Jika harus menceritakan dari mana segala hal di
dunia ini bermula, aku tak akan mampu menjelaskan. Tapi satu hal yang pasti,
guruku bilang, semuanya Diciptakan oleh Sang Pencipta melalui proses
penciptaan. Dan aku meyakini hal tersebut, seyakin-yakinnya. Hanya saja, bukan
kapasitasku untuk menerangkan perkara
besar itu. Lagipula, apa yang akan kusampaikan ini hanya sesuatu yang kecil,
sederhana. Sehingga, akan kumulai kisah ini dengan kata-kata sederhana pula.
Aku sering kepayahan jika diminta
menerangkan awal mula sesuatu. Padahal ada banyak pertanyaan yang seumur hidup
belum pernah kudapatkan jawabannya. Kenapa orangtua kami bisa memiliki anak
begitu banyak hingga tak mampu kuhitung jumlahnya, kenapa pintu dan rumah kami
tak pernah dibuka kecuali pada saat-saat tertentu saja oleh Bapak, kenapa
cahaya di rumah kami hanya bersumber dari lampu minyak, kenapa kami harus
makan, mandi, tidur, dan bangun hanya pada waktu yang sudah dijadwalkan. Serta
berbagai kenapa lain yang setiap hari lahir satu demi satu.
Suatu hari, di hari yang sama sebagaimana
hari-hari sebelumnya, aku tengah duduk melingkar bersama adik-adikku. Total
jari tangan dan kakiku hanya dua puluh. Itu pun kuketahui dari Ibu. Dan semua
jariku tak cukup untuk menghitung jumlah kami. Jika dipikir secara logika,
rumah kami ini terlalu kecil. Bahkan sangat kecil. Tapi kenapa kami bisa
bertahan hidup sampai sekarang. Lihatlah, percaya atau tidak, Ibuku pun tengah
mengandung. Tak lama lagi penghuni rumah ini akan bertambah satu.
“Pak,” ujarku.
Bapak hanya berdeham sambil meruncingkan
ujung tombak.
“Bolehkah hari ini aku ikut keluar bersama
Bapak. Barangkali akan lebih banyak ikan yang kita tangkap. Supaya...” aku
terhenti sejenak. Tadinya ingin menyebut nama adik-adikku yang sering berebut
ikan bakar. Tapi aku sadar, aku tak tahu siapa nama mereka.
“Supaya apa...”
“Supaya kami bisa makan ikan dengan
kenyang tanpa harus rebutan. Boleh?”
“Kamu itu anak yang paling sering
bertanya. Bapak pun paling sering menjelaskan. Tapi kenapa sepertinya kamu ini
tidak pernah paham artinya bersyukur?”
Ucapan Bapak memang tanpa tekanan. Hanya
datar, dan selalu demikian. Tapi ia menatap wajahku, menungguku menunduk tanda
paham.
“Aku bersyukur Pak. Tapi...”
“Kamu tetap di rumah, bersama Ibu dan
semuanya. Bapak akan berangkat sendiri.”
Percakapan itu pun berakhir. Bapak
beranjak meninggalkan kami. Aku bergegas membuntutinya sampai pintu. Berharap
bisa sedikit saja melihat ada apa di balik pintu itu. Tapi Bapak sudah terlalu
cekatan memperlakukan pintu itu agar tak ada sedikitpun celah yang kudapatkan.
Dalam sekejap pintu itu kembali rapat.
Meskipun tak dikunci, kami tak pernah berani membukanya. Diam-diam kuintip
Bapak melalui lubang pada dinding kayu yang kubuat sendiri. Lubang berukuran
seujung jariku itu sungguh membuatku sangat penasaran.
Imajinasiku meliar. Mataku seolah
tersangkut pada lubang itu. Mengabaikan ibu yang sedang mengajari adik-adikku
berhitung sampai angka duapuluh. Aku bertekad suatu saat akan bisa melihat
dunia luar, dunia di balik pintu dan jendela rumah kami secara lebih jelas
tanpa harus memincingkan mata seperti ini.
Kulihat punggung Bapak tampak kian
menjauh. Apa yang ia lakukan di luar sana. Bagaimana caranya sampai ia bisa
membawa pulang ikan dari sungai. Seperti apa bentuk sungai itu. Kenapa ia bisa
begitu ajaib mengeluarkan ikan untuk kami makan?
*bersambung
*cerbung ini terinspirasi dari ceramah Yusuf Mansur di Masjid Istiqlal Desember 2014. Judul sengaja disamakan dengan judul artikel yang ditulis sendiri oleh YM dan dapat diunduh di yusufmansur.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar