Ada
sebuah kutipan satire dari Tere Liye berbunyi: “Di negeri para bedebah, kisah
fiksi kalah seru dibanding kisah nyata.” Di negeri itu, ada berbagai media pers
yang tak pernah kehabisan bahan baku berita setiap hari.
Media pers adalah institusi yang
merefleksikan ide dan realitas dalam masyarakat, ujar Ashadi Siregar. Menurutnya,
kerja profesional seorang wartawan adalah mengubah realitas yang berasal dari
masyarakat menjadi informasi, hingga kemudian kembali lagi kepada masyarakat. Mestinya,
saat media gusar berkoar soal perkara tertentu, ada kepekaan dari pihak pemerintah.
Lebih baik lagi bertanya ada apa. Bukan malah tutup mata dan telinga.
Wacana terhangat yang sedang menguap
di media adalah soal pencalonan Kapolri oleh Pak Joko yang penuh teka-teki.
Disebut-sebut bahwa kandidat tunggal yang dipilih atas hak preogratif presiden
itu merupakan incaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal menariknya adalah
sikap Pak Joko yang membingunkan khalayak.
Pertama, sebagai presiden yang pernah
dan sedang dianggap merefleksikan rakyatnya semasa kampanye Pilpres lalu,
kenapa ia justru seolah mengabaikan “peringatan” dari masyarakat melalui media
pers. Kedua, jika memang Pak Joko tidak bisa serta merta mengubris celoteh media,
tidakkah ia melihat eksistensi KPK sebagai pihak yang nyaris selalu bisa
membuktikan dugaannya. Ketiga, apa sebetulnya tujuan di balik pencalonan
kandidat tunggal yang dicurigai bermasalah itu?
Melalui media, masyarakat mengetahui
bahwa kandidat tunggal itu pernah punya hubungan dekat dengan ketua umum partai
pengusung Pak Joko. Ya. Adakalanya sisipan informasi yang bernada miring
seperti itu menjadi racun yang berbahaya terutama bagi mayarakat awam. Lantas menjadi
penguat pertanyaan pertama tadi. Adakah kongkalikong yang tidak diketahui
masyarakat. Hal semacam ini mau tidak mau pasti menjadi sebab masyarakat
mendadak ragu benarkah pemimpin yang mereka pilih selama ini betul-betul
berpendirian atau memang didikte pihak lain.
Keresahan berlanjut dengan mencuatnya
berita bahwa kandidat yang kini namanya telah disebut dengan inisial itu
merupakan incaran KPK, dan terang-terangan informasi ini disampaikan oleh KPK
sendiri. Bila melihat dari prestasi KPK dalam memberantas para koruptor, adakah
keraguan yang bisa ditudingkan pada lembaga itu. Sejauh ini rasanya tidak ada,
dan semoga tidak akan pernah ada. Sampai pada titik ini, KPK merupakan
primadona yang masih tetap dipercaya dan dibanggakan masyarakat. Lantas
bagaimana presiden yang konon lahir dari rakyat itu justru tak sejalan dengan
pikiran rakyatnya.
Paling menarik dari kedua persoalan
tadi adalah pertanyaan terakhir. Benarkah Pak Joko sungguh tak punya tujuan
lain dari aksi tutup mata-telinga soal isu yang mendera kandidat tunggalnya.
Pertanyaan ini akan menjelma harapan jika berujung dengan jawaban “tidak”. Menjadi
angin segar bagi para pendukung Pak Joko yang ingin melihat pemimpinnya itu
tetap berpihak pada mereka.
Artinya, terbesit harapan bahwa
kenekatan Pak Joko menggandeng lengan si kandidat tunggal di tengah riuhnya
protes media pers adalah kesengajaan. Ia ingin masyarakat ikut memonitor
“mangsa” KPK itu, mengenali wajahnya baik-baik. Lalu, pada saat yang tepat, ia
tinggal melepaskan tembakan ke udara. Ledakan yang dihasilkan itu tak lain pengumuman
dari KPK bahwa si kandidat berstatus tersangka dugaan korupsi. Betapa bodohnya
kandidat itu.
Harapan bahwa sebetulnya Pak Joko sudah membaca
situasi atau bahkan menganlisis berbagai isu miring itu sebagai suatu fakta
yang tertunda. Bila dugaan harapan ini benar adanya, berarti Pak Joko sungguh
memahami keresahan rakyat. Sebab bukankah tindakan KPK menyelidiki kandidat
tunggal itu pun berawal dari laporan masyarakat.
Tapi harapan itu pun masih di ambang
teka-teki. Peluang terjadinya jawaban “ya” sama besarnya. Jika demikian, rakyat
harus berlapang dada bahwa pemimpinnya telah ingkar janji. Apalagi salah satu media menuliskan bahwa
Pak Joko memilih bungkam saat ditanya mengapa ia mengabaikan peringatan KPK. Ini menjadi kisah
nyata yang kian menarik setiap hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar