Laman

Senin, 30 Desember 2013

Filologi dan Lampung

Menjadi mahasiswa sastra Indonesia ada banyak pengetahuan dan ilmu yang saya peroleh, tentu tidak semuanya bisa saya serap dengan baik, sayangnya. Ya, kita yang pernah kuliah memang akhirnya disadarkan bahwa pendidikan di perguruan tinggi itu lebih menuntut mahasiswa untuk belajar mandiri. Bila hanya mengandalkan pelajaran yang disampaikan dosen, tamatlah riwayat, yang ketika lulus hanya sekadar menyandang gelar sarjana tanpa tahu harus melaukan apa karena memang tak matang ilmunya. Orang-orang seperti itu malang betul nasibnya. Satu ilmu yang saya ketahui di antara sekian banyak itu adalah filologi. Singkatnya, ilmu ini berkaitan dengan naskah-naskah kuno. 

Di FIB Undip jurusan sastra Indoesia, pada semester V mahasiswa diberi kesempatan untuk memilih 3 peminatan yaitu Sastra Indonesia, Linguistik, dan Filologi. Sasindo tentu tak jauh-jauh dari penelitian mengenai karya-karya fiksi seperti puisi dan novel. Linguistik lebih menekankan pada tata bahasa. Sementara filologi seperti yang saya paparkan sebelumnya mengajak peminatnya untuk berkonsentrasi membedah naskah-naskah kuno baik yang ada di nusantara maupun di Leiden. Naskah nusantara umumnya beraksara melayu-jawa-arab, sedangkan di Leiden tentu tak berbahasa Indonesia namun membahas nusantara.

Di Undip, konsentrasi filologi lebih cenderung pada naskah jawa. Ketika semester V, kebimbangan saya hanya jatuh pada Sasindo dan Filologi. Itu karena sebetulnya secara konsep keduanya sama-sama membahas objek fiksi-nonfiksi tidak seperti linguistik yang dalam bayangan saya pasti rumit dan akan menyita banyak waktu dengan hapalan teori-teori kebahasaan. Passion saya di sastra, baiklah seiring waktu saya menjatuhkan pilihan pada sastra dan melepaskan filologi karena sadar kemampuan bahasa dan terutama aksara Jawa saya sangat buruk. Padahal beberapa pihak telah sempat memberi masukan bahwa paham aksara Jawa bukan hal yang diperlukan secara mutlak.

Saat skripsi, mahasiswa Filologi boleh membahas naskah kuno lain, misal Sastra Melayu
Tionghoa. Saya memang banyak beralasan. Oya, seandainya memang ada (tolong dimaafkan kesoktahuan saya) kelas filologi di Lampung, sudah barang tentu ada lanjutan pelajaran bahasa dan sastra daerah serta aksara Lampung yang selama ini hanya dipelajari sampai jenjang SMP saja.

Waktu berlalu dan sekarang saya sudah jadi seorang Sarjana Humaniora (S. Hum). Dengan seluruh kerja keras dan ketekunan sekuat saya, masih juga saya merasa kenapa dulu saat kuliah saya masih kurang memaksimalkan waktu yang ada untuk belajar lebih banyak. Saya merasa masih sangat bodoh. Setelah kembali ke rumah, ilmu yang saya pelajari kelihatannya masih belum diminati.

Sampai suatu hari saya baca koran harian, salah satu berita di halaman utamanya menyebut-nyebut FILOLOGI di bagian judul. Mata saya langsung tak sabar ingin membaca isinya. Berita itu menginformasikan bahwa akan diadakan semacam proyek penelitian filologi utnuk mengungkap sejarah Provinsi Lampung yang mengalami missing link dengan sejarah nasional. WOW. Pada artikel lanjutan di edisi selanjutnya, mereka berencana untuk mengmpulkan naskah-naskah beraksara Lampung yang kemungkinan ada di pesantren-pesantren. Karena menurut ahli, Lampung adalah Jawa Timurnya Sumatera. Selain di pesantren, mereka telah mengincar naskah yang (ternyata) ada di Leiden juga.
Sungguhkah?

Sayapun berpikir, bisakah saya ikut ambil bagian dalam proyek itu? Kalau bisa, bagaimana caranya? Bukan mengenai fee, melainkan bagaimana saya bisa menunjukkan kepada tanah kelahiran bahwa saya sangat ingin sumbangsih pengetahuan dan jadi bagian dalam pembangunan. Tapi saya sadar juga bahwa ilmu yang saya miliki sepertinya kurang pas. 

Tulisan ini apa ya? Kekecewaan? Terserahlah. Saya masih lebih kecewa ketika setelah mengetahui informasi itu kemudian bertanya pada teman yang berkuliah di Lampung jurusan Sasindo Daerah 'di sana ada peminatan filologi gak?' dan dijawab 'filologi apaan ya?' Dan lagi, menurut koran itu, yang berinisiatif melakukan penelitian pun bukan Universitas Lampung melainkan IAIN Bandar Lampung. wow wow wow.

2 komentar:

  1. mbak fida pengen ikut proyek semacam itu, cuma belum bahkan tidak mengerti sama sekali tahu bahasa Lampung.
    ambil kesempatan itu dek kalau bisa, ikutlah berkecimpung. setidaknya kamu tahu filologi, tidak seperti jawaban temanmu.

    BalasHapus
  2. Iya Mbak. Semoga ada jalan untuk ke sananya..

    BalasHapus