Laman

Senin, 15 Februari 2016

Senja Ada pada Alina


Sejak mengenal Seno Gumira Ajidarma pertama kali lewat roman Negeri Senja, sulit rasanya untuk bisa berhenti mengagumi beliau sebagai penulis dengan karya yang sangat imajinatif. Senja adalah matahari yang separuh tenggelam, dan separuh sisanya tergantung di cakrawala. Demikian SGA sangat berani menciptakan “senja yang selesai”. Entah SGA sadar atau tidak, cerita yang ia buat-buat tentang senja telah berhasil menghapus stigma bahwa senja selalu menjanjikan perpisahan. Karena SGA, kini ada sebuah keyakinan bahwa keindahan senja bisa dinikmati (se)lama(nya). Tak hanya dalam novel, tapi juga dalam kehidupan.

Tahun 2016, setelah sekian tahun menunggu, akhirnya Negeri Senja kembali dicetak ulang oleh penerbitnya. Tak hanya iu, dua buku lain yaitu Sepotong Senja untuk Pacarku dan Tak Ada Ojek di Paris sudah bisa ditemui di berbagai toko buku. Dan Februari 2016, SGA melakukan peluncuran SSUP di Galeri Indonesia Kaya. Acara tersebut diisi dengan pembacaan trilogi Alina: “Sepotong Senja untuk Pacarku”, “Tukang Pos” dan “Jawaban Alina”. Masing-masing cerpen dibacakan oleh Abimana Aryasatya, Butet Kertaradjasa, dan Dian Sastrowardoyo.

Menjadi Sukab, Abimana tampak menjiwai karakternya. Meskipun ia hanya duduk, tapi perubahan karakter suara yang menandakan perbedaan tokoh, membuat penonton terkesima, dan bahkan meleleh oleh perannya di pangung itu. Ia mampu menjadi Sukab yang romantis. Terutama terhadap Alina. Meskipun menurut Alina, Sukab itu malang, sangat malang dan akan selalu malang dengan kegoblokan cintanya pada Alina. Bagaimana tidak, Sukab nekat memotong senja yang sedang merekah menjadi seukuran kartu pos, lalu mengirimkannya pada Alina yang berada di Ujung Dunia.

Tukang Pos merupakan karakter yang tak bisa dienyahkan dalam trilogi Alina. Sebab dialah yang mengantarkan senja dalam amplop kepada Alina. Sayangnya, ia baru bisa sampai ke Ujung Dunia setelah 40 hari mengayuh sepeda. Dan setelah 10 tahun, barulah surat berisi senja itu sampai pada Alina di sebuah tempat di bukit kapur. Tak kalah menarik dari Abimana, Butet Kertaredjasa yang memang sudah mumpuni dalam dunia teater, berhasil membawa penonton memasuki dunia senja di dalam amplop.

Sukab memang malang, dan sangat malang. Alina, yang tak pernah mencintainya, dalam kurun waktu sepuluh tahun tentu saja sudah menikah dengan orang lain. Dan Tukang Pos itu bercerita bahwa selama sepuluh tahun itu, ia terjebak di dunia senja dalam amplop yang Sukab kirimkan. Lantaran amplop berisi seja itu terbuka sedikit, sehingga pancaran cahaya dari celah amplop membuatnya penasaran. Tukang Pos itu tersedot masuk ke dalam amplop. Dan hal terparah dari tindakan Sukab yang tak pakai otak telah membuat cakrawala berlubang karena senjanya dipotong menggunakan pisau Swiss adalah bencana.

Saat Alina membuka amplop itu, senja dan segala yang melekat padanya: pasir, air laut, mega-mega, tumpah dan berbenturan dengan apa yang ada di luar amplop. Akibatnya, seluruh dunia tenggelam.  Ketika Alina menjawab surat dari Sukab, ia adalah manusia terakhir, bersama perahu terakhir, dan sebungkus mi instan terakhir yang berada di puncak tertinggi Himalaya. Kini, senja tinggal sendiri tanpa seorang pun manusia yang menikmatinya. Seusai menulis surat, Alina akan mendayung dengan perahu kecil, sampai teler. Sayangnya, Dian Sastro tampil tak sesempurna dua rekannya. Tampaknya ia kurang persiapan terutama dalam pemilihan karakter suara. Padahal, hanya suara Alina saja yang ia pentaskan.

Entah bagaimana, saat mendengar pembacaan trilogi Alina, penonton dipaksa untuk percaya bahwa senja yang selama ini ada bukanlah senja yang asli. Sebab saat Sukab memotong senja seukuran kartu pos, lalu menyimpannya di saku baju untuk kemudian dikirimkan pada Alina, ia dikejar oleh polisi. Dalam pengejaran itu ia berhasil sembunyi di sebuah gorong-gorong. 

Ternyata di dalam gorong-gorong itu ada sebuah pantai lengkap dengan senja yang indah. Karena berpikir bahwa senja itu sia-sia di sana tanpa ada yang melihatnya, Sukab pun memotong senja lagi, seperti yang dilakukan sebelumnya. Segera setelah itu ia keluar dari gorong-gorong untuk menutup lubang cakrawala dengan senja yang baru ia dapatkan dari pantai di gorong-gorong. Kelak, menurut Sukab, orang-orang akan bercerita kepada para keturunannya, sebuah dongeng mengenai kenapa gorong-gorong selalu gelap.

Jika senja yang sekarang ini saja sudah indah, lalu bagaimana lagi kita harus membayangkan keindahan senja yang sudah diberikan pada Alina?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar