Ada sesak yang perlahan nyaris menghentikan aliran udara di
sekitar kita. Di ruangan yang hanya sebesar kotak telpon umum itu kita saling
lupa pada setiap hal yang seharusnya diingat saat itu juga. Kita tak pernah
tahu kapan hujan turun dan urung berhenti. Kapan kita tiba-tiba sudah berada di
ruang sempit ini, hanya berdua. Yang kita tahu hanya, kita akan segera mati. Kita
akan secepatnya meninggalkan semua yang ada di luar kotak ini.
Dingin. Saat diam-diam ada yang menyentuh telapak tangan
kiriku, seketika perasaan itu menjalar di sekujur tubuh hingga ulu hati. Hati siapa?
Kita ini sudah mati. Sudah mati dari masa depan masing-masing. Setiap hari kita
hanyalah arwah yang berputar-putar di pelataran hari ini dan hari-hari kemarin
sampai masa lalu. Mungkin itu yang mempertemukan kita. Dengan hujan yang
menjadi kereta, kita bertemu untuk saling menyampaikan pesan-pesan pilu.
“Aku menyesal”, katamu sambil terus memegang tangan kiriku,
tanpa melihat wajahku.
Aku hanya diam.
“Aku menyesal bertemu kamu”, katamu lagi.
“Aku menyesal harus merasakan dingin yang sebasah ini di
sampingmu”, kau terus bicara.
“Bolehkah aku hidup kembali? Hidup di masa depan?” tanganmu
kian erat. Ada rasa takut kehilangan yang sepertinya menjalar lewat nadi tangan
kiriku ini.
Sejurus kemudian kau mulai kesulitan. Kau kesulitan menangkap
udara yang terlalu tipis di kotak sempit ini. Dadamu tampak naik turun tanpa
jeda. Perlahan, kulepas genggaman tanganmu. Aku tahu, meski kehabisan udara
sekalipun, kau tak akan pernah mati dari masa lalu. Kau akan terus hidup hingga
kehidupan di sana berakhir dan kau berhasil menghidupi masa depanmu lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar