Beberapa waktu lalu ketika saya menjenguk nenek yang sedang dirawat di RS Urip Sumoharjo. Sebagai pengait, rumah sakit ini menggunakan nama-nama pahlawan Indonesia sebagai nama kamar di kelas VIP. Ketika itu saya berada di kamar Martha Christina Tiahahu. Entahlah, nenek (adik nenek saya) satu ini bisa dibilang sering (mungkin malah hobi) keluar-masuk rumah sakit karena menurutnya lebih enak dirawat ketimbang sakit di rumah. Di sana kami ngobrol-ngobrol. Salah satu topiknya adalah membahas mengenai Radin Inten, pahlawan nasional Lampung yang namanya baru, baru-baru ini dijadikan nama bandara (awalnya bernama Bandara Branti). Miris ya, padahal kota-kota lain telah menggunakan nama pahlawan jauh lebih lama. Nenek saya bertanya, mungkin juga sekadar basa-basi mengetes pengetahuan saya sebagai yang katanya sarjana Humaniora dari Fakultas Ilmu Budaya,
Berarti, sebagai pahlawan, Radin Inten masuk ya dalam sejarah Indonesia?
Ke-soktahuan-saya pun terusik. Saya bilang padanya, selama mempelajari sejarah (nasional Indonesia), sejak SD hingga kuliah, saya tidak pernah mendengar nama Lampung dihebohkan. Untungnya, ini agak berkaitan dengan kutipan yang muncul beberapa waktu setelahnya berikut ini,
Walapun tulisan dan dokumentasi mengenai seluruh wilayah nusantara--bahkan sampai pulau dan dusun yang terkecil--tersedia, dari dahulu kala dan bahkan sampai sekarang perhatian sebagian besar peneliti, penulis dan pengamat budaya mancanegara lebih banyak dicurahkan pada masyarakat dan kebudayaan di Pulau Jawa dan Bali (Lampung Post, 5 Januari 2014)
Waktu itu sebetulnya saya merasa tak yakin, hanya sebatas menduga bahwa memang Lampung tak menarik minat banyak orang untuk mempelajarinya.
Sebagaimana saya yang dulu justru memilih sastra Indonesia dan bukannya sastra daerah. Baru kemudian di masa-masa akhir kuliah sempat galau kenapa saya malah tak peduli. Tapi apa daya, pilihan sudah ditentukan dan saya hanya bisa menonton, saya tidak menyesal karena sastra Indonesia memang juga passion saya. Hanya saja sedikit sedih kenapa sepertinya saya telah menutup sendiri jalan lain untuk menuju tempat lain.
Sebagaimana saya yang dulu justru memilih sastra Indonesia dan bukannya sastra daerah. Baru kemudian di masa-masa akhir kuliah sempat galau kenapa saya malah tak peduli. Tapi apa daya, pilihan sudah ditentukan dan saya hanya bisa menonton, saya tidak menyesal karena sastra Indonesia memang juga passion saya. Hanya saja sedikit sedih kenapa sepertinya saya telah menutup sendiri jalan lain untuk menuju tempat lain.
Hari ini Lampost sedikit menghibur saya. Bahwa menurut Frieda Amran, antropolog UI yang bermukim di Belanda dan didaulat menjadi pengisi rubrik pekanan tersebut, ada sekitar 1534 tulisan mengenai Lampung dalam bentuk buku, majalah, dan naskah di Perpustakaan KITLV (Koninklijk Intituut Taal-, Land -en Volkenkunde) Leiden, Belanda. Buku tertua mengenai Lampung di sana ditulis oleh Johan Diederik Krusenman tahun 1817.Ternyata benar bahwa Leiden juga menyimpan naskah Tano
Lado. Rasanya seperti dayung bersambut. Saya berharap, resah yang selama ini saya rasakan memang bukan satu-satunya. Semoga memang ada banyak masyarakat Lampung atau yang peduli pada Lampung mengalami hal serupa, keresahan yang mengawali sebuah kejadian. Saya masih berharap bisa jadi bagian dalam -apa ya menyebut hal ini- urusan ini. Terima kasih Lampung Post. Semoga "hal ini" bisa difollowup secara matang dan hasilnya bisa bermanfaat untuk khalayak.
*Tumbai=tempo dulu
Bandara Branti kan Singkatan dari Bandar Udara Raden Inten?
BalasHapusiya benar sekali
BalasHapus