Aku selalu kepayahan. Entah apa yang membuatnya menjadi payah untuk kutuliskan. Setiap kali ingatan tentangmu, kita, muncul di layar mata, aku seperti lupa. Dimana letak akhir yang sepertinya kita sepakati sebulan lalu?
Anggaplah aku yang memang payah.
Di jendela, aku coba mengingat kita yang pernah duduk berdua tanpa apa-apa dan tanpa siapa-siapa. Di atas bangunan 3 lantai yang bahkan sampai sekarang urung selesai, kita pernah mencoba manjadi bodoh, menghitung bintang. Dan akhirnya kau kalah. Kau kalah dan menyerah dengan mengatakan bahwa sebanyak apapun bintang di atas sana, tetap tak akan pernah mampu mengalahkan kekuatan sinar di kedua mataku, tepatnya mata sebelah kanan. Dan aku akan tersenyum mendengar kata-katamu.
Entahlah, di setiap kita menghabiskan waktu seusai hari, mejelang kematiannya, aku memang selalu memilih duduk di sebelah kirimu, tanpa alasan. “Setiap hari harus kita habiskan, sebelum ia mati dan melupakan apa-apa yang ingin kita ingat,” kalimat itu yang sampai saat ini masih juga belum bisa kupahami. “Kalau setiap hari memang akan menemui kematian, berarti usia sebuah kenangan juga Cuma sehari dong?,” tanyaku sambil bersandar di bahumu. Dari situ aku sangat bisa merasakan aroma tubuhmu yang sudah tercemari oleh asap rokok. “Jangan pernah memikirkan nasib waktu, apalagi kenangan. Sebab mereka telah memiliki kehidupan sendiri-sendiri, tanpa harus kita jaga, kita pelihara”.
Matamu terus mengarah ke langit, entah apa yang kau cari di sana. Sedang dari tadi aku memandangi wajamu dari sisi kanan, sambil terus bersandar di bahumu. Ada angin yang selalu sembunyi-sembunyi menguntit kita. Kadang ia berbisik sangat pelan, membujukku untuk berbisik kepadamu, “Aku takut kehilangan, sebab setiap kali kita menyelesaikan hari, aku selalu ingin menghilang darimu. Tak ada yang ingin kuingat, sama sekali.” Sayang, kalimat itu selalu hanya bisa berhenti dalam benakku, dan setelah selesai kuucapkan, kau akan berhenti memandangi langit kemudian mendapatiku tengah memandangimu dari sebelah sini. Sebentar kau membenarkan posisi duduk, membuatku melepaskan sandaran di kepala.
“Sebenernya apa sih yang kamu lihat dari sebelah sini?” kau memegang sebentar alis kananku. Aku melengos, memandang jauh ke depan, ke arah gelap. Pukul 10 malam, kita masih di atas bangunan yang sepertinya memang tak akan pernah diselesaikan. “Aku juga gak tau. Cuma, setiap lagi ngobrol gini sama kamu, ada satu hal yang sebenernya dari dulu pingin aku bilang, ke kamu” aku diam, biasanya ini kalimat yang akan mengakhiri setiap malam yang kita nikmati. Kau ikut terdiam, tepatnya tak mau mengatakan apapun agar tak ada yang berakhir, termasuk waktu. Benar. Sejurus kemudian aku berdiri, mengibaskan bagian belakang rok yang sejak tadi kududukkan di atas batu, di tepian bangunan lantai 3 ini. Kau hanya menengadahkan pandangan ke arahku, tak ingin beranjak.
***
Mungkin malam ini akan turun hujan. Alasan itu kusampaikan untuk menolak ajakanmu mengahbiskan hari di atas bangunan lantai 3 itu. Aku tahu, kau tak akan pernah memaksakan apa yang memang tak kuinginkan. Dan sore itu, kita berpisah di halaman kampus.
Malamnya, sekitar pukul 8 aku sengaja keluar dari kosan menuju bangunan tempat kita biasa berdua membodohi diri. Prediksiku memang salah, tak ada hujan, justru cuaca begitu panas, bahkan aku tak membawa jaket ke sana.
Sunyi, itulah yang hendak kutemui di sana. Tanpa apapun, tanpa siapapun. Sialnya, ketika sampai di anak tangga terakhir, ekspektasiku melebur terbawa angin yang selalu menjadikan bangunan ini dingin. Kudapat kau tengah duduk sendiri, di tepi bangunan lantai 3 ini. Akupun menghentikan langkah, hendak pulang.
Hening. Aku belum mengucapkan apapun sejak tadi. Kita hanya saling memandangi langit yang sama sekali tak berbintang. Tapi aku yakin ada satu bintang yang tak terlihat, dan sekali saja kita bisa melihatnya,kemudian mengucapkan jumlahnya, seketika bintang itu akan bertambah dan bertambah.
“Bukannya aku memang aneh dari awal ya”
“Iya, aku tahu. Tapi anehmu yang ini beda”
Helaan napasku terdengar begitu jelas di kesunyian semacam ini.
Dalam perjalanan yang tak lebih dari 5 bulan ini, aku memang merencanakan sebuah kesalahan. Maka ketika waktunya telah tiba, aku harus jujur dan mengatakan semuanya. Aku tidak pernah berencana untuk mencintaimu sampai selesai, sebab aku akan menyelesaikannya dengan orang lain.
***
Setelah malam itu, jika ada rindu yang menyerang, aku selalu berdiri di depan jendela sambil mebayangkan kita berdua di atas bangunan berlantai 3 di seberang sana.
Anggaplah aku yang memang payah.
Di jendela, aku coba mengingat kita yang pernah duduk berdua tanpa apa-apa dan tanpa siapa-siapa. Di atas bangunan 3 lantai yang bahkan sampai sekarang urung selesai, kita pernah mencoba manjadi bodoh, menghitung bintang. Dan akhirnya kau kalah. Kau kalah dan menyerah dengan mengatakan bahwa sebanyak apapun bintang di atas sana, tetap tak akan pernah mampu mengalahkan kekuatan sinar di kedua mataku, tepatnya mata sebelah kanan. Dan aku akan tersenyum mendengar kata-katamu.
Entahlah, di setiap kita menghabiskan waktu seusai hari, mejelang kematiannya, aku memang selalu memilih duduk di sebelah kirimu, tanpa alasan. “Setiap hari harus kita habiskan, sebelum ia mati dan melupakan apa-apa yang ingin kita ingat,” kalimat itu yang sampai saat ini masih juga belum bisa kupahami. “Kalau setiap hari memang akan menemui kematian, berarti usia sebuah kenangan juga Cuma sehari dong?,” tanyaku sambil bersandar di bahumu. Dari situ aku sangat bisa merasakan aroma tubuhmu yang sudah tercemari oleh asap rokok. “Jangan pernah memikirkan nasib waktu, apalagi kenangan. Sebab mereka telah memiliki kehidupan sendiri-sendiri, tanpa harus kita jaga, kita pelihara”.
Matamu terus mengarah ke langit, entah apa yang kau cari di sana. Sedang dari tadi aku memandangi wajamu dari sisi kanan, sambil terus bersandar di bahumu. Ada angin yang selalu sembunyi-sembunyi menguntit kita. Kadang ia berbisik sangat pelan, membujukku untuk berbisik kepadamu, “Aku takut kehilangan, sebab setiap kali kita menyelesaikan hari, aku selalu ingin menghilang darimu. Tak ada yang ingin kuingat, sama sekali.” Sayang, kalimat itu selalu hanya bisa berhenti dalam benakku, dan setelah selesai kuucapkan, kau akan berhenti memandangi langit kemudian mendapatiku tengah memandangimu dari sebelah sini. Sebentar kau membenarkan posisi duduk, membuatku melepaskan sandaran di kepala.
“Sebenernya apa sih yang kamu lihat dari sebelah sini?” kau memegang sebentar alis kananku. Aku melengos, memandang jauh ke depan, ke arah gelap. Pukul 10 malam, kita masih di atas bangunan yang sepertinya memang tak akan pernah diselesaikan. “Aku juga gak tau. Cuma, setiap lagi ngobrol gini sama kamu, ada satu hal yang sebenernya dari dulu pingin aku bilang, ke kamu” aku diam, biasanya ini kalimat yang akan mengakhiri setiap malam yang kita nikmati. Kau ikut terdiam, tepatnya tak mau mengatakan apapun agar tak ada yang berakhir, termasuk waktu. Benar. Sejurus kemudian aku berdiri, mengibaskan bagian belakang rok yang sejak tadi kududukkan di atas batu, di tepian bangunan lantai 3 ini. Kau hanya menengadahkan pandangan ke arahku, tak ingin beranjak.
***
Mungkin malam ini akan turun hujan. Alasan itu kusampaikan untuk menolak ajakanmu mengahbiskan hari di atas bangunan lantai 3 itu. Aku tahu, kau tak akan pernah memaksakan apa yang memang tak kuinginkan. Dan sore itu, kita berpisah di halaman kampus.
Malamnya, sekitar pukul 8 aku sengaja keluar dari kosan menuju bangunan tempat kita biasa berdua membodohi diri. Prediksiku memang salah, tak ada hujan, justru cuaca begitu panas, bahkan aku tak membawa jaket ke sana.
Sunyi, itulah yang hendak kutemui di sana. Tanpa apapun, tanpa siapapun. Sialnya, ketika sampai di anak tangga terakhir, ekspektasiku melebur terbawa angin yang selalu menjadikan bangunan ini dingin. Kudapat kau tengah duduk sendiri, di tepi bangunan lantai 3 ini. Akupun menghentikan langkah, hendak pulang.
“Aku sengaja nunggu kamu di sini” ujarmu tiba-tiba. Rasanya seperti anak-anak tangga itu runtuh, mebuatku tak bisa memilih kecuali berjalan ke arahmu. Memang, selalu ada rindu yang tak bisa kutanggalkan saat berada sedekat ini denganmu. “Kamu aneh beberapa hari ini,” katamu datar, dan dingin. Aku butuh lebih dari jaket untuk mempertahankan diri dari dinginnya angin malam dan ucapanmu itu. Dan saat itu juga kau melepaskan jaket untuk kau berikan padaku, aku tak menolak.
Hening. Aku belum mengucapkan apapun sejak tadi. Kita hanya saling memandangi langit yang sama sekali tak berbintang. Tapi aku yakin ada satu bintang yang tak terlihat, dan sekali saja kita bisa melihatnya,kemudian mengucapkan jumlahnya, seketika bintang itu akan bertambah dan bertambah.
“Bukannya aku memang aneh dari awal ya”
“Iya, aku tahu. Tapi anehmu yang ini beda”
Helaan napasku terdengar begitu jelas di kesunyian semacam ini.
“Aku merasa ada yang salah, dan aku harus segera meyuahi kesalahan ini”
Kau menatapku dari sebelah kiri, mencoba menemukan bola mataku sebelah kanan. Tapi aku memandangi langit sebelah kiri.
Dalam perjalanan yang tak lebih dari 5 bulan ini, aku memang merencanakan sebuah kesalahan. Maka ketika waktunya telah tiba, aku harus jujur dan mengatakan semuanya. Aku tidak pernah berencana untuk mencintaimu sampai selesai, sebab aku akan menyelesaikannya dengan orang lain.
***
Setelah malam itu, jika ada rindu yang menyerang, aku selalu berdiri di depan jendela sambil mebayangkan kita berdua di atas bangunan berlantai 3 di seberang sana.
***
Selesai.
Selesai.
23.08, januari 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar