Pernahkah kamu mengingat kapan pertama kali kita bertemu? Atau tepatnya dipertemukan? Pernah kutanyakan hal ini padamu, dan kau hanya menjawab sekenanya.
“Penting?”
Memang, bukan hal yang penting buatmu. Tapi bagiku, merunut sejarah hubungan ini akan membantuku untuk setidaknya mencoba sedikit memahami kenapa sampai saat ini aku tak juga berhenti mengingatmu.
Malam ini, seperti biasa aku termangu di jendela kamar sambil terus memandangi bangunan berlantai tiga di sana. Empat hari yang lalu kau berpamitan lewat sms. Dan sampai detik ini, sms itu urung kubalas. Memang ada masanya kita kehilangan kemampuan untuk menjelaskan maksud dan tindakan kita. Apalagi jika tindakan itu kita lakukan dengan sadar dan menyalahi kesepakatan. Celakanya, di manapun, diam selalu bermakna ganda. Setiap orang sah menerjemahkannya sesuai suasana hati dan jangkauan pikiran.* Bagiku, pamit yang kau ucapkan secara langsung di kafe seminggu sebelumnya sudah cukup. Tapi kenapa, kau selalu mendadak inferior? Tentu saja inferioritas yang justru merendahkan orang lain.
***
Menjadi seorang introvert mungkin bukan pilihan. Sebab tak mungkin pula semua orang di dunia ini harus ekstrovert. Tapi satu hal yang seharusnya kau pahami, bagaimana mungkin seorang laki-laki mampu menjaga kekasihnya, jika terhadap dirinya sendiri pun ia tak mampu mengatasi kritik dari orang lain.
“Masih bolehkah aku menunggumu?”
Bersama gerimis yang sejak sore urung berhenti, kau tampak menunggu sebuah jawaban. Hal yang seharusnya sudah kau tahu kemustahilannya. Beberapa pertanyaan berulang kau tanyakan, dan selalu tak kujawab.
“Maaf ya kalau aku menanyakan hal itu lagi. Aku janji ini yang terakhir.”
Lantas kau menyelipkan sebatang kretek ke bibirmu yang kini terkatup. Sebentar saja asap tipis mengepul menyelubungi wajahmu yang telah berubah raut.
Aku masih bergeming. Pelan-pelan dinginnya udara malam itu menyeruak ke wajahmu kemudian menyambar lemon tea di gelasku. Tentu kau sangat tahu ketaksukaanku melihat asap rokok ikut campur dalam pembicaraan kita.
“Minggu depan aku pulang. Sengaja sore ini aku rela kehujanan menunggu kamu datang. Ya, sekadar pengin ngobrol panjang sebelum berpisah.”
“Urusanmu di sini udah kelar semua?” coba kuseriusi pernyataanmu.
“Kuanggap kelar.”
Otot wajahku mengendur. Jawaban semacam itulah yang kerap membuatku malas melanjutkan perbincangan. Gelas ditangan hanya kugenggam. Meski kutahu sudah tak adalagi kehangatan di sana. Sepertimu.
Kubiarkan hening menjadi satu-satunya pendengar gusar hati kita masing-masing. Sesekali kuselami wajahmu yang kadang masih juga mampu menelurkan rindu diam-diam. Kulihat kau menunduk mencari sesuatu dari tas slempangmu. Sebuah buku.
“Buatmu. Sebagaimana janjiku.”
Dahiku berkerut.
“Kapan kamu janji?”
“Waktu itu. Tapi ya terserah kalau kamu lupa.”
Kuusahakan sebuah senyum tulus, disusul ucapan terima kasih. Aku tak ingat kapan kau menjanjikan buku itu. Tapi memang kau pernah menjanjikan sesuatu, yang lain. Tenanglah, tak akan kuutarakan hal itu. Karena mungkin saja kau sudah lupa. Sebab kau kerap mengingat apa-apa yang sudah kulupakan dan melupakan apa yang seharusnya kau ingat.
Kuanggap buku itu sebuah kenang-kenangan. Walaupun sebenarnya aku ingat bahwa kau pernah mengatakan tak ingin meninggalkan satu kenanganpun pada orang lain yang bisa mengingatkannya pada dirimu. Seorang teman pernah mengatakan bahwa jika waktunya tiba, kau ingin menghilang dari semua orang, kecuali orangtuamu.
“Kamu mau kenang-kenangan apa dariku?” tanyaku saat asap telah berhenti mengepul dari mulutmu. Kau juga sudah tampak lebih rileks.
“Antologi puisimu.”
Kuhela napas tanda pasrah. Sebenarnya pertanyaanku barusan hanya basa-basi. Sebab memberikan sesuatu padamu sepertinya suatu kesia-siaan.
“Tapi bukannya kamu gak begitu tertarik dengan benda pemberian ya? Kupikir kamu lebih suka mendapatkan sesuatu atas usahamu sendiri, mencuri buku misalnya.”
Sebentuk senyum merekah di wajahmu.
“Satu-satunya dosa yang bermanfaat adalah mencuri ilmu...” katamu. Dan sebelum selesai kalimatmu, kulanjutkan sendiri karena sudah terlalu hapal,
“... jadi mencuri buku bisa dibenarkan.”
Ha ha. Seketika tawamu pecah, meski tak sepecah petir di atas sana.
Hujan mulai menderas. Sesekali tempias membuat kita harus mengusap lengan dan wajah. Tapi kita tetap bertahan di luar.
“Permisi Kak, di dalam masih ada kursi yang bisa dipakai.”
Seorang pelayan yang mungkin heran melihat kita betah berada di luar akhirnya menghampiri. Tapi kita menolaknya. Jadilah kita sesekali tontonan pengunjung yang semuanya telah berada di dalam. Dan kita tak peduli.
***
Musim penghujan telah berakhir beberapa hari yang lalu, kurasa. Malam ini, saat pikiranku berlarian dalam insomnia, sesuatu muncul di kepala. Aku ingat sesuatu, yang menjadikan kita akhirnya terjebak dalam hubungan tak berbentuk.***
*Dikutip dari cerpen “Mual” dalam kumcer Semar Yes karya Budi Maryono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar