Bersama Soesilo Toer di Diskusi dan Bedah Buku ‘Pram dari Dalam’. FBS Unnes, April 2013.
Sumringah. Itulah satu kata yang agaknya menggambarkan perasaan saya sepanjang berada di FBS Unnes. Saya sudah sempat melewatkan beberapa kesempatan sampai akhirnya bisa bertatap muka dengan “adik kesayangan” Pramoedya Ananta Toer ini. Well, saya sebutkan saja poin-poin penting dari acara ini ya.
1. Pak Soes memperkenalkan keluarganya. Ia membawa istri dan anak semata wayangnya, Benee Santoso. Menurutnya, seorang Bapak memang harus kalah dari anak dalam beberapa hal. Sebab ia merasa bangga karena anaknya memiliki tinggi 180an, 20 cm lebih darinya.
2. Dulunya Pak Soes cadel. Mengilangkan cadel dengan cincin emas yang telah dububuhi kotoran manusia atas saran guru bahasa Inggris di tamsis Jakarta.
3. Pak Soes protes sebab di backdrop namanya ditulis tidak dengan "oe" tetapi "u". Ia tidak mau demikian sebab ia lahir sebelum orba. Mengacu pada prolog yg disampaikan saya jadi penasaran, benarkah, rasa jengkel karena dimusuhi oleh orba masih mengakar atau bahkan diturunkan sampai generasi sekarang? Dan kalau benar masih, kenapa? Tidakkah melihat bahwa masyarakat nonorba sepertinya biasa saja. Saya sebagai anak bangsa yg lahir pasca orba cenderung bersikap netral. Sebab sejauh ini referensi saya mengenai perseteruan PKI-orba masih seadanya. Tapi beliau menjelaskan: "Saya tidak pernah merasa benci dan memusuhi bangsa Indonesia. Saya hanya kecewa kenapa kami dimusuhi tanpa pernah tahu kesalahan kami." Sambil tersenyum ia menyampaikan rasa bangganya bisa berdiri di depan para audien.
4. Untuk menghasilkan suatu karya maka perkayalah fakta dan pengalaman diri. Berkaitan dengan karya-karya Pram yang cenderung "arus balik", menurutnya, Roman sejarah merupakan shock teraphy bagi masyarakat. Tergantung bagaimana mereka menyikapinya. Apakah akan tetap percaya pada sejarah yang ada atau berontak.
5. Dari awal Soes menyebut-nyebut istilah "pemulung" secara implisit dan eksplisit untuk menyebut profesinya. Padahal, di bbalik tampilannya yang terlalu sederhana itu beliau merupakan doktor lulusan Rusia. Beliau juga pendiri Perpustakaan Ananta Toer Anak Semua Bangsa (PATABA) di rumah warisan keluarga Toer di Blora.
6. Saat diminta menggambarkan seorang PAT dalam satu kata, Soes menyebut kata "antikritik". Sebab PAT adalah orang yang tidak mau dikritik meskipun suka mengkritik orang lain.
7. Saya bertemu dengan 2 alumni Hawe, seperti biasa Duo Budi Maryono dan Kang Putu. Beliau pelaku kongsi penerbitan Gigih Pustaka Mandiri yang dalam hal ini adalah penerbit buku PDD (padahal keduanya pun penulis, dan dosen :D) Dan belakangan saya baru tahu bahwa sketsa PAT di buku PDD adalah karya Toni Malakian, juga mantan pengelola Hawe. Wow
Tidak ada komentar:
Posting Komentar