Membayangkan sebuah
scene romantis, laki-laki seperempat abad itu duduk di tepi danau yang
dikelilingi rerumputan. Ia tersenyum mendapati seseorang akhirnya menghampiri
tepat sesuai waktu yang telah dijanjikan berdua. Saling pandang sebentar,
kemudian berpaling bersamaan. Ada senyum yang berlompatan seperti percik
air di hadapan mereka. Langit cerah. Suasana yang takarannya pas tanpa kurang
sedikitpun bagi yang sedang dirundung suka cita berdua.
“Lapar
banget, lapar aja, gak lapar tapi pengin nyemil, atau kenyang?”
Senyum
laki-laki itu mengembang lagi. Ia pilih yang ketiga, “Nyemil
kayaknya enak nih.”
Perempuan
itu merogoh tas kecilnya. Ia bertanya, melanjutkan. Tangannya masih terhenti di
dalam sana.
“Pedas,
manis, asin, atau yang 'rasahmbayar'?” pertanyaannya lebih seperti pedagang
yang menjajakan barang di terminal. Tapi laki-laki itu
tertarik pada tawaran terakhir.
“Rasa
apa tadi yang terakhir?”
Perempuan
di sampingnya tergelak, tapi malu-malu.
“Di
sebelah mana yang lucu?” sama sekali ia tak paham. Tapi agar perempuan
kesayangannya itu tak kecewa, ia tertawa, tergelak yang dibuat-buat.
“Nih.
Lucunya di sebelah sini.” Sebuah kotak kecil berisi beberapa potong brownish
disodorkan padanya yang masih tergelak pura-pura.
“Waah,
makasi ya. Kamu yang buat sendiri?” kejutan itu membuatnya benar-benar
bahagia. Bukan pura-pura. Dijumput sepotong brownish, buru-buru
ia ingin merasakan. Sambil mengunyah ia bilang,
“Manis.
Katamu tadi rasambaya... rasa apa sih?” sepotong brownish yang lain mengantri
di depan mulutnya.
"Udah,
rasain aja." Pipinya
kini merona.
Perempuan itu, entah bagaimana caranya ia tak tahu
mengungkapkannya. Yang jelas ia terus tersenyum. Membuat laki-laki
di sampingnya gemas ingin menyentuh dan mencubit bagian yang kemerahan tersebut.
Ia
mengernyit tak bisa menghindar. Jelas ia menolak. Dan tangan laki-laki
itu tertahan di udara. Perempuan itu telah lenyap.
Hanya
manis yang tersisa.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar