Baru-baru ini Metro Tv memberitakan bahwa film “The Raid 2: Berandal”
dilarang diputar di Malaysia. Saat diberitakan, belum ada alasan jelas mengenai
pencekalan tersebut. Di sisi lain, seorang produser film Mengejar Setan yang
juga ketua Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI) menyampaikan
kekecewaannya karena pemerintah memberikan apresiasi terhadap film yang kaya
akan muatan kekerasan itu. Dalam kutipannya, ia mengatakan, “Pemerintah selalu
menuntut PPFI dan anggota di dalamnya memproduksi film yang berisi kebudayaan,
pendidikan, dan kearifan lokal lain. Namun, tidak ada apresiasi. Kalau memang
lewat kekerasan, tinggal saya bilang sama anggota untuk bikin” (Lampost,
3/3/14).
Pertama saya ingin menanggapi pelarangan
pihak Malaysia. Bagi yang telah menonton film ini, tentu masih mengingat
bahwa ada scene tentang kebudayaan Indonesia yang ditampilkan
yaitu Reog Ponorogo. Saya menduga, negara yang sedang terbentur masalah tragedi
pesawat hilang itu hanya “tengsin” karena ternyata Indonesia telah berhasil
menyampaikan pada dunia bahwa Reog ada di Indonesia meskipun Malaysia pernah
mengklaim bahwa itu kebudayaan mereka. Entahlah.
http://www.imdb.com/title/tt2265171/?ref_=rvi_tt |
Kemudian, mengenai kekecewaan ketua PPFI. Jujur, di awal artikel saya sempat termakan dan setuju dengan argumennya, tetapi saat di akhir disampaikan bahwa dia adalah seorang produser dari film yang saya belum menonton tapi tayang hanya sebentar di bisokop, seketika apa yang telah ia paparkan jadi subjektif. Ya, lewat film The Raid 2, bagi yang mengenal Indonesia, mungkin akan agak terkaget-kaget sebentar. Bahwa Indonesia terlepas dari adanya keterlibatan negara lain—yang mungkin juga punya maksud lain dalam film ini—bisa menghasilkan film keren. Tapi setelah kekagetan itu, saya pikir penikmat film tidak lagi peduli pada hal-hal di luar ketakjuban dan apresiasi.
Saat menonton film-film Hollywood—dalam hal ini patokannya memang Hollywood—apakah hujatan terhadap negara pembuat film itu penting? Kecuali mengandung SARA, saya pikir, sama dengan sastra yang tak jarang memutarbalik fakta, nilai, dan norma, film juga suatu karya yang ketika ia dilempar ke masyarakat, maka ia menjadi sesuatu yang otonom, lepas dari segala keterikatan penulis, produser, sutradara, apalagi negara asal. Setelah produksi selesai, maka tugas selanjutnya ada pada audiens untuk mengapresiasi dan mengkritisi.
Saya akui, kekerasan yang disajikan dalam
film The Raid 2 memang telah mencapai taraf ‘sadis’. Film sadis yang terakhir
saya tonton adalah “The Pianist” yang digarap Roman Polanski tahun 2002 tentang
kekerasan pada bangsa Yahudi. Seringnya penggunaan benda dan senjata tajam
serta proses ‘pembunuhan’ yang selalu brutal membuat film The Raid 2 lebih
mengerikan dari film horor. Bahkan saat menonton film ini, intensitas menutup
mata dengan beberapa jari tangan jauh lebih tinggi ketimbang saat saya menonton
film-film horor seperti Insidious, The Shelter dan Mama. Kengerian dalam film
ini sungguh di luar ekspektasi sebagai orang Indonesia yang dikenal sebagai
bangsa sopan. Atau jangan-jangan, melalui film ini, penggarapnya ingin
menyadarkan bahwa sebetulnya sekarang sifat-sifat baik bangsa ini sudah tidak
lagi seperti yang dulu begitu lekat. Nah lo.
Hanya saja, penonton yang objektif, akan
melepaskan hahal eksplisit bersifat pemanis dan justru masuk ke ranah implisit
yaitu “nilai” dan pesan moral. Nilai positif yang saya dapatkan antara lain
etika balas budi serta hubungan kekeluargaan. Bahwa seorang berandal, pembunuh
sadis sekalipun, mereka tetap mengutamakan keluarga. Adegan-adegan di mana para
tokoh yang juga seorang Ayah merindukan anak adalah bagian yang cukup berkesan
di antara cucuran darah yang mengalir saat pembantaian. Apalagi, selain menampilkan
salah satu kebudayaan Indonesia tadi, film ini juga memperkenalkan tentang
hal-hal unik negeri ini yaitu tempe, bahasa gaul “elo gue”, dan seni bela diri.
Termasuk ada juga kritik terhadap
pemerintahan Indonesia. Suatu karya, sastra dan fiksi tidak lahir dari
kekosongan, pendapat ini berlaku di sini. Ingatkah pada scene saat
terjadi mediasi antara kelompok Indonesia dan Jepang yang tersandung konflik
karena ada pihak lain yang ingin merebut wilayah kekuasaan mereka? Ada kesan,
tokoh yang ditunjuk sebagai mediator adalah pemimpin Indonesia. Lebih jauh,
pada bagian ini saya menangkap sindiran mengenai para penguasa negara yang suka
sembarangan memperjualbelikan wilayah Indonesia secara sepihak demi keuntungan
pribadi.
Ada dialog yang saya ingat begini, “Kita
serahkan Menteng dan Sabang buat mereka”. Seolah negara Indonesia adalah milik
pribadi yang bisa ia perjual-belikan seenaknya. Orang Indonesia mestinya paham
masalah ini. Ambisi, inilah tema besar yang disebarkan sepanjang film.
Gara-gara ambisi, seorang anak sampai hati menembak kepala ayahnya di depan
banyak orang. Ambisi juga bisa menguatkan seseorang meninggalkan keluarganya.
Dan yang terparah, mengorbankan bangsa sendiri.
Di samping itu, saya dapatkan juga
beberapa anomali atau hal di luar nalar dalam film The Raid 2. Pertama adalah
latar salju. Dunia tentu tahu bahwa Indonesia adalah negara yang tak mengenal
musim di mana salju akan turun. Jika bukan disengaja agar mendapat “perhatian”
penonton, tentu ada pertimbangan lain yang melatarbelakangi keputusan dari
penggarapnya. Yang jelas, latar salju itu membuat film semakin dramatis karena
darah yang merah pekat yang mengucur tumpah di atas salju yang berwarna putih.
Kedua, bagaimana tokoh utama bisa bertahan dalam pertempuran hebat menghabisi
seluruh “penjahat” termasuk kelompok Bejo. Padahal saat diminta datang untuk
menolong, ia sedang mengerang kesakitan karena baru saja selesai bertarung
menghadapi serangan di taksi di mana tubuhnya terluka karena terkena benda
tajam.
Namun, kembali pada ketua PPFI tadi,
poitnya tidak terletak pada tema kekerasan atau bukan. Sebagai orang yang awam
dengan sinematografi, saya sangat percaya bahwa sebuah film akan menemukan
penontonnya masing-masing. Jadi, apresiasi tak bisa dibeli dengan apapun
kecuali ‘kualitas’.
***Saya pernah menyesal, karena sebelum menonton film The Raid sequel pertama saya terlanjur mendjudge bahwa film itu buruk dengan muatan kekerasan, nyatanya, setelah menonton di laptop dugaan saya langsung hambar tertutupi oleh dahsyatnya sound system. Jangan sampai kamu kelewatan menikmati sensasi sound bioskop ya! :) Grab the ticket now! Durasinya dua setengah jam, tapi gak akan terasa lama. Kecuali pas kamu bayar biaya parkir yang tiga kali lipat lol
Tidak ada komentar:
Posting Komentar