Kian bingung pada dunia sastra saat ini. Banyak tulisan bagus dihajar sedemikian rupa dianggap sebagai tulisan buruk. Sebaliknya banyak tulisan yang cuma gemremeng, sok melawan dengan teori yang tak kokoh dipuji-puji setengah mati oleh orang-orang yang mengaku penjaga sastra Indonesia. Benar kata Mbak Leila S. Chudori dunia sastra kita cuma berisi orang-orang yang suka bertikai.
Wah kalau begitu minta saran Wicaksono Adi bagaimana jadi penghuni dunia sastra yang tak banyak gontok-gontokannya, yakni di dunia hantu, dunia para dhemit.
Auuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu!
Wah kalau begitu minta saran Wicaksono Adi bagaimana jadi penghuni dunia sastra yang tak banyak gontok-gontokannya, yakni di dunia hantu, dunia para dhemit.
Auuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu!
Beliau adalah guru yang telah mengajar, dan sempat membuat saya kesal karena pada suatu masa, setelah saya mengeluelukan teknik pengajaran beliau, justru memberi nilai yang ketika itu saya anggap tidak adil. Beberapa waktu kemudian, barulah saya tersadar bahwa yang beliau berikan pada saya itu paling pas. Selama ini saya terbiasa puas dengan nilainilai tertinggi. Padahal, tidak semuanya harus demikian.
Tulisan di atas, terutama pada bagian "banyak tulisan yang cuma gemremeng, sok melawan dengan teori yang tak kokoh" kembali menjadi peringatan bagi saya agar terus belajar untuk menulis berdasarkan riset. Bahwa menulis fiksi bukanlah sekadar menuangkan ceracau hati, atau kritik sosial yang mentah. Melainkan juga menuangkan gagasan intelektual yang diwujudkan dalam sastra sehingga akan berkedudukan setara dengan bukubuku nonfiksi, hanya kemasannya saja yang beebeda. Itu adalah salah satu tanggung jawab saya.