Laman

Sabtu, 23 Februari 2013

Rasionalitas yang Hilang



Resepsi Cerpen “Dengan Dua Cent Jadi Kaya” Karya Thio Tjin Boen


Membaca karya sastra Melayu Tionghoa (SMT) berarti membaca sejarah. Sebagai barang klasik, tidak bisa dipungkiri bahwa SMT pernah hidup di masa lampau dan masih bisa ditemukan sampai saat ini. Tentu hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari kerja keras seorang peneliti Perancis, Claudine Salmon.

Claudine Salmon mungkin punya tujuan tersendiri atas kerja kerasnya mengumpulkan SMT yang tersebar di nusantara. Namun, terlepas dari hal itu ia telah berjasa dalam menunjukkan eksistensi SMT kepada masyarakat sastra—diterima atau tidak. Sampai saat ini kumpulan SMT masih terus diperbaharui. Penerbit Gramedia telah berhasil menerbitkan sekian jilid yang masing-masing ketebalannya bisa mencapai 500 halaman.

Hal apa sebenarnya yang menjadikan SMT tetap dipertahankan? Bisa jadi karena kebudayaan Tionghoa kaya akan nilai-nilai luhur dari ajaran konfusiusnya. Misalnya saja dalam sebuah cerpen berjudul “Dengan Dua Cent Jadi Kaya” (DDCJK) karya Thio Tjin Boen.

Secara singkat cerpen DDCJK menceritakan tentang bagaimana sikap seorang Tionghoa terhadap kekuatan para leluhur mereka (dewa) yang disebut Toapekong. Rasionalitas tidak lagi menjadi tolak ukur ketika suatu keyakinan atas perintah dewa telah hinggap dalam diri mereka. Hal tersebut bisa dilihat dari sikap tokoh utamanya, Nyonya Hong Lan.

Dikisahkan bahwa Nyonya Hong Lan sengaja datang dari Kudus ke Semarang untuk mendapatkan semacam wangsit mengenai jodoh putri sulungnya. Di sebuah klenteng, sesaat setelah ia menyampaikan maksud tersebut di depan patung Sin Beng, ternyata patung tersebut dapat bicara. “Hujin punya anak, jodonya ada di Semarang”.

Meskipun awalnya ia kaget dan takut, akhirnya ia meyakinkan diri bahwa niat awalnya adalah mencarikan jodoh atas putrinya dengan bertanya kepada Sin Beng. Jadi, apapun yang dikatakan oleh dewa yang diyakininya tersebut, ia harus percaya dan patuh. Sesegera mungkin ia mencari cara untuk bisa bertemu dengan seorang pemuda miskin yang tinggal di sebuah kampung di Semarang. Berkat bantuan koleganya, Nyonya Hong Lan berhasil bertemu dengan pemuda sekaligus keluarganya yang ternyata penjual barang antik (bekas).

Sebagai orang kalangan bawah, tentu keluarga pemuda yang bernama Sie Tiong itu merasa khawatir barangkali Nyonya Hong Lan salah orang. Tetapi perempuan itu meyakinkan bahwa apa yang ia dengar dari patung Sin Beng adalah benar. Ia sudah tak peduli pada kenyataan bila harus berbesanan dengan orang miskin sekalipun. Setelah beberapa proses dilakukan, pesta pernikahan pun digelar.

Keluarga Hong Lan akhirnya berbesanan dengan keluarga Ong Boen Tek. Pasca pernikahan itu, Sie Tong tinggal di Kudus sementara Ong Boen Tek dan istirnya kembali ke Semarang. Suatu ketika Ong Boen Tek sedang duduk santai di rumahnya, seorang tetangga pun datang bertamu.
Tamu inilah yang akhirnya membuka rahasia yang sebelumnya sempat membuat ia dan istrinya ragu mengenai pernikahan putranya dengan putri keluarga Hong Lan. Tamu ini mengaku bahwa ialah yang bersembunyi di balik patung menyamar menjadi Dewa Sin Beng dengan mengatakan bahwa jodoh dari putri Nyonya Hong Lan adalah seorang pemuda miskin di Semarang.

Meskipun kisah in terksesan mengada-ada, intinya pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca adalah perihal kepatuhan pada leluhur (dewa). Di dalam cerpen ini sebenarnya tidak hanya menceritakan satu hal. Namun, semuanya berkaitan dengan kepercayaan masyarakat Tionghoa pada Toapekong. Salah satu cerita lainnya adalah kisah perampok yang batal merampok karena ketika masuk ke dalam rumah seorang warga, ia dihadang oleh sosok raksasa. Orang-orang percaya bahwa itu adalah dewa Toapekong. Setelah kejadian itu, pemilik rumah disegani warga karena dianggap sakti.

Membaca kisah yang ditulis oleh  Thio Tjin Boen ini memunculkan suatu anggapan bahwa ada keterkaitan antara falsafah Jawa dan Tionghoa mengenai kepercayaan pada leluhur. Siapa mempengaruhi siapa, dalam hal ini menjadi rancu. Secara subjektif tentu orang Jawa akan berkeras bahwa budaya Jawa adalah tuan rumah di Indonesia, sedangkan orang Tionghoa hanya warga pendatang yang kehilangan identitas budaya.

Namun, siapa yang berani menjamin bahwa justru orang-orang Tionghoa inilah yang justru membawa sisa-sisa peradaban mereka ke nusantara dan lambat laun menyebar lantaran hidup berdampingan dengan warga pribumi. Yang jelas, dua suku ini sama-sama masih percaya pada kekuatan gaib sebagaimana masyarakat primitif lainnya di dunia ini.

Sedikit beranjak dari pembahasan cerpen DDCJK, marak anggapan bahwa SMT telah berkontribusi dalam perusakan kosa kata bahasa Indonesia lantaran menggunakan bahasa gado-gado. Benarkah? Sebaiknya pernyataan ini dikaji lebih lanjut secara objektif. Benar bahwa—dalam DDCJK misalnya—penulis cerpen SMT memang tampak sembarangan dalam pemilihan kosakata. Seperti dalam petikan berikut ini:
Dari apa yang telah saya tuturken dalem serie kesatu, sebetulnya ada satu perkara langkah, tapi toch dengen sasungguhnya sudah terjadi pada diri saya sendiri, terlebi lagi perkara begitu, memang bisa terjadi pada diri sesuwatu orang yang kurang perdata dalem penghidupannya (DDCJK, hlm. 224).

Kata bercetak miring dalam kutipan tersebut memang tidak tepat, bila ukurannya adalah masa sekarang. Bayangkan, cerpen ini pertama kali terbit tahun 1920 di Weltevrden. Sedangkan Sumpah Pemuda baru diikrarkan tahun 1928. Bukankah hal ini berrati bahwa justru para penulis SMT telah lebih maju dengan menulis cerpen padahal kosakata bahasa Indonesia masih terbatas?

Kurang bijak rasanya bila anggapan tersebut masih dipertahankan. Pemikiran objektif tentu akan lebih bermanfaat ketimbang subjektivitas yang tidak menghasilkan apa-apa selain kecurigaan. Salah satu cara mengambil manfaat dari karya sastra Melayu Tionghoa adalah mengkaji nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar