Laman

Jumat, 01 Mei 2015

Kota Sungai (1)



Jika harus menceritakan dari mana segala hal di dunia ini bermula, aku tak akan mampu menjelaskan. Tapi satu hal yang pasti, guruku bilang, semuanya Diciptakan oleh Sang Pencipta melalui proses penciptaan. Dan aku meyakini hal tersebut, seyakin-yakinnya. Hanya saja, bukan kapasitasku untuk menerangkan  perkara besar itu. Lagipula, apa yang akan kusampaikan ini hanya sesuatu yang kecil, sederhana. Sehingga, akan kumulai kisah ini dengan kata-kata sederhana pula.
Aku sering kepayahan jika diminta menerangkan awal mula sesuatu. Padahal ada banyak pertanyaan yang seumur hidup belum pernah kudapatkan jawabannya. Kenapa orangtua kami bisa memiliki anak begitu banyak hingga tak mampu kuhitung jumlahnya, kenapa pintu dan rumah kami tak pernah dibuka kecuali pada saat-saat tertentu saja oleh Bapak, kenapa cahaya di rumah kami hanya bersumber dari lampu minyak, kenapa kami harus makan, mandi, tidur, dan bangun hanya pada waktu yang sudah dijadwalkan. Serta berbagai kenapa lain yang setiap hari lahir satu demi satu.
Suatu hari, di hari yang sama sebagaimana hari-hari sebelumnya, aku tengah duduk melingkar bersama adik-adikku. Total jari tangan dan kakiku hanya dua puluh. Itu pun kuketahui dari Ibu. Dan semua jariku tak cukup untuk menghitung jumlah kami. Jika dipikir secara logika, rumah kami ini terlalu kecil. Bahkan sangat kecil. Tapi kenapa kami bisa bertahan hidup sampai sekarang. Lihatlah, percaya atau tidak, Ibuku pun tengah mengandung. Tak lama lagi penghuni rumah ini akan bertambah satu.
“Pak,” ujarku.
Bapak hanya berdeham sambil meruncingkan ujung tombak.
“Bolehkah hari ini aku ikut keluar bersama Bapak. Barangkali akan lebih banyak ikan yang kita tangkap. Supaya...” aku terhenti sejenak. Tadinya ingin menyebut nama adik-adikku yang sering berebut ikan bakar. Tapi aku sadar, aku tak tahu siapa nama mereka.
“Supaya apa...”
“Supaya kami bisa makan ikan dengan kenyang tanpa harus rebutan. Boleh?”
“Kamu itu anak yang paling sering bertanya. Bapak pun paling sering menjelaskan. Tapi kenapa sepertinya kamu ini tidak pernah paham artinya bersyukur?”
Ucapan Bapak memang tanpa tekanan. Hanya datar, dan selalu demikian. Tapi ia menatap wajahku, menungguku menunduk tanda paham.
“Aku bersyukur Pak. Tapi...”
“Kamu tetap di rumah, bersama Ibu dan semuanya. Bapak akan berangkat sendiri.”
Percakapan itu pun berakhir. Bapak beranjak meninggalkan kami. Aku bergegas membuntutinya sampai pintu. Berharap bisa sedikit saja melihat ada apa di balik pintu itu. Tapi Bapak sudah terlalu cekatan memperlakukan pintu itu agar tak ada sedikitpun celah yang kudapatkan.
Dalam sekejap pintu itu kembali rapat. Meskipun tak dikunci, kami tak pernah berani membukanya. Diam-diam kuintip Bapak melalui lubang pada dinding kayu yang kubuat sendiri. Lubang berukuran seujung jariku itu sungguh membuatku sangat penasaran.
Imajinasiku meliar. Mataku seolah tersangkut pada lubang itu. Mengabaikan ibu yang sedang mengajari adik-adikku berhitung sampai angka duapuluh. Aku bertekad suatu saat akan bisa melihat dunia luar, dunia di balik pintu dan jendela rumah kami secara lebih jelas tanpa harus memincingkan mata seperti ini.
Kulihat punggung Bapak tampak kian menjauh. Apa yang ia lakukan di luar sana. Bagaimana caranya sampai ia bisa membawa pulang ikan dari sungai. Seperti apa bentuk sungai itu. Kenapa ia bisa begitu ajaib mengeluarkan ikan untuk kami makan?

*bersambung

*cerbung ini terinspirasi dari ceramah Yusuf Mansur di Masjid Istiqlal Desember 2014. Judul sengaja disamakan dengan judul artikel yang ditulis sendiri oleh YM dan dapat diunduh di yusufmansur.com