Rabu pagi 11 Juni 2014, saya cari baterai hp Nokia yang bocor karena dimakan usia. Setelah mendapatkan baterai, sambil jalan saya berpikir akan pulang atau main dulu sebentar. Waktu masih sekitar pukul 10 pagi. Akhirnya saya memutuskan untuk terus melaju menuju pusat kota Bandar Lampung dengan misi: berburu "mading" angkot.
Saya penasaran karena sempat membaca berita di koran bahwa Pemkot Bandar Lampung telah mengeluarkan peraturan tentang penghapusan segala bentuk tulisan di kaca belakang angkot dengan alasan estetika. Hal tersebut sudah saya ketahui lama, tapi belum pernah melihat kenyataan di lapangan. Saat itu juga saya hanya sedang libur kuliah jadi ga punya waktu untuk mencari tahu.
Jadi, dengan mengendarai motor, saya bermaksud akan menguntit tiap angkot yang nantinya saya temui untuk kemudian memotret bagian belakangnya. Tapi sayang, sepanjang saya berjalan dari Kecamatan Panjang sampai Jalan Radin Intan, tak satupun saya temukan apa yang saya cari. Kalaupun ada, hanya satu dua angkot dengan tulisan "normal". Agak tertegun juga mengetahui masyarakat, khususnya para sopir dan pengusaha angkot ternyata patuh ada peraturan tersebut. Dan yang lebih saya sesalkan, kenapa itu terjadi sebelum saya sempat mengabadikannya.
Ini satusatunya catatan yang pernah saya buat sebagai kenangan. Saya tulis sekitar Agustus 2013 untuk keperluan partisipasi penulisan puisi dwi bahasa LampungIndonesia |
Sejujurnya saya kecewa. Sebab sejak masa SMA, saya selalu menikmati dan kadang terhibur dengan kreativitas para sopir angkot. Ada dua yang kalau saya tak salah ingat:
- Lo gak papa kan Bro? dan
- Katanya anak gaul, masa digauli nangis? (oke, yang ini saru, tapi sarkastis, cukup untuk menjadi sindiran sosial kan)
Bahkan saya pernah berpikir, jika dibina dengan baik, mereka itu bisa jadi pengusaha di bidang copy writer untuk iklaniklan televisi *semoga gak dibilang berlebihan*. Selain "mading" itu, hal yang juga saya senangi dari angkot Bandar Lampung adalah sensasi musik lagulagu bajakan yang nonstop diputar sepanjang perjalanan. Hal semacam itu belum pernah saya temui di Kota Lain, Semarang misalnya. Kenapa Semarang karena saya sempat berkuliah 4 tahun di sana. Bagaimana dengan kota lain, samakah? Oya, satu lagi yang khas dari angkot Bandar Lampung adalah usia sopir dan kernetnya yang terbilang muda. Apakah ini gambaran banyaknya usia muda di Bandar Lampung yang tidak bersekolah? Entahlah. Yang jelas, semangat yang kerap melekat dari para kaum muda menjadikan angkot Bandar Lampung jadi hal menyenangkan buat saya. Kalau buruburu, bisa ngebuuuuuut :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar