Musim gugur telah berakhir. Seorang pria berpakaian
lusuh akhirnya memberanikan diri untuk keluar dari persembunyiannya selama
beberapa tahun. Wajahnya telah ditumbuhi jenggot lebat. Itu menjadikan
identitasnya makin tampak selain hidung yang begitu tirus.
Mungkin ialah satu-satunya manusia yang masih
bertahan di kota itu. Di antara puing-puing bangunan yang hancur, ia terseok
membawa-bawa perut yang teramat nyeri karena kelaparan.
Barangkali masih ada sesuatu yang bisa mengganjal
perut, pria itu masuk ke sebuah rumah melalui lubang dinding. Di dalamnya ia
menyisir lemari, tong penyimpan makanan sampai kaleng-kaleng yang telah
berkarat. Rupanya, Tuhan masih berkasihan padanya. Di antara kaleng-kaleng
kosong akhirnya ia menemukan sebuah yang masih tertutup rapat.
Bergegas ia membawa "harta karun" itu ke ruangan lain, loteng rumah. Susan payah ia berusaha membuka kaleng yang bisa jadi makanan di dalamnya sudah kadaluarsa. Prang! Kaleng itu meggelinding dan terhenti tepat di dekat kaki seseorang. Polisi!
Bergegas ia membawa "harta karun" itu ke ruangan lain, loteng rumah. Susan payah ia berusaha membuka kaleng yang bisa jadi makanan di dalamnya sudah kadaluarsa. Prang! Kaleng itu meggelinding dan terhenti tepat di dekat kaki seseorang. Polisi!
Pria itu mematung. Bertahun-tahun ia sembunyi,
haruskah tertangkap dengan cara seperti ini?
"Kamu tinggal di sini?"
"Kamu sedang sembunyi?"
"Kamu seorang yahudi?"
"Apa yang kamu lakukan dalam hidupmu?"
"Aku seorang pianis"
Jawaban sederhana itulah yang menyelamatkan nyawanya. Polisi itu kemudian memintanya untuk memainkan melodi dari piano yang ada di rumah. Setelah mengetahui bahwa si pria memang benar seorang pianis, ia justru menolongnya. Setiap hari ia berkunjung untuk sekadar mengetahui keadaan dan memberi makanan. Hingga waktu bergulir, pianis itu telah kembali pada kehidupan normal dan kembali bekerja di radio.
"Kamu tinggal di sini?"
"Kamu sedang sembunyi?"
"Kamu seorang yahudi?"
"Apa yang kamu lakukan dalam hidupmu?"
"Aku seorang pianis"
Jawaban sederhana itulah yang menyelamatkan nyawanya. Polisi itu kemudian memintanya untuk memainkan melodi dari piano yang ada di rumah. Setelah mengetahui bahwa si pria memang benar seorang pianis, ia justru menolongnya. Setiap hari ia berkunjung untuk sekadar mengetahui keadaan dan memberi makanan. Hingga waktu bergulir, pianis itu telah kembali pada kehidupan normal dan kembali bekerja di radio.
Berlatar pemerintahan Hitler, "The Pianist"
merupakan film berdurasi dua setengah jam tentang penyiksaan yang dialami
bangsa Yahudi. Banyak kejadian-kejadian sadis yang ditampilkan untuk
menunjukkan betapa tak manusiawinya Hitler terhadap bangsa yang disebut-sebut
paling cerdas di dunia itu. Bagi yang cukup awam mengenai tragedi pembantaian
tersebut tapi ingin mengetahui lebih jauh, film ini bisa menjadi alternatif.
Peristiwa-peristiwa penuh kekejaman di antaranya
adalah seorang kakek lumpuh yang dilempar begitu saja bersama kursi rodanya
karena tak mau berdiri. Ia tewas setelah terjun dari lantai 2 sebuah rusun.
Selain adegan penembakan yang selalu dilakukan secara jelas ke arah kepala,
badan dan kaki, penonton juga bisa melihat bagaimana orang-orang dilindas mobil
setelah sebelumnya dipaksa berlari kemudian ditembaki.
Pianis tersebut bertahan. Seluruh
keluarga dan warga selingkungannya telah dilenyapkan baik dengan cara dibunuh
maupun diasingkan entah ke mana. Ia menjadi saksi hidup atas kejamnya
pembantaian terhadap bangsanya. Pembantaian yang hingga kini masih merupakan
misteri. Sebuah buku berjudul Kisah
Diktator-Diktator Psikopat menuliskan bahwa salah satu sebab dugaan adalah
karena gagalnya seorang dokter Yahudi mengobati ibunya. Bahkan Erich Fromn
berpendapat bahwa Hitler mengidap necrophilia yaitu mencintai mayat dan hal-hal
yang berbau kematian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar