Laman

Senin, 13 Mei 2013

Arusutama (Mainstream)



Selama ini yang terlintas di kepala saat mendengar istilah melawan arus adalah sesuatu yang jauh lebih keren (ekstrem) dari sekadar ikut arus (ikut mainstream). Tapi pernahkah terpikir filisofi arus?
Air mengalir dari tempat tinggi ke tempat rendah, begitulah takdirnya. Saat seseorang melawan arus, sudahkah tergambar arah mana yang akan ia tuju? Kembali kah ke masa lalu? Atau sekadar berbelok? Sebab jika ia masih menjadi air, tak akan mungkin mengalir ke atas. Sedangkan laut akan selamanya menjadi muara, di bagian terendah.

Jadi, saya simpulkan bahwa istilah melawan arus yang selama ini saya pahami adalah kesalahkaprahan. Lalu, tidakperlukah kita menjadi pelawan arus? Jika pertanyaan ini mengacu pada maksud ‘tidak perlukah kita menjadi pribadi yang unik?’ maka jawabannya:  melawan arus berarti melawan kodrat. Jika ingin menjadi pribadi yang berbeda dari yang lain, cukup lakukan dengan cara memilih jalur yang tidak umum. Tetapi tetap meyakini bahwa air akan senantiasa termuarakan pada laut.

Senin, 06 Mei 2013

Mengukur Kedalaman Pram, Sebuah Resensi


MENGUKUR KEDALAMAN PRAM
Judul buku : Pram dari Dalam (2013)
Penulis     : Soesilo Toer
Penerbit : Gigih Pustaka Mandiri
Harga : Rp 65. 000 ; 286 hlm.

Melalui Pram dari Dalam, meskipun berkali-kali menyatakan bahwa dirinya merupakan orang yang paling berhasil untuk gagal, Soesilo Toer justru telah benar-benar berhasil menceritakan ‘dari dalam’ tentang sosok kakak tertuanya, Pramoedya Ananta Toer. Dengan gaya bahasa yang kasar dan dhleyo, ia memegang totalitas itu tanpa harus tercoreng wajahnya dengan ungkapan tak tahu diri. Dalam hal ini, Soes berhasil menjadi narator dengan kolaborasi isudut pandang orang pertama dan orang ketiga serba tahu, seandainya buku ini dianggap sebagai karya sastra. Dengan membaca Pram dari Dalam, akan diperoleh begitu banyak informasi tidak hanya mengenai Pram, tetapi juga hal-hal yang berkaitan dengan pengarang yang karyanya telah diterjemahkan ke dalam,puluhan bahasa dunia tersebut, yang bisa jadi tidak akan pernah diungkapkan orang selain Soesilo Toer.

Beberapa hal yang disampaikan Soesilo Toer adalah mengenai sejarah orangtua Pram bersaudara yang masih ternyata merupakan keturunan ningrat—ayahnya telah menghapus nama depannya yang semula Mastoer menjadi hanya Toer saja karena alasan nasionalisme. Ada pula cerita mengenai Pram yang—menurut Soes—lebih gagal dibandingkan dirinya dalam mebina rumah tangga. Dalam buku ini juga Soes memaparkan bahwa betapa pun Pram bersikap keras terhadap adik-adiknya, ia tetaplah kakak tertua yang harus dihormati. Pram berpesan sesulit apa pun hidup, berusahalah untuk tidak meminta kepada orang lain. Soes bisa menceritakan potongan-potongan kisah hidup Pram karena ia pernah tinggal bersama kakaknya itu ketika di usia sekolah. Sehingga ia pun bisa menginformasikan bahwa seseorang yang paling berjasa dalam hidup Pram adalah Jan van Resink. Ia merupakan seorang Belanda yang ahli bahasa Jawa. Resinklah yang dikabarkan telah menyelundupkan naskah milik Pram yang saat itu sedang ditahan di Penjara Bukitduri Jatinegara. Naskah tersebut diselundupkan pada sebuah lomba—yang sebenarnya pun telah ditutup—yang diadakan H.B Jasin. Menurut Soes itu merupakan tonggak sejarah dunia kepengarangan Pram.
  
Historia vitae vagistra, demikianlah Soes menyebutkan bahwa sejarah akan selalu membuat manusia menjadi lebih bijak. Barangkali tindakan Soes mempublikasikan “aib” keluarga Toer dianggap kecerobohan. Namun, pandanglah dari perspektif lain, bahwa Pram adalah bagian dari sejarah. Sebagaimana visi hidup Pram bahwa menulis adalah tugas nasional, maka Soes justru telah memperbesar kuantitas informasi mengenai sejarah Pram, bagian dari sejarah Indonesia. Kalau pun saat ini belum diterima secara utuh, kelak, Pram dengan segala kisah hidupnya akan benar-benar menjadi bagian dari sejarah Indonesia seutuhnya, terutama sejarah dunia kepengarangan. Sebab sejarah selalu berkembang.

Pram telah tiada, dan buku ini menjadi serupa album kenangan yang bisa dijadikan sumber inspirasi. Sebab Soes tak sekadar memaparkan Pram dari kedalaman yang begitu dalam, tetapi juga membagikan pengalamannya—sumber ilmu pengetahuan—yang begitu bernilai. Bahwa di balik sosoknya yang sederhana bahkan cenderung ndleyo, ia telah menginspirasi. Ini memperkuat pula kata-kata Nuril Basri yang diutulis dalam blog pribadinya bahwa untuk menghargai oang lain tidak sekadar dilihat dari tampilan luar, tetapi  juga dari dalamnya. Sebab bisa jadi orang yang dari luar tampak tidak berharga, justru memiliki kehebatan yang tidak kita miliki—yang merasa lebih bernilai dari orang tersebut. Dan di balik keterlalusederhanaannya tersebut, Soesilo Toer merupakan doktor lulusan Institut Plekhanov Rusia. Saat ini ia menjalani hari tuanya dengan didampingi istrinya. Bersama rekan-rekan lain mengelola Perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa (Pataba) Blora.

Satu-satunya kekurangan yang justru semakin menambah kelebihan buku ini adalah kerap Soes tidak fokus membicarakan sebuah pokok bahasan dalam satu bab. Bercampurnya berbagai informasi dalam sebuah bab membuat pembaca menjadi kewalahan untuk menampung informasi-informasi berharga yang diabadikan dalam buku ini.

Rabu, 01 Mei 2013

Ketika Topeng menjadi Tuntutan


Judul novel : Topeng (2002)
Penulis : Wing Kardjo
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia; 158 hlm.

Pen, seorang laki-laki berusia 49 tahun. Selain menjadi dosen di Jepang ia juga penyair. Sampai di usia yang terlampau lanjut ia tetap melajang. Sebagai seorang dosen, kegilaan yang dilakukan Pen adalah bercinta dengan mahasiswinya yang bernama Ayuko. Bercinta dalam arti terdalam yaitu tidak sekadar menjalin kisah cinta tetapi juga berhubungan intim—tanpa pernikahan. Tentu saja hubungan mereka dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Sebab bukan hanya perkara usia yang mereka langkahi, melainkan juga adat istiadat.

Dalam kisah ini sebentulnya yang menjadi sumber permasalahan adalah Ayuko. Perempuan berusia 20 tahun itu diduga mengidap electra complex yaitu kebalikan dari oedipus complex. Sebagai perempuan—sengaja tidak disebut gadis karena tidak bisa dibuktikan apakah Ayuko masih perawan atau tidak sebelum berhubungan dengan Pen—berusia belia, Ayuko tampak begitu biasa menjalin kisah cinta dengan laki-laki yang lebih tua dari ayahnya sendiri. Bahkan, beberapa kali Pen menjelaskan hal tersebut, Ayuko justru meyakinkan bahwa baginya tidak ada masalah. Ia mencintai dosennya itu tanpa alasan, parce que. Meskipun pada akhirnya hubungan mereka harus berakhir begitu saja setelah Ayuko diduga terkena virus HIV Aids. Sebelum memutuskan untuk berpisah, Ayuko telah lebih dulu menyampaikan maksudnya itu secara implisit, lewat sebuah puisi. Puisi tersebut dimaknai oleh Pen sebagai suatu permintaan maaf. Mungkin memang Ayuko adalah gadis “nakal”. Namun, Pen pun tidak lebih baik darinya. Mereka seimbang sebagai pemakai “topeng”.

Merasa keputusan Ayuko tersebut berbanding terbalik dengan sikapnya selama ini, Pen berusaha untuk bisa bertemu hanya untuk menjelaskan duduk perkara. Sayangnya, Ayuko tetap tidak mau menjelaskan apa pun. Di sanalah kesadaran Pen muncul. Ia merasa menjadi manusia tidak tahu diri karena telah menjalin hubungan gelap dengan perempuan belia. Ia khawatir kebiasaannya mengunjungi shoapland menjadikannya sebagai penular virus terhadap Ayuko. Sejak saat itu, ia bertekad untuk memasang kembali topengnya. Menjalani peran sebagai dosen yang notabenenya bijaksana dan beritikad baik.

Penyair Ronggowarsito dikenal dengan ramalannya mengenai “zaman edan”. Sementara Akira Kurosawa melalui Soesilo Toer pernah menyatakan bahwa di dunia gila, hanya si gila yang waras. Lalu kapankah zaman tersebut mulai terjadi? Sekiranya ramalan Ronggowarsito telah benar-benar terjadi pada kurun tahun 2000, bisa jadi Pen (mungkin benar-benar memang Wing Kardjo sendiri) telah mengambil peran sebagai si gila yang hidup di zaman edan. Ia ingin tetap tampak waras dengan membawa-bawa topeng supaya rahasia mengenai kegilaannya tetap tertutupi.

Topeng merupakan salah satu karya tahun 2000-an yang terbilang vulgar. Sejak awal kisah, pembaca sudah langsung disuguhi peristiwa berbau ranjang. Selanjutnya peristiwa demi peristiwa dijalin dengan aroma seksualitas. Selain itu, kekurangan novel ini adalah kelatahan narator yang cenderung ikut campur dalam penceritaan. Sehingga hal tersebut menyebabkan pembaca menjadi curiga bahwa narator adalah penulisnya sendiri yaitu Wing Kardjo. Meskipun bagian semacam itu hanya beberapa kali, tetap saja menjadi hal fatal yang secara implisit menunjukkan kepada pembaca bahwa  novel ini adalah sebuah catatan harian yang diprosakan.

Meskipun demikian, novel ini tetap mengandung nilai-nilai positif. Melalui novel ini disampaikan informasi mengenai beberapa budaya masyarakat Jepang. Di antaranya adalah mengenai kebiasaan mereka untuk disiplin waktu. Jika masyarakat Indonesia cenderung mengulur waktu dalam mengerjakan suatu hal sehingga terburu-buru di penghujung, maka tidak dengan masyarakat Jepang. Lembur akan mereka lakukan saat dibutuhkan, tetapi segera istirahat setelah menyelesaikannya secara maksimal. Satu lagi hal yang sekiranya mengejutkan adalah mengenai budaya masyarakat Jepang yang tidak ingin berutang budi dan senang memberikan hadiah dengan bungkusan-bungkusan yang indah. Hal tersebut juga yang menjadi motivasi bagi Ayuko untuk menghadiahkan tubuhnya yang terbungkus kimono.