Sejak memasuki semester akhir di bangku kuliah dan akhirnya sekarang lulus, rasanya terlalu lama saya tak mengkaji apalagi menuliskan hal-hal terkait sastra. Sore ini saya mampir ke web Caping Goenawan Mohammad. Di sana saya serasa bernostalgia, seolah saya disadarkan dengan sebuah pertanyaan: "Sudahkah kamu lakukan kewajiban sebagai Sarjana Humaniora?"
Saya menyadari bahwa saya belum mengerahkan potensi yang saya punya untuk negeri ini. Baiklah, intinya dalam salah satu catatan itu saya mendengar kembali istilah "Realisme Sosialis" dan L'art pour l'art. Istilah yang pertama adalah masa lalu, kenangan buat saya. Sebelum akhirnya memutuskan untuk mengkaji novel milik Nuril Basri berjudul Halo, Aku dalam Novel dengan kajian Psikologi Sastra (abnormal), sebetulnya saya mengawali konsep dengan sebuah novel milik Seno Gumira Ajidarma berjudul Negeri Senja.
Sebelum membaca HADN, lebih dulu saya membaca NS. Sebagai anak SMA, saya akhirnya memaklumi ketakpahaman saya pada novel SGA tersebut. Pemikiran saya belum sampai ke arah sana. Sebab ketika awal duduk di bangku kuliah, barulah dosen saya memberitakan bahwa Negeri Senja bukanlah novel romantis, melainkan politik. Lebih tepatnya ada realisme sosialis di sana. Istilah realisme sosialis saya dapatkan dari hasil pencarian ke berbagai sumber saat saya mencetuskan ide untuk meneliti novel SGA tersebut sebagai skripsi. Sama sekali NS tak bisa sekadar dibaca dari sampul atau endorsment. Secara garis besar, novel ini adalah perumpamaan dari sebuah negara (yang pernah) bertirani.
Sayangnya usaha saya tersebut terhenti. Terbatasnya sumber rujukan dan (terutama) kegigihan saya untuk mendapatkannya, menyebabkan rencana tersebut hanya menjadi sekadar niat baik. Saya beralih pada novel psikologi yang juga sudah saya baca di awal-awal kuliah. Tak masalah, toh sepertinya pun jika saya tetap mengkaji novel SGA saya akan kepayahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar