*Jrengjreeeng, Mbak Lin, tulisan ini rasanya kayak tonjokkan ke saya sendiri. Apalagi waktu itu di bagian akhir saya mengajukan pertanyaan yang sebetulnya saya pun gak tahu pertanyaan itu ditujukan ke siapa O:
Tapi, lagilagi opini Mbak memberi penjelasan tambahan pada opini saya sebelumnya: "Secara garis besar, saya setuju dengan semua pendapat para penulis. Kita memang memerlukan berdirinya suatu FIB di PTN Lampung karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Dus, kita perlu juga memikirkan bagaimanakah blueprint FIB idaman kita ini. Mau yang bagaimana, apa-apa saja. Ya, semua itu patut dicetakbirukan dulu supaya apabila FIB sungguh terwujudkan—FIB tersebut mampu mengejawantahkan seluruh harapan yang telah kita tanamkan kepadanya."
Opini | Lampung Post, Sabtu, 5 April 2014
Menakar Peluang FIB di Unila
Karina Lin
Pengamat sosial-budaya, tinggal di Bandar Lampung
MENARIK dan seru! Itulah kesan yang saya tangkap ketika mencermati rubrik opini di surat kabar Lampung Post yang bertemakan wacana mendesak pendirian fakultas ilmu budaya (FIB) di Universitas Lampung (Unila).
Dalam sebulan ini, tiga opini yang bertemakan mendesak pendirian FIB di Unila ditampilkan di Lampung Post. Artikel opini ini ditulis Hardi Hamzah (3/3), Dina Amalia Susamto (15/3), dan Destaayu Wulandari (20/3).
Secara garis besar, saya setuju dengan semua pendapat para penulis. Kita memang memerlukan berdirinya suatu FIB di PTN Lampung karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Dus, kita perlu juga memikirkan bagaimanakah blueprint FIB idaman kita ini. Mau yang bagaimana, apa-apa saja. Ya, semua itu patut dicetakbirukan dulu supaya apabila FIB sungguh terwujudkan—FIB tersebut mampu mengejawantahkan seluruh harapan yang telah kita tanamkan kepadanya.
Satu hal lagi yang tak boleh luput, yakni mengenai peluang FIB tersebut sungguh-sungguh berdiri. Bagaimana dan seberapa besar peluang FIB berdiri di Unila?
VdT sebagai Katalisator
Arman A.Z., seorang peminat sejarah kelampungan yang tinggal di sini, pernah menulis mengenai kamus bahasa Lampung karya Herman Neubronneer Van der Tuuk (Vdt). Kamus ini, kata Arman (Lampung Post, 19 Februari 2014), merupakan kamus bahasa Lampung pertama (tertua) untuk ukuran kebahasaan Lampung. Kamus ini selama satu setengah abad tersimpan baik di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, dan baru pada Februari 2014 lalulah kamus tersebut “dipulangkan.”
Penyerahan repro kamus Vdt dilakukan pada 27 Februari lalu. Dalam acara penyerahan repro kamus tersebut, juga diadakan diskusi tema Mengembalikan Harga Diri Orang Lampung. Sayang, saya tidak bisa menghadiri diskusi tersebut.
Ada empat rekomendasi penting yang dihasilkan dari diskusi: (a) perlu adanya tindak lanjut berupa pertemuan yang melibatkan para pemangku kepentingan (stakeholder) untuk mengembangkan dan memasyarakatkan bahasa Lampung; (b) perlu dibukanya kembali program studi (prodi) bahasa Lampung atau FIB di Universitas Lampung; (c) mendesak pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) untuk mewujudkan budaya Lampung sebagai identitas lokal; (d) perlu penerbitan dan sosialisasi kamus bahasa Lampung karya Vdt dan berbagai manuskrip Lampung kuno yang saat ini tersebar di berbagai tempat (teraslampung.com).
Semenjak keluarnya empat rekomendasi tersebut, wacana mendesak pendirian FIB bergema lagi. Sampai di sini, boleh disebut pengembalian kamus dan hasil diskusi menjadi semacam katalisator yang memicu letupan semangat pendirian FIB di Unila.
Tentu saja ini respons yang sangat positif. Akan tetapi, patut dicatat, wacana mendesak pendirian FIB di Unila telah pernah digemakan jauh sebelum momen pengembalian repro kamus VdT. Kita bisa mengetahui hal ini dari, salah satunya, buku Feodalisme Modern, Wacana Kritis Lampung dan Kelampungan (2013) yang ditulis Udo Z. Karzi). Ada beberapa subbab dalam buku yang menyinggung-nyinggung wacana pendirian FIB di Unila.
Lalu seorang dosen saya di Prodi Pendidikan Sejarah pernah pula mengajukan gagasan ini. Menurut penuturannya, proposal telah dibuatnya bersama seorang dosen dari prodi kebahasaan dan diajukan kepihak dekanat atau rektorat (saya lupa). Tunggu punya tunggu, tak ada kelanjutannya.
Menyatakan FIB
Sejujurnya, saya sangat menyambut baik bergemanya kembali wacana mendesak pendirian FIB di Unila. Saya kira, tak perlu dipaparkan secara panjang lebar mengenai alasan keperluan ini. Sederhana saja, yakni untuk keberlangsungan peradaban dan ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Serta satu lagi, yang katakanlah alasan sentimentil diri saya.
Sebagai alumnus Unila dari Prodi Pendidikan Sejarah, saya berharap sekali Unila memiliki prodi yang murni ilmu sejarah. Saya terkenang ketika pada 2002 mengikuti SPMB. Saat itu saya memilih dua prodi yang sama-sama berlatar belakang humaniora, pilihan pertama di Universitas Indonesia dan pilihan kedua di Unila. Sayangnya, saya tidak berhasil mendapatkan pilihan pertama, sehingga menimba ilmulah saya di prodi pilihan kedua (pendidikan sejarah).
Meski namanya tetap mencantumkan kata sejarah, dalam kurikulumnya terdapat mata kuliah pendidikan (ya, namanya juga Prodi Pendidikan Sejarah), jadi tidaklah murni. Selain itu, menurut penuturan ketua prodinya, komposisi penulisan skripsi jauh lebih banyak yang menjurus ke pendidikan ketimbang ke sejarah.
Alasan lainnya? Tanggapan berbagai pihak yang bagai gayung bersambut. Walaupun demikian, tetap ada rasa skeptis apakah wacana kali ini bisa menjadi sekedar wacana. Kalau dari sisi teknis seperti sumber daya manusia (SDM) dan sebagainya, menurut saya bisa diusahakan atau diatur. Baru-baru ini saya melakukan perbincangan dengan seorang pensiunan guru besar di UI (beliau berlatar belakang sosiologi). Kebetulan sang guru besar ini kini bekerja di semacam badan yang mengurusi akreditasi PT-PT di Indonesia.
Mengenai pendirian FIB ini, menurutnya, kalau ada perjanjian kerja sama, mungkin bisa resource sharing. Namun, sebaiknya cek dengan Dikti dulu daripada melangkah terlalu jauh tapi salah. Jika Unila serius bikin fakultas baru, bisa penjajakan ke Dikti dan FIB di UI dan UGM. Unila juga harus bikin tim studi kelayakan atau feasibility study.
Bersamaan dengan itu, dia juga mengatakan, “Yang sebenarnya mau bikin fakultas siapa, sih? Yang punya ide harus merintis, menjajaki. Kalau tidak, omong doang. Buang energi saja. Dalam tiap inisiatif selalu harus ada orang yang siap memotori dan menyediakan tenaga dan pikiran penuh waktu untuk mewujudkan ide. Kalau tidak, percuma saja.”
Pernyataan itu menyentak saya. Nah, ini dia! Jika dipikir-pikir, apa yang dinyatakannya itu realistis. Sepengamatan saya, wacana pendirian FIB sudah ada sejak lama. Ide tersebut terus hidup. Hanya saja, faktor siapa atau dalam terminologi yang lebih luas lagi, pihak yang sungguh-sungguh memotori, mendedikasikan waktu, tenaga dan pikiran guna mewujudkan FIB tersebut masih belum ada. Kita masih belum sampai tahap itu sehingga tidaklah mengherankan bila wacana ini masih terus menjadi wacana (saja) hingga detik ini. Mamun alias maju mundur.
Saya pernah membuat sebuah tulisan mengenai pendirian FIB di Unila. Saya kirimkan ke sebuah media cetak lokal yang sayangnya tidak dimuat. Dalam tulisan tersebut, saya memperbandingkan fakultas kedokteran (FK) di Unila dan FIB di Unila. Cukup logis karena pertimbangan (a) di antara sepuluh fakultas yang ada di Unila, FK-lah yang termuda (berdiri tahun 2002) dan (b) FK dan FIB memiliki kegunaan sederajat. FK (ilmunya) berguna untuk menyelamatkan manusia secara harfiah. FIB (ilmunya) berguna untuk menjadikan kita manusia yang bermartabat dan beradab.
Namun, kenapa Unila mau mewujudkan FK, sementara FIB bagai kasih tak sampai? Faktor niat merupakan salah satunya dan terutama karena ada pihak yang mau mencurahkan waktu, tenaga, pikiran tak terkecuali biaya guna merealisasi FK tersebut. Entah siapa pihak-pihak tersebut, saya tidak tahu. Saya hanya mengingat. Kalau tak salah, Mantan Menteri Kesehatan masa Reformasi yang berasal dari Lampung, Farid Anfasa Moeloek yang mengawal pendirian FK Unila.
Jadi, kembali ke poin seberapa besar peluang berdirinya FIB di Unila? Saya kira masih fifty-fifty. Ramai dibahas, diberitakan, belum tentu juga bisa terwujudkan. Sebaliknya, sepi dibahas, diberitakan, belum tentu pula tidak bisa diwujudkan.
Namun, lebih daripada itu, peluang menjadi sangat besar, malahan realistis FIB terwujudkan andai kata ada pihak yang mendedikasikan waktu, tenaga, pikiran, dan lain-lain guna “menyatakan” FIB dan setelah FIB itu berdiri.
Di media sosial, saya memang telah membaca link mengenai petisi mendesak pendirian FIB di Unila. Itu hal yang positif untuk memulai proses mewujudkan berdirinya FIB. Namun, sekali lagi kita membutuhkan lebih dari sekadar petisi.
Ya itu tadi, mencurahkan loyalitas kita (waktu, tenaga, pikiran bahkan dana) serta jangan lupakan faktor waktu. Sekalipun kita menggebu-gebu, tetap mustahil mewujudkan inisiatif itu dalam sekejap mata. Belajar dari pendirian FK, gagasan itu diwacanakan sekira akhir tahun 1990-an dan baru terealisasi lebih dari sepuluh tahun kemudian.
Oya, ada hal menarik dari opini yang disebarkan oleh Udo Z Karzi di facebook ini. Di mana kolom komentar terwarnai dengan diskusi yang agak panas dengan orang dalam Unila. Berikut rangkumannya
Tapi, lagilagi opini Mbak memberi penjelasan tambahan pada opini saya sebelumnya: "Secara garis besar, saya setuju dengan semua pendapat para penulis. Kita memang memerlukan berdirinya suatu FIB di PTN Lampung karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Dus, kita perlu juga memikirkan bagaimanakah blueprint FIB idaman kita ini. Mau yang bagaimana, apa-apa saja. Ya, semua itu patut dicetakbirukan dulu supaya apabila FIB sungguh terwujudkan—FIB tersebut mampu mengejawantahkan seluruh harapan yang telah kita tanamkan kepadanya."
Opini | Lampung Post, Sabtu, 5 April 2014
Menakar Peluang FIB di Unila
Karina Lin
Pengamat sosial-budaya, tinggal di Bandar Lampung
MENARIK dan seru! Itulah kesan yang saya tangkap ketika mencermati rubrik opini di surat kabar Lampung Post yang bertemakan wacana mendesak pendirian fakultas ilmu budaya (FIB) di Universitas Lampung (Unila).
Dalam sebulan ini, tiga opini yang bertemakan mendesak pendirian FIB di Unila ditampilkan di Lampung Post. Artikel opini ini ditulis Hardi Hamzah (3/3), Dina Amalia Susamto (15/3), dan Destaayu Wulandari (20/3).
Secara garis besar, saya setuju dengan semua pendapat para penulis. Kita memang memerlukan berdirinya suatu FIB di PTN Lampung karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Dus, kita perlu juga memikirkan bagaimanakah blueprint FIB idaman kita ini. Mau yang bagaimana, apa-apa saja. Ya, semua itu patut dicetakbirukan dulu supaya apabila FIB sungguh terwujudkan—FIB tersebut mampu mengejawantahkan seluruh harapan yang telah kita tanamkan kepadanya.
Satu hal lagi yang tak boleh luput, yakni mengenai peluang FIB tersebut sungguh-sungguh berdiri. Bagaimana dan seberapa besar peluang FIB berdiri di Unila?
VdT sebagai Katalisator
Arman A.Z., seorang peminat sejarah kelampungan yang tinggal di sini, pernah menulis mengenai kamus bahasa Lampung karya Herman Neubronneer Van der Tuuk (Vdt). Kamus ini, kata Arman (Lampung Post, 19 Februari 2014), merupakan kamus bahasa Lampung pertama (tertua) untuk ukuran kebahasaan Lampung. Kamus ini selama satu setengah abad tersimpan baik di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, dan baru pada Februari 2014 lalulah kamus tersebut “dipulangkan.”
Penyerahan repro kamus Vdt dilakukan pada 27 Februari lalu. Dalam acara penyerahan repro kamus tersebut, juga diadakan diskusi tema Mengembalikan Harga Diri Orang Lampung. Sayang, saya tidak bisa menghadiri diskusi tersebut.
Ada empat rekomendasi penting yang dihasilkan dari diskusi: (a) perlu adanya tindak lanjut berupa pertemuan yang melibatkan para pemangku kepentingan (stakeholder) untuk mengembangkan dan memasyarakatkan bahasa Lampung; (b) perlu dibukanya kembali program studi (prodi) bahasa Lampung atau FIB di Universitas Lampung; (c) mendesak pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) untuk mewujudkan budaya Lampung sebagai identitas lokal; (d) perlu penerbitan dan sosialisasi kamus bahasa Lampung karya Vdt dan berbagai manuskrip Lampung kuno yang saat ini tersebar di berbagai tempat (teraslampung.com).
Semenjak keluarnya empat rekomendasi tersebut, wacana mendesak pendirian FIB bergema lagi. Sampai di sini, boleh disebut pengembalian kamus dan hasil diskusi menjadi semacam katalisator yang memicu letupan semangat pendirian FIB di Unila.
Tentu saja ini respons yang sangat positif. Akan tetapi, patut dicatat, wacana mendesak pendirian FIB di Unila telah pernah digemakan jauh sebelum momen pengembalian repro kamus VdT. Kita bisa mengetahui hal ini dari, salah satunya, buku Feodalisme Modern, Wacana Kritis Lampung dan Kelampungan (2013) yang ditulis Udo Z. Karzi). Ada beberapa subbab dalam buku yang menyinggung-nyinggung wacana pendirian FIB di Unila.
Lalu seorang dosen saya di Prodi Pendidikan Sejarah pernah pula mengajukan gagasan ini. Menurut penuturannya, proposal telah dibuatnya bersama seorang dosen dari prodi kebahasaan dan diajukan kepihak dekanat atau rektorat (saya lupa). Tunggu punya tunggu, tak ada kelanjutannya.
Menyatakan FIB
Sejujurnya, saya sangat menyambut baik bergemanya kembali wacana mendesak pendirian FIB di Unila. Saya kira, tak perlu dipaparkan secara panjang lebar mengenai alasan keperluan ini. Sederhana saja, yakni untuk keberlangsungan peradaban dan ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Serta satu lagi, yang katakanlah alasan sentimentil diri saya.
Sebagai alumnus Unila dari Prodi Pendidikan Sejarah, saya berharap sekali Unila memiliki prodi yang murni ilmu sejarah. Saya terkenang ketika pada 2002 mengikuti SPMB. Saat itu saya memilih dua prodi yang sama-sama berlatar belakang humaniora, pilihan pertama di Universitas Indonesia dan pilihan kedua di Unila. Sayangnya, saya tidak berhasil mendapatkan pilihan pertama, sehingga menimba ilmulah saya di prodi pilihan kedua (pendidikan sejarah).
Meski namanya tetap mencantumkan kata sejarah, dalam kurikulumnya terdapat mata kuliah pendidikan (ya, namanya juga Prodi Pendidikan Sejarah), jadi tidaklah murni. Selain itu, menurut penuturan ketua prodinya, komposisi penulisan skripsi jauh lebih banyak yang menjurus ke pendidikan ketimbang ke sejarah.
Alasan lainnya? Tanggapan berbagai pihak yang bagai gayung bersambut. Walaupun demikian, tetap ada rasa skeptis apakah wacana kali ini bisa menjadi sekedar wacana. Kalau dari sisi teknis seperti sumber daya manusia (SDM) dan sebagainya, menurut saya bisa diusahakan atau diatur. Baru-baru ini saya melakukan perbincangan dengan seorang pensiunan guru besar di UI (beliau berlatar belakang sosiologi). Kebetulan sang guru besar ini kini bekerja di semacam badan yang mengurusi akreditasi PT-PT di Indonesia.
Mengenai pendirian FIB ini, menurutnya, kalau ada perjanjian kerja sama, mungkin bisa resource sharing. Namun, sebaiknya cek dengan Dikti dulu daripada melangkah terlalu jauh tapi salah. Jika Unila serius bikin fakultas baru, bisa penjajakan ke Dikti dan FIB di UI dan UGM. Unila juga harus bikin tim studi kelayakan atau feasibility study.
Bersamaan dengan itu, dia juga mengatakan, “Yang sebenarnya mau bikin fakultas siapa, sih? Yang punya ide harus merintis, menjajaki. Kalau tidak, omong doang. Buang energi saja. Dalam tiap inisiatif selalu harus ada orang yang siap memotori dan menyediakan tenaga dan pikiran penuh waktu untuk mewujudkan ide. Kalau tidak, percuma saja.”
Pernyataan itu menyentak saya. Nah, ini dia! Jika dipikir-pikir, apa yang dinyatakannya itu realistis. Sepengamatan saya, wacana pendirian FIB sudah ada sejak lama. Ide tersebut terus hidup. Hanya saja, faktor siapa atau dalam terminologi yang lebih luas lagi, pihak yang sungguh-sungguh memotori, mendedikasikan waktu, tenaga dan pikiran guna mewujudkan FIB tersebut masih belum ada. Kita masih belum sampai tahap itu sehingga tidaklah mengherankan bila wacana ini masih terus menjadi wacana (saja) hingga detik ini. Mamun alias maju mundur.
Saya pernah membuat sebuah tulisan mengenai pendirian FIB di Unila. Saya kirimkan ke sebuah media cetak lokal yang sayangnya tidak dimuat. Dalam tulisan tersebut, saya memperbandingkan fakultas kedokteran (FK) di Unila dan FIB di Unila. Cukup logis karena pertimbangan (a) di antara sepuluh fakultas yang ada di Unila, FK-lah yang termuda (berdiri tahun 2002) dan (b) FK dan FIB memiliki kegunaan sederajat. FK (ilmunya) berguna untuk menyelamatkan manusia secara harfiah. FIB (ilmunya) berguna untuk menjadikan kita manusia yang bermartabat dan beradab.
Namun, kenapa Unila mau mewujudkan FK, sementara FIB bagai kasih tak sampai? Faktor niat merupakan salah satunya dan terutama karena ada pihak yang mau mencurahkan waktu, tenaga, pikiran tak terkecuali biaya guna merealisasi FK tersebut. Entah siapa pihak-pihak tersebut, saya tidak tahu. Saya hanya mengingat. Kalau tak salah, Mantan Menteri Kesehatan masa Reformasi yang berasal dari Lampung, Farid Anfasa Moeloek yang mengawal pendirian FK Unila.
Jadi, kembali ke poin seberapa besar peluang berdirinya FIB di Unila? Saya kira masih fifty-fifty. Ramai dibahas, diberitakan, belum tentu juga bisa terwujudkan. Sebaliknya, sepi dibahas, diberitakan, belum tentu pula tidak bisa diwujudkan.
Namun, lebih daripada itu, peluang menjadi sangat besar, malahan realistis FIB terwujudkan andai kata ada pihak yang mendedikasikan waktu, tenaga, pikiran, dan lain-lain guna “menyatakan” FIB dan setelah FIB itu berdiri.
Di media sosial, saya memang telah membaca link mengenai petisi mendesak pendirian FIB di Unila. Itu hal yang positif untuk memulai proses mewujudkan berdirinya FIB. Namun, sekali lagi kita membutuhkan lebih dari sekadar petisi.
Ya itu tadi, mencurahkan loyalitas kita (waktu, tenaga, pikiran bahkan dana) serta jangan lupakan faktor waktu. Sekalipun kita menggebu-gebu, tetap mustahil mewujudkan inisiatif itu dalam sekejap mata. Belajar dari pendirian FK, gagasan itu diwacanakan sekira akhir tahun 1990-an dan baru terealisasi lebih dari sepuluh tahun kemudian.
Oya, ada hal menarik dari opini yang disebarkan oleh Udo Z Karzi di facebook ini. Di mana kolom komentar terwarnai dengan diskusi yang agak panas dengan orang dalam Unila. Berikut rangkumannya
Hasyimkan Gamolan pendirian FIB unila bisa tanya pada calon rektor periode berikutnya Insya Allah mei 2015 pemilihan Rektor, jadi tanya sama calon rektor jika perlu kontrak perjajian " tiada akan jadi rektor Unila tanpa pendirian FIB". hubungi Senat, dosen, Unit Kegiatan mahasiswa/Pramuka, UKMBS, media Teknokra,dll. saya yakin FIB akan berdiri, (saya lihat wacana yang berkembang sekarang ini belum melibatkan komponen yang ada di Unila, jadi nyaris belum terdengar oleh kalangan Unila, cari orang unila yang konsen dan mau berkorban untuk pendirian FIB, sekali lagi saya yakin FIB akan berdiri). Institusi Unila adalah suatu badan yang membawahi kajian-kajian ilmiah dan akademik jadi pendekatannya juga harus ilmiah dan akademik. semoga didengar oleh para pemangku kepentingan.
Udo Z Karzi Hasyimkan: oya? sebulan lebih wacana ini bergulir di lampost dan di media sosial, tetapi anehnya unila nyaris tak mendengar... waw. beginikah almamaterku tercinta?
Hasyimkan Gamolan ya, mungkin pendekatannya ada yang belum benar, sehingga harus diupayakan lebih serius, kita berdoa kepada Allah saja biasanya doa dulu juga kepada nabi Muhammad, sahabat nabi tabi-tabiin, dll. gitu kiranya para tuan-tuan yang peduli akan keberlangsungan terhadap entitas Lampung, trim.
Hasyimkan Gamolan di Unila, pandangan manusianya masih bersifat akulturasi, masih banyak yang belum mengasimilasi, jadi kalau mau dibawa kepada pendidikan karakter dan kearifan lokal lampung masih susah, perlu waktu, doa dan usaha sedikit tekanan.
Udo Z Karzi pendekatan gimana maksudnya... sy misalnya, kan hanya orang biasa saja, bukan siapa2, cuma tukang tulis. salah satu yang bisa kami (orang di luar unila) misalnya lakukan adalah bikin tulisan, buat rekomendasi, trus petisi... itu salah? ya nggak lucu juga kalau sy umpamanya bergerak lebih dari itu. itu kan lebih salah lagi.
Hasyimkan Gamolan wartawan sudah benar selama ini merasa orang luar unila, sekarang sudah dipetakan belum senat, dosen dan mahasiswa (UKM) yang peduli dengan keberadaan FIB. melelui mereka yang seide dengan kita yang kita angkat ketulisan, seperti kemarin yang ditulis pendapat orang unila yang tidak konsen terhadap pendirian FIB, katanya pendirian FIB harus syaratnya inil dan itulah, dosennya harus inilah yang sepertinya tidak mungkin berdiri, padahal pendirian s2 dan s3 di ISI yogya merekrut dosennya yang belum SI tapi punya kapasitas untuk itu. misalnya Jaduk ferianto dll. dan akhirnya sekarang S2 dan S3 Isi Yogya bisa berdiri berkat orang-orang yang tidak punya kualifikasi yang dibutuhkan, tapi kok ISI yogya bisa sementara Unila sepertinya tidak bisa, tapi kalau saya yakin bisa pendirian FIB. trim.
Udo Z Karzi Hasyimkan: La, tugas sampeyan yang menulis... toh sampai hari ini belum ada sivitas akademika Unila yang menuliskan masalah ini... ya benar sy org yang berada di luar unila (dalam arti bukan mahasiswanya, bukan dosennya, bukan karyawannya) ya tentu saja nggak tahu persis rumah tangga unila. kalau mau buat prodi, jurusan, fakultas... yang memetakan masalah, merencanakan, membentuk tim segala macam itu kan PTN ybs.
Hasyimkan Gamolan tanya sama Insan Ares, saya sudah beberapakali diwawancara oleh beliau mengenai pendirian FIB, dan saya sudah memberikan pandangannya tapi mungkin belum diterbitkan, ya saya tunggu saja, saya masih menunggu pandangan saya mengenai pendirian FIB, saya jadi bertanya juga kok belum diterbitkan oleh Lampost. juga masih banyak sivitas akademika Unila yang konsen masalah ini yang belum dimintai pendapatnya. tidak mesti harus saya, saya hingga saat ini hampir di coret sebagai dosen Unila karena terlalu vokal memperjuangkan budaya lampung, waktu saya mengadakan Lomba gamolan Lampung di Museum saya sempat mengundang mahasiswa asing yang ada di Unila tapi sepertinya surat saya nyasar dan tidak sampai ke mahasiswa asing yang kuliah di Unila, bahkan pembelajaran budaya Lampung terhadap mahasiswa asing pun saya belum pernah. jadi jangan terlalu berharap sama saya, kalau saya hanya bergerak sendiri sepertinya tidak akan didengar.
Hasyimkan Gamolan apa jaminanya tulisan saya akan diterbitkan, saya sering kirim opini kok belum diterbitkan. kalau mengenai gamolan memang sering saya dicetak tapi pandangan yang lain belum diterbitkan, misalnya laporan seminar Internasional gamolan II di Australia, Pembangunan dunia pariwisata dan budaya Lampung juga belum diterbitkan, dll.
asyimkan Gamolan saya bukan siapa-siapa di Unila, hanya manusia biasa bukan pejabat, dll. jadi saya harus banyak tiarap dulu, urusin saja naik pangkat dan sekolah yang tinggi setelah jadi pejabat nanti baru kamu atur, itu salah satu pesan dari kolega saya di unila.
Sycarita Karina Lin @Bang Zul: Hehehe, seru diskusinya bang. @Pak Hasyimkan: pak, saya setuju dengan pendapat Bang Zul. Ide-ide atau pandangan yang bapak punyai akan lebih baik bila dituliskan sendiri. Bisa membuka ruang diskusi baru loh. Contohnya ya opini-opini di Lampost mengenai FIB ini.
Udo Z Karzi Hasyimkan: Bagaimana agar dimuat atau berapa tulisan yang dikirim tetapi tidak dimuat, tanya geh ke Sycarita Karina Lin. Hehee...
Hasyimkan Gamolan saya mau menulis asal diterbitkan, tapi seperti yang saya bilang saya bukan siapa-siapa di Unila, banyak yang kurang berkenan kalau saya banyak bicara, saya pernah menulis di media Teknokra unila mengenai Top Ten Unila tahun 2025. saya bilang syarat untuk top ten adalah 1. seberapa banyak Profesornya, dan yang ke 2. seberapa banyak i mahasiswa asingnya di unila. semakin banyak orang asing semakin hebat kampus tersebut, tapi orang asing paling hanya mau kuliah jurusan humaniora, nah jurusan yang sudah mapan di Unila kan susah menerimanya. makanya saya jadi heboh dikalangan pejabat tinggi di Unila. jadi saya mau menulis tapi dengan berjamaah yang lainnya juga terutama ada yang menjadi pejabat apalagi calon rektor unila 2015. kalau hanya saya sendiri yang menulis, mungkin hanya NIP saja saya sebagai orang Unila tetapi pisik saya tidak diakui orang Unila.
Hasyimkan Gamolan mungkin saya sarankan untuk mengadakan acara Begawi atau Nyambai dulu terutama kalangan pejabat Unila, biar mereka rasakan sebagai masyarakat lampung, memang melampungkan orang lampung adalah tugas berat dan mulia, walaupun susah tapi tetap harus kita perjuangkan, moga Allah meridhai, amin.
Dina Amalia Susamto Benar. Mhswa asing itu mau kuliah kalo ada fak humaniora artinya fib harus ada. Nanti berkembang BIPA, karena mereka hrs bljr bahasa indo dulu sblm masuk prodi2. BIPA itu tambang emas di upt2 bahasa di perguruan tinggi. Nah, fib lah rumah berkembangnya apapun budaya, antara orang lampung, indonesia, asing sama2 bljr budaya indonesia dan lampung di fib.
13 hours ago · Like · 2Dina Amalia Susamto Bbrp hari ini sy menybr kuisoner di lampung utk penelitian pemetaan sastra di indonesia (sastra daerah dan indonesia), dan sedihnya dari 100 kuisoner disebar, sedikit yg kenal cerita rakyat lampung, judulnya saja tdk tau, apalagi menulis sinopsisnya. Apalagi ketika kuisoner diberikan pd anak2 sma, yg td kbtln ikut lomba musikalisasi puisi di kantor bahasa. Yg mereka ingat cerita rakyat malin kundang, roro jonggrang, sangkuriang,timun mas, malin kundang dan maling kundang. Hanya sdkit yg tau anak2 sma itu cerita daerah lampung. Apalagi bagian kuisoner yg berjenis pantun. Hanya satu, dua yg tau dari anak2 sma itu. Hahahah ketawa mau nanagis.
Udo Z Karzi Dina: Turut prihatin dengan keadaan ini. Padahal hampir setiap nama tempat di Lampung menyimpan cerita (legenda, dll). Sebut saja: Kurungannyawa, Negerisakti, Belambangan Pagar, Pagardewa, Setiwang, Sebidak, Selipas, Pantau, Way Mengaku, Negarabatin, Negeriratu, Tulangbawang (bawang kok punya tulang hehee...), ... dst. 12 hours ago · Edited · Like · 1
Hasyimkan Gamolan ya, bener. pada tahun 2011 saya berdiskusi dengan bang Admi syarif ketua Lemlit Unila untuk mengadakan begawi Unila, moga aja terlaksana Begawi Agung pada saat dies nanti dan saya sudah diberi tahu sama bang Admi. kita harus menunggu waktu juga, jika guru seni sudah banyak dan seni budaya Lampung sudah sering dipentaskan mungkin saat itu pandangan orang akan berubah dan mendesak berdirinya FIB, tapi bisa kita bicarakan juga pada saat dies nanti.
Hasyimkan Gamolan mungkin perlunya syarat pemilihan rektor Unila kedepan harus bisa berbahasa dan berbudaya Lampung, atau minimal mendukung budaya Lampung. contoh misalnya misalnya dulu rumah gubernur namanya pendopo gubernuran, sekarang setelah gubernurnya orang lampung menjadi Mahan Agung, Kantor Gubernur menjadi Balai keratun, ada ruang sungkai, ruang Abung.dll.
Sycarita Karina Lin Pak Hasyimkan Gamolan: Maaf, saya tidak setuju dengan pernyataan bapak. Saya tidak setuju kalau dibilang wacana mengenai FIB Unila ini belum melibatkan orang dalam Unila. Saya yakin, bapak pasti sering membaca surat kabar Lampung Post. Sering loh dalam pemberitaan mereka, diberitakan mengenai wacan membentuk FIB di Unila dan narasumber di pemberitaan tersebut adalah para pengajar di Unila yang notabene adalah orang dalam Unila. Dengan kata lain, berarti orang dalam itu mengetahui dong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar