Kecurigaan
saya mencuat saat membaca pengakuan jujur Karina Lin mengenai pengetahuan
minimnya atas kota kelahiran di kolom opini berjudul “Stagnasi Pariwisata Kota
Kita”. Bagaimana jika ternyata hal serupa terjadi juga pada banyak warga
Lampung yang lain. Lahir dan besar di sini, tapi mendadak ‘malu’ menjawab
destinasi wisata apa saja yang cukup prestise disebutkan saat ada teman yang
akan berkunjung ke Lampung.
Ada
memang yang ketenarannya sudah sampai ke pulau Jawa sana. Sebutlah Teluk Kiluan
yang bangga dengan Dolphinnya. Sayangnya, lokasinya jauh dari pusat kota dan
akses yang memprihatinkan pula. Hal itu mungkin bisa menarik wisatawan untuk
hadir. Tapi bisakah menjamin mereka tak menyesal dan menyimpan kesan buruk
hingga tak lagi mau datang.
Tentu,
pengetahuan memang sangat mungkin ditemukan bila dicari. Hanya saja,
berlebihankah jika saya katakan bahwa promosi budaya dan wisata lokal oleh
pemerintah terutama sektor pariwisata di kota ini terbilang minim? Ingatan saya
melompat pada kunjungan bersama rombongan SDN 4 Pardasuka ke museum negeri Lampung
beberapa hari lalu. Melihat kebahagiaan di wajah para siswa SD yang baru
pertama kali masuk ke dalam museum membuat saya berharap semoga saja kunjungan
itu hanya perkara “wrong timing”. Saat di mana pihak pengelola memang bukan
sedang dalam agenda konservasi.
Memasuki
gedung megah dua lantai yang bernama Museum Ruwa Jurai itu, pengunjung yang tak
didampingi pemandu akan langsung tertarik untuk naik ke lantai dua melalui
tangga yang ada. Di sayap kanan ini, sebuah blok berisi sampan atau perahu kecil
dipajang di tengah ruangan. Ukurannya cukup besar untuk menarik perhatian. Di
badannya ada beberapa gerabah keperluan hidup sehari-hari. Juga sebuah patung
kecil menyerupai manusia yang sedang duduk melaut. Sangat disayangkan, ketika
didekati lebih rekat, benda itu tampak berdebu dengan sawang yang kentara
seolah merupakan garnis yang sengaja dipajang untuk juga dipamerkan. Posisinya
yang tepat di tengah ruangan di mana pusat cahaya berada, menjadikan debu yang
tak sekadar kesan itu bisa terlihat jelas.
Beranjak
dari benda itu, saya berjalan melihat koleksi dinding beretalase yang antara
lain berisi koleksi kain tenun dan pakaian pengantin khas Lampung. Rasa tak
nyaman tadi saya coba lupakan dengan memperhatikan etalase dinding yang
dipajang mengitari seluruh ruangan lantai dua. Tapi justru perasaan miris
muncul saat mendapati kainkain tenun tak lagi berwarna cerah, atau memang
dasarnya sudah berwarna kusam sejak awal?
Ketaknyamanan
mata yang bermula dari perahu tadi makin menjadi saat kemudian saya turun
melihat koleksi lain di ruang sebelah kiri lantai satu. Tak hanya debu dan
sawang, kayu juga mulai tampak rapuh dengan bubuk yang bertabur di antara
koleksi hewan-hewan awetan dalam ruang kaca. Tiga hal tadi membuat saya
berpikir sedang ada di museum atau gudang. Saya membayangkan, jika kondisi
seperti itu dibiarkan dalam 5-10 tahun ke depan, akankah museum ini masih punya
koleksi yang sama.
Merujuk
pada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1995 Pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa
Museum adalah lembaga, tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan, dan
pemanfaatan benda-benda bukti materiil hasil budaya manusia serta alam dan
lingkungannya guna menunjang upaya perlindungan dan pelestarian kekayaan budaya
bangsa (http://elib.unikom.ac.id/).
Apabila
koleksi yang ada di museum hanya disimpan tanpa dirawat, bagaimana mungkin
pemanfaatannya bisa dilakukan. Jika sudah seperti itu kondisinya, ke mana lagi
harus menyimpan benda-benda lawas seperti misalnya naskah-naskah kuno yang baru
dipulangkan dari Leiden misalnya. Jangan salahkan warga jika tak rela naskahnya
diambil alih pemerintah.
Tentu
dengan tidak menafikan hal positif yang telah diupayakan oleh pihak pengelola
Museum Ruwa Jurai di antaranya membuat Katalog Topeng Lampung, serta mencetak
dan membagikan hasil penelitian berupa transkrip dan transliterasi Buku Kulit
Kayu. Saya yakin pihak pengelola museum jauh lebih tahu tindakan apa saja yang
seharusnya mereka lakukan.
Sebagai
masyarakat, saya hanya mengamati kemudian menyampaikan apa yang sekiranya
janggal dan membahayakan peradaban budaya Lampung khususnya. Kecuali bila
provinsi ini rela Museum Ruwa Jurai menjadi “benda museum” yang memang sudah langka
dan berangsur hanya pantas sebagai pajangan di kota Bandar Lampung karena
kondisi koleksi yang tak terawat secara maksimal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar