Setiap orang tentu pernah terluka. Bagi yang pernah merasakan luka setidaknya bisa mendeskripsikan bagaimana rasanya. Bahkan Sutradji Choulsum Bachri (SCB) pernah membuat sebuah puisi berjudul “Luka”. Entah luka seperti apa yang ia rasakan, yang jelas dalam puisi tersebut hanya berisi sebuah larik yaitu ha ha.
Sekilas memang tampak kontradiksi dalam puisi tersebut. Sebab sudah menjadi hal umum bahwa ha ha merupakan dua suku kata yang dijadikan sebagai ekspresi tawa—bahagia. Lalu salahkah bila ekspresi tawa tersebut berada dalam sebuah puisi berjudul “Luka”? belum tentu.
Dalam apresiasi puisi ada suatu penafsiran yang dikenal dengan istilah interpretasi. Jika sebuah puisi diibaratkan sebuah pesawat, maka ia memiliki baling-baling yang ketika berputar akan menghasilkan putaran. Ketika putaran itu dislowmotion akan tampak betapa banyak “jarum-jarum” putaran yang menuju ke arahnya masing-masing—bayangkan putaran itu berhenti bergerak namun tetap dalam formasi berputar. Arah itulah yang dinamakan interpretasi.
Mengapresiasi puisi tidak bisa disamakan dengan mengapresiasi narasi atau cerpen. Sebab pada puisi ada baling-baling makna yang tidak bisa dideteksi dengan sekali baca—dikarenakan terbatasnya jumlah diksi. Berbeda dengan narasi yang tampil dengan ratusan bahkan ribuan kata.
Diksi pada puisi biasanya akan mempersempit kata yang menyebabkan meluasnya makna. Adanya diksi menjadikan puisi menjelma “kotak hitam” yang jika tidak dibuka maka pembaca tidak akan tahu persis apa isi di dalamnya. Dalam hal ini, interpretasi dijadikan sebagai alat pembukanya.
Maka banyaknya jumlah serta jauhnya arah interpretasi terhadap puisi akan tergantung pada latar belakang dan perspektif pembacanya masing-masing.
Lantas apakah makna yang sebenarnya ingin dinyatakan SCB melalui “Luka”? bisa jadi karena terlalu dalam ‘luka’ yang dirasakan “aku puisi”, atau terlalu sering ‘terluka’, menjadikan luka tidak lagi sebagai suatu rasa sakit. Perihnya luka dalam telah membentuk semacam imun. Akhirnya, dekonstruksi rasa memunculkan pentertawaan atas luka yang ada.
Ketika puisi telah sampai kepada pembaca, ia menjadi otonom sebagaimana dikatakan oleh Abrams. Jadi, tidaklah bijak jika menghakimi seorang penulis atas puisi yang diciptakan. Apalagi sampai memaknai puisi hanya dari satu sudut pandang, tanpa mempertimbangkan interpretasi dari perspektif orang lain. Apresiator atau kritikus semestinya sudah memahami bahwa puisi hanyalah representasi penulis atas apa yang ia lihat dan rasakan atas diri dan sekelilingnya. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar