... tidak tepat jika kita dijadikan lambang koruptor. Ini pelecehan yang tak bisa terus-menerus kita biarkan. Harkat dan martabat kita sebagai makhluk Tuhan jelas lebih tinggi daripada koruptor.
Korupsi, tindak pidana yang satu ini memang tampak kian lekat dengan citra para pejabat negara khususnya Indonesia. Tentu bukan hal baru. Setidaknya aroma busuk ini terendus kuat pasca lengsernya rezim yang dikenal sebagai pemberedel media massa bertahun-tahun silam.
Lalu ingatkah sejak kapan para pelaku korupsi tersebut mulai mendapat julukan khusus yaitu tikus? Bahkan, mantan penyanyi jalanan, Iwan Fals pernah membuat lagu “Tikus-tikus Kantor” bagi para pencuri berdasi itu. Pernahkah terpikir, di sisi lain para ‘tikus’ mengajukan protes atas kesewenang-wenangan penggunaan nama mereka untuk menjuluki tindakan kotor para koruptor?
Budi Maryono telah memikirkan hal itu. Di dalam kumpulan cerpen (kumcer) Semar Yes, Budi membuat anekdot melalui salah satu cerpen bertajuk “Lambang”. Diceritakan olehnya bagaimana para hewan pengerat--tikus, curut—mengadakan suatu pertemuan untuk menyusun rencana menuntut pembersihan nama baik bangsa mereka. Persis seperti ketika manusia mengadakan rapat untuk membahas suatu masalah bangsa. Namun tentu saja dari sudut pandang para tikus.
Meskipun tema cukup serius, namun kesederhanaan diksi dan dialog menjadikan “Lambang” begitu ringan untuk dibaca. Selain “Lambang” yang memaparkan sudut pandang tikus, Semar Yes juga menyuguhkan “Satria” yang menjadi pembuka istimewa dengan lagi-lagi memandang suatu hal dari sudut pandang berbeda mengenai seorang veteran.
Dilanjutkan dengan cerita tentang bagaimana seorang Bapak diprotes oleh seluruh anggota keluarganya lantaran menutup semua akses informasi hanya karena muak melihat komentar tentang berbagai hal di negaranya. Dalam cerpen “Mual”, Bapak tersebut secara sepihak menjual TV serta berhenti berlangganan koran dan majalah.
Semar Yes sebenarnya adalah judul dari cerpen penutup dalam kumcer yang berisi sepuluh cerpen yang hampir keseluruhannya mengajak pembaca menyimak suatu peristiwa dari sudut pandang berbeda. Dengan demikian, pembaca akan mampu untuk lebih bijaksana dan tidak terbawa arus pemikiran yang sebetulnya belum mutlak benar. Sebagaimana perilaku tokoh Semar dalam cerpen “Semar Yes”. Tokoh yang selama ini dianggap sebagai penuntun itu justru dibuat tersenyum saat menyaksikan keadaan kacau-balau karena seorang dalang kebingungan mencari di mana keberadaanya.***
Korupsi, tindak pidana yang satu ini memang tampak kian lekat dengan citra para pejabat negara khususnya Indonesia. Tentu bukan hal baru. Setidaknya aroma busuk ini terendus kuat pasca lengsernya rezim yang dikenal sebagai pemberedel media massa bertahun-tahun silam.
Lalu ingatkah sejak kapan para pelaku korupsi tersebut mulai mendapat julukan khusus yaitu tikus? Bahkan, mantan penyanyi jalanan, Iwan Fals pernah membuat lagu “Tikus-tikus Kantor” bagi para pencuri berdasi itu. Pernahkah terpikir, di sisi lain para ‘tikus’ mengajukan protes atas kesewenang-wenangan penggunaan nama mereka untuk menjuluki tindakan kotor para koruptor?
Budi Maryono telah memikirkan hal itu. Di dalam kumpulan cerpen (kumcer) Semar Yes, Budi membuat anekdot melalui salah satu cerpen bertajuk “Lambang”. Diceritakan olehnya bagaimana para hewan pengerat--tikus, curut—mengadakan suatu pertemuan untuk menyusun rencana menuntut pembersihan nama baik bangsa mereka. Persis seperti ketika manusia mengadakan rapat untuk membahas suatu masalah bangsa. Namun tentu saja dari sudut pandang para tikus.
Meskipun tema cukup serius, namun kesederhanaan diksi dan dialog menjadikan “Lambang” begitu ringan untuk dibaca. Selain “Lambang” yang memaparkan sudut pandang tikus, Semar Yes juga menyuguhkan “Satria” yang menjadi pembuka istimewa dengan lagi-lagi memandang suatu hal dari sudut pandang berbeda mengenai seorang veteran.
Dilanjutkan dengan cerita tentang bagaimana seorang Bapak diprotes oleh seluruh anggota keluarganya lantaran menutup semua akses informasi hanya karena muak melihat komentar tentang berbagai hal di negaranya. Dalam cerpen “Mual”, Bapak tersebut secara sepihak menjual TV serta berhenti berlangganan koran dan majalah.
Semar Yes sebenarnya adalah judul dari cerpen penutup dalam kumcer yang berisi sepuluh cerpen yang hampir keseluruhannya mengajak pembaca menyimak suatu peristiwa dari sudut pandang berbeda. Dengan demikian, pembaca akan mampu untuk lebih bijaksana dan tidak terbawa arus pemikiran yang sebetulnya belum mutlak benar. Sebagaimana perilaku tokoh Semar dalam cerpen “Semar Yes”. Tokoh yang selama ini dianggap sebagai penuntun itu justru dibuat tersenyum saat menyaksikan keadaan kacau-balau karena seorang dalang kebingungan mencari di mana keberadaanya.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar