintai pekerjaan itu. Begitupun sebaliknya. Bila kita sudah tertekan di awal karir, pasti berakhirnya kontrak kerja ibarat terbukanya sebuah penjara yang selama ini mengekang.

Poin pentingnya, hidup adalah pilihan: bahagia di awal atau di akhir. Bila pada satu magnet hanya punya satu sisi daya tarik, artinya pada sisi yang lain kita harus menyiapkan diri untuk ditarik. Satu saat kita membahagiakan orang lain, dan pada saat yang lain kita akan dibahagiakan. Dengan catatan, saat  membahagiakan berarti kita siap berjuang untuk sesuatu, bergerak, penuh semangat. Sementara dibahagiakan adalah berarti rela untuk diperjuangkan oleh sesuatu, pasrah, tak punya daya. Dan akhirnya kita sadar bahwa untuk bahagia, kita harus bisa mempertemukam sebuah kutub magnet, dengan kutub magnet yang lain agar terjadi tarik-menarik. Agar terjadi hubungan sosial antara satu dengan yang lain.

So, are you happy, or pretend to be?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar