Laman

Senin, 28 Oktober 2013

Kisah Hikmah: Bakti Istri kepada Suami

Suatu hari di zaman Rasulullah saw, seorang suami pamit pada istrinya untuk berjihad. Suami itu berpesan agar istrinya tidak keluar rumah sebelum ia kembali. Setelah kepergian suami itu, keesokan harinya datanglah seseorang yang merupakan utusan dari Ayah perempuan yang ditinggal berjihad oleh suaminya tersebut.
"Saya diutus oleh Ayahmu untuk mengabarkan bahwa beliau sedang sakit keras. Beliau meminta saya untuk menjemputmu." ucap si utusan.
"Maaf, suami saya sedang berjihad. Saya tidak boleh keluar rumah sampai ia kembali."
Utusan itu akhirnya pulang.
Hari berikutnya utusan itu kembali. Kali ini dengan kabar bahwa sakit Ayahnya semakin parah. Ia sangat ingin dikunjungi oleh putrinya. Namun, perempuan itu tetap menolak dengan baik, dengan alasan yang sama seperti sebelumnya.
Hari ketiga, utusan itu mengabarkan bahwa Ayah si perempuan sedang menghadapi sakaratul maut. Meskipun sebentar, kehadiran perempuan itu akan sangat bermakna. Tetapi si perempuan tak berubah pikiran.
Sampai akhirnya hari keempat utusan itu memberitahu bahwa Ayahnya telah meninggal. Jika memang mau, perempuan itu ditunggu kehadirannya di pemakaman. Tapi hal itu tak pernah terjadi. Atas rasa kesalnya, utusan itu mengadu kepada Rasulullah SAW. Menurutnya, perempuan itu sudah keterlaluan karena tak mau menjenguk Ayahnya yang sakit parah bahkan ketika meninggal pun tidak hadir ke pemakamannya.
Rasulullah SAW menjawab:
"Ayah dari si perempuan itu diampuni seluruh kesalahan dan dosanya oleh Allah SWT karena memiliki anak perempuan yang berbakti kepada suaminya."
Sumber: catatan pribadi kajian islami

Rabu, 16 Oktober 2013

Seni untuk?

Dengan itulah, menurut Plekhanov, Pushkin merumuskan sikapnya yang menegaskan “seni [adalah] untuk seni.” Seni bukan untuk tujuan apapun selain sebagai nyanyi.
Bukan, bukan buat gairah dunia,
Bukan untuk kerakusan ataupun perjuangan,
Tapi untuk inspirasi, untuk doa
dan merdunya nyanyi, penyair datang 
Saya bukan penganut "Seni untuk seni" ataupun "seni untuk rakyat". Entah tindakan saya untuk tetap bersifat netral dari kedua kubu masa lalu itu tepat atau tidak, intinya di sini saya hanya ingin sedikit memberikan catatan bahwa sikap tegas Pushkin tersebut justru tidak tegas. Mungkin dia tidak sadar, atau ada konteks tersembunyi yang belum saya ketahui dari kontrasnya ketegasan itu. 
Bahwa seni bukan untuk tujuan apapun --> tapi untuk inspirasi, untuk doa, dan merdunya nyanyi...

Sastra dan Sebuah Kewajiban

Sejak memasuki semester akhir di bangku kuliah dan akhirnya sekarang lulus, rasanya terlalu lama saya tak mengkaji apalagi menuliskan hal-hal terkait sastra. Sore ini saya mampir ke web Caping Goenawan Mohammad. Di sana saya serasa bernostalgia, seolah saya disadarkan dengan sebuah pertanyaan: "Sudahkah kamu lakukan kewajiban sebagai Sarjana Humaniora?"

Saya menyadari bahwa saya belum mengerahkan potensi yang saya punya untuk negeri ini. Baiklah, intinya dalam salah satu catatan itu saya mendengar kembali istilah "Realisme Sosialis" dan L'art pour l'art. Istilah yang pertama adalah masa lalu, kenangan buat saya. Sebelum akhirnya memutuskan untuk mengkaji novel milik Nuril Basri berjudul Halo, Aku dalam Novel dengan kajian Psikologi Sastra (abnormal), sebetulnya saya mengawali konsep dengan sebuah novel milik Seno Gumira Ajidarma berjudul Negeri Senja.

Sebelum membaca HADN, lebih dulu saya membaca NS. Sebagai anak SMA, saya akhirnya memaklumi ketakpahaman saya pada novel SGA tersebut. Pemikiran saya belum sampai ke arah sana. Sebab ketika awal duduk di bangku kuliah, barulah dosen saya memberitakan bahwa Negeri Senja bukanlah novel romantis, melainkan politik. Lebih tepatnya ada realisme sosialis di sana. Istilah realisme sosialis saya dapatkan dari hasil pencarian ke berbagai sumber saat saya mencetuskan ide untuk meneliti novel SGA tersebut sebagai skripsi. Sama sekali NS tak bisa sekadar dibaca dari sampul atau endorsment. Secara garis besar, novel ini adalah perumpamaan dari sebuah negara (yang pernah) bertirani.

Sayangnya usaha saya tersebut terhenti. Terbatasnya sumber rujukan dan (terutama) kegigihan saya untuk mendapatkannya, menyebabkan rencana tersebut hanya menjadi sekadar niat baik. Saya beralih pada novel psikologi yang juga sudah saya baca di awal-awal kuliah. Tak masalah, toh sepertinya pun jika saya tetap mengkaji novel SGA saya akan kepayahan.